Gagasan Filsafat Islam Ikhwanu al-Shafa

slider
21 Oktober 2023
|
2438

Ngaji Filsafat pada 27 September 2023 mengangkat topik Filsafat Islam Ikhwanu al-Shafa. Pada bulan September mengkaji gagasan filosof muslim, Abu Bakar al-Razi (Rhazes), Fakhruddin al-Razi, dan Abu Hasan al-Amiri. Pada edisi kali ini Pak Fahruddin Faiz menerangkan gagasan sekelompok filosof muslim yang menamai perkumpulan mereka sebagai Ikhwanu al-Shafa.

Nama Ikhwanu al-Shafa sendiri merupakan kependekan dari frasa Arab, Ikhwan al-Shafa’ wa Khullun al-Wafi wa Ahl al-Hamd wa Abna’ al-Majd, yang berarti Persaudaraan Murni (Tulus); Sahabat yang Setia; Orang-orang Terpuji; dan Putra-putra Kemuliaan.

Ikhwanu al-Shafa merupakan sekelompok filosof muslim misterius pada masa Abbasiyah sekitar abad ke-8 sampai 10 M, yang dalam sejarahnya sengaja menyembunyikan diri. Sulit untuk mengetahui secara pasti siapa saja dan berapa banyak member komunitas filosof muslim ini.

Meski sosok-sosok mereka misterius, kurang dikenal, namun pemikiran mereka menyebar luas. Salah satu karya fenomenal Ikhwanu al-Shafa adalah Rasail Ikhwan al-Shafa, yang banyak didedahkan oleh Pak Faiz dalam edisi Ngaji Filsafat kali ini.

Apa yang menarik dari gagasan merekasetidaknya menarik dalam ukuran sayaadalah pandangan terkait tujuan filsafat. Menurut mereka, “Kebijaksanaan filosofis itu adalah berperilaku seperti Tuhan (Godlike) sedapat mungkin.” Jadi, bagi Ikhwanu al-Shafa, termasuk tujuan filsafat adalah mengantarkan manusia kepada jalur Tuhan sesuai dengan kapasitas kemanusiaan.

Tentu maksud Godlike bukan menjadi bak Tuhan yang Maha Sempurna, apalagi sampai mendeklarasi diri sebagai Tuhan, melainkan menjadi manusia baik yang menjalani laku hidup berdasarkan perilaku yang seirama dengan sifat-sifat Tuhan.

Semisal, Tuhan itu Maha Pengasih, maka sebagai manusia yang Godlike kita berupaya hidup dengan penuh kasih. Tuhan Maha Mengetahui, sebagai manusia Godlike, kita berupaya mencari pengetahuan semampu kita. Tuhan Maha Adil, sebagai manusia Godlike, kita mengedepankan prinsip hidup yang berkesetaraan.

Potensi Jiwa Manusia

Manusia adalah alam mikrokosmos atau semesta yang diperkecil, dan semesta adalah alam makrokosmos atau salinan manusia yang diperbesar. Demikian pandangan metafisikanya Ikhwanu al-Shafa, yang sedikitnya dapat kita pahami sebagai penggambaran kalau manusia tak ubahnya alam itu sendiri.

Artinya, layaknya semesta yang menyimpan begitu banyak misteri dan potensi, maka manusia pun demikian. Ada potensi kemanusiaan yang luar biasa dalam diri kita. Karenanya, jangan berkecil hati, merasa inferior dengan diri sendiri, sebab kita itu manusia yang mempunyai potensi luar biasa.

Kekuatan potensi manusia terletak pada jiwanya. Dalam hal ini, menurut Ikhwanu al-Shafa, dalam diri manusia ada tiga jiwa yang masing-masing memiliki potensinya yang khas.

Pertama, “jiwa vegetatif” yang memberi manusia dorongan nutritif untuk bertumbuh. Kekuatan jiwa ini menyangkut nutrisi, pertumbuhan, dan reproduksi, atau sederhananya menyangkut pertumbuhan manusia secara fisik.

Kedua, “jiwa binatang” yang membuat manusia sensitif untuk berkembang. Kekuatan jiwa ini terletak pada pergerakan mengembangkan potensi diri manusia.

Ketiga, “jiwa manusia” yang memberi manusia potensi rasional untuk berpikir. Kekuatan jiwa ini terletak pada kerasionalan menentukan mana yang baik dan buruk, kapan harus maju dan mundur, kapan perlu bergerak atau cukup pasif, dan pertimbangan rasional lainnya.

Memanunggalkan Potensi Jiwa Manusia

Ketiga kekuatan jiwa dalam diri manusia tersebut, jiwa vegetatif, binatang, dan manusia, merupakan paket anugerah dari Tuhan. Ketiganya sepaket yang perlu manusia dayakan secara proporsional.

Pembacaan Ikhwanu al-Shafa yang mendikotomi jiwa menjadi tiga macam bukan berarti ingin membatasi manusia untuk menghidupkan potensi jiwa yang mana, melainkan untuk dorongan memanunggalkan keseluruhan potensi jiwa dalam diri manusia.

Ketika manusia yang hanya mendayakan potensi jiwa vegetatifnya, rentan terjebak pada hidup yang pasif. Bayangkan, jika kita hanya menurutkan keinginan untuk makan terus atau rebahan terus apa jadinya? Bukan berarti makan dan tidur tidak penting, ia penting, namun dalam proporsinya yang pas. Keterlenaan pada kekuatan jiwa vegetatif dapat membuat hidup kita layaknya pohon yang terus bertumbuh, namun tidak pernah bergerak dari tempatnya.

Maka untuk motivasi berkembang, manusia punya anugerah berupa kekuatan jiwa binatang yang memberi dorongan untuk bergerak. Namun, terlalu didominasi oleh daya jiwa binatang juga tidak elok, kita akan rentan terjebak pada gerakan yang merusak. Seperti mengejar ambisi tanpa pertimbangan rasional, akibatnya menghalalkan berbagai cara untuk memuaskan dahaga jiwa kebinatangan dalam diri.

Keterlenaan pada kekuatan jiwa binatang dapat membawa hidup manusia pada laku kebinatangan. Kekuatan jiwa binatang akan menjadikan hidup penuh gerakan, namun dalam geraknya tidak pernah memperhitungkan dampaknya baik atau buruk, pun tidak melihat jalannya halal atau haram.

Agar tumbuh dan kembang manusia berada pada jalur yang semestinya, yang menjadikannya sosok manusia Godlike, maka butuh daya kekuatan dari jiwa manusia yang memberi potensi pertimbangan rasional dalam hidup. Dalam potensi jiwa ini, menurut Ikhwanu al-Shafa, ada dua kekuatan yang bersemayam, yakni kekuatan hati sebagai pusat rasa, kecerdasan, dan rumah kehidupan, serta kekuatan akal sebagai tempat berkembangnya persepsi, emosi, dan konsepsi.

Melalui kekuatan jiwa ini, manusia tidak akan sekadar bertumbuh dan berkembang (bergerak), sebab ada daya rasional yang membuat kita bijak menimbang kapan makan dan kapan berhenti, menilai perbuatan baik atau perbuatan buruk, bagaimana gerakan kita membangun atau malah merusak. Potensi jiwa manusia menjadi daya kontrol keberlebihanan terhadap jiwa vegetatif dan jiwa binatang dalam diri.

Berdayanya tiga potensi jiwa secara proporsional dapat dibilang merupakan keadaan manunggal (menjadi satunya) tiga potensi jiwa dalam diri manusia. Kemanunggalan potensi jiwa ini akan membantu manusia dalam menjalani laku hidup yang Godlike sesuai kapasitas kemanusiaan itu sendiri.

Menjadi Manusia Godlike

Proporsi yang pas dari kekuatan jiwa vegetatif, binatang, dan manusia, akan memaksimalkan potensi kebaikan. Oleh karena itu, kemanunggalan potensi tiga jiwa dalam diri dapat membantu manusia menapaki jalan hidup yang Godlike. Pertanyaannya, bagaimana kita dapat memproporsikan secara bijak tiga potensi jiwa yang ada dalam diri manusia?

Dalam ukuran Ikhwanu al-Shafa jawabannya ada pada ilmu. Sebagaimana pandangan mereka bahwa, “Ilmu memaksimalkan potensi jiwa manusia untuk menimbang baik dan buruk. Ilmu itu dapat mendatangkan kemuliaan bagi pemiliknya....” Ilmu semakin menajamkan pertimbangan rasional (jiwa manusia), dan membuat manusia tahu berapa takaran jiwa vegetatif yang pas dan kapan jiwa binatang perlu mengedepan.

Misalnya, ilmu mengajarkan kita bahwa mencari pengetahuan (belajar) merupakan ekspresi Godlike dari sifat Tuhan yang Maha Mengetahui. Dengan ilmu, kita semakin tahu keutamaan orang yang belajar, dan kerugian orang yang tidak mau belajar. Sehingga, ilmu mempertajam pertimbangan rasional untuk semakin menggiatkan belajar. Kesadaran mencari ilmu akan membawa kita pada keinginan gerak yang produktif, bukan gerak menyia-nyiakan waktu. Dan, tentu untuk kuat belajar kita butuh makan juga, kan?


Category : catatan santri

SHARE THIS POST


ABOUT THE AUTHOR

Moh. Rivaldi Abdul

Mahasiswa Doktoral S3 Studi Islam, Konsentrasi Sejarah Kebudayaan Islam, Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta