Forgiveness/Pemaafan
12 April 2018
|
1320
ÔÇ£Memaafkan bukan berarti melupakan kesalahan,ÔÇØ kata Pak Fahruddin Faiz. Itu adalah miskonsepsi, salah pengertian/paham mengenai pemaafan yang pertama. Misalnya diselingkuhi. Kita memaafkan tapi tidak melupakan. ÔÇ£Kalau kesalahannya dilupakan, yo... nanti diselingkuhi lagi,ÔÇØ kata beliau melanjutkan. Malam itu, Rabu 26 Juli 2017, tema ngaji yaitu┬áFilsafat Pemaafan/Forgiveness. Senda gurau Pak Faiz lebih banyak dibanding pekan sebelumnya. Untuk malam itu, beliau pantas dipanggil ustaz, sebab ada banyak ayat Al-Quran yang disampaikan pada penghujung ngaji. Haa.. haa... Miskonsepsi kedua, pemaafaan dianggap sebagai simbol kelemahan. Kita dalam posisi mampu membalas tetapi memilih memaafkan, itu sejatinya adalah perbuatan orang kuat. Mau membalas tapi tak bisa, nah itu baru orang lemah. Miskonsepsi ketiga, pemaafan dianggap bersifat tak adil. ÔÇ£Kalau berbuat salah, ya... harus dihukum,ÔÇØ begitu prinsipnya. Kita memang punya hak untuk membalas atau menuntut keadilan. Namun, adil adalah hak, sedangkan memaafkan adalah kemuliaan. Pemaafan melampaui adil, pemaafan ada di level ihsan. Miskonsepsi keempat, maaf dianggap hanya untuk orang yang dikenal atau yang meminta maaf. Bersedia memaafkan dengan syarat dia harus mengajukan permintaan terlebih dulu, malah membuat tak jadi-jadi memaafkan. Miskonsepsi kelima, mengganggap memaafkan bisa cepat dan mudah. Memaafkan, kalau langsung spontan, bisa jadi hanya di mulut. Ini adalah jenis konstantif (pernyataan tentang sesuatu dengan apa adanya, hanya menyentuh definisi dan deskripsi tanpa melibatkan aksi) lawan dari pemaafan performatif (pernyataan yang tak hanya kata-kata tapi juga dibarengi dengan tindakan) yang bahkan disertai ketulusan. Miskonsepsi keenam, maaf bukan berarti membolehkan perilaku keliru. Dimaafkan setelah berbohong, bukan berarti bohongnya bisa dibenarkan. Pertanyaanya kemudian, mengapa harus memaafkan? ÔÇ£Supaya ringan hidup kitaÔÇØ kata Pak Faiz. Membenci itu adalah ibarat minum racun tapi berharap orang lain yang mati. Hal remeh temeh menjadi beban. Begitu memaafkan kita jadi ringan, membuang beban di kepala dan hati. Sedangkan kalau kita membenci itu membuat rugi energi, waktu, dan pikiran. ÔÇ£Di antara yang membuat kita sibuk adalah yang kita cintai dan kita benci, padahal belum tentu mereka itu memikirkan tentang kita.ÔÇØ Banyak di antara hadirin yang tertawa, sepertinya mereka berpengalaman cinta bertepuk sebelah tangan. Aku termasuk yang terkoneksi cepat merespon kalimat itu dengan tawa. ÔÇ£Sudahlah... biarkan dia bersama yang lain. Kamu cari pengganti. Kayak nggak bisa cari yang lebih jelek aja...ÔÇØ tawa kami semakin keras. Pemaafan membuat kita maju, bebas dari luka masa lalu. Pengalaman tak menyenangkan dibuang saja, meski tidak dilupakan, tapi cukup diambil pelajaran. Pak Faiz menganalogikan seperti ketika naik sepeda motor: belakang dilihat sekilas-sekilas saja lewat spion. Memaafkan membuat kita punya energi lebih, yang tadinya untuk merancang balasan kini bisa dimanfaatkan untuk hal yang positif. ÔÇ£Nggak mungkin kita maju kalau beban batin kita terlalu berat. Kita memaafkan, siapa tahu besok kita yang butuh dimaafkan.ÔÇØ Ada kalanya orang tidak mau memaafkan. Di antara alasannya antara lain adalah menggunakan kerangka berpikir (paradigma) adil: ÔÇ£Kalau salah, ya dapat sanksi, kalau keliru ya dihukum.ÔÇØ Kedua, adanya permainan kuasa. ÔÇ£Yang meminta maaf dianggap inferior, rendah diri.ÔÇØ ÔÇ£Kamu kalau berani besok bikin perjanjian sama dosenmu: Mau pakai paradigma adil atau pemaafan, Pak? Masa cuma mahasiswa aja yang dapat sanksi kalau telat. Kalau bapak telat monggo ngajar sendirian, kita mahasiswanya pulang semua,ÔÇØ kira-kira begitu kalimat guyonnya. Ketiga, alasan alamiah. Berdasarkan teori, manusia itu alaminya punya sifat jelek. Keempat, kemarahan dan kebencian kita jika dilampiaskan akan berangkai, menghadirkan kemarahan-kemarahan baru. Pak Faiz memisalkan, bahwa ÔÇ£Kalau kamu memaki orang lain, dia maki kamu, tambah bawa-bawa nama saudaramu, orang tuamu, sampai dosen dan kampus kena juga: Uuu... dasar anak kampus UI*! Dasar mahasiswanya Pak Anu!ÔÇØ dan setetusnya. Secara teori, menurut Robert Enright dalam buku karyanya Forgiveness is a Choice (2001), ada empat fase pemaafan. Pertama, uncovering phase. Maksudnya memahami alasan mengapa kita jengkel, mencari sakitnya di mana dan karena apa. Jadi, lebih menekankan pemahaman dan pengungkapan atas rasa ÔÇ£sakitÔÇØ yang dialami. Kedua, decision phase, yaitu memikir-mikir apakah layak untuk dimaafkan. Ketiga, work phase, yaitu kerja memaafkan, dalam artian mengubah sudut pandang dan berusaha memahami dan memaklumi terhadap orang yang menzalimi. Dari teori tersebut kalau misal penyebabnya: ÔÇ£Sudah pacaran 3 tahun. Ke mana-mana bersama. Tahu-tahu ada yang lebih cakep langsung dinikahi. Itu yang bikin kamu sakit, meski alasannya rasional.ÔÇØ Di sini hadirin terkakak, dan terkakak lagi ketika Pak Faiz menyampaikan, ÔÇ£Saya maklum kamu pilih yang lebih cakep, alhamdulillah akalmu masih jalan.ÔÇØ Nah, ketika masuk tahap ketiga, kita mampu untuk lebih memilih sisi positifnya. Orang yang menyakiti tidak dipandang sebagai orang yang bersalah. Pada level ini, nilai spiritual orang yang disakiti (terzalimi) telah meningkat. Pertanyaan selanjutnya, mengapa kita bersedia memaafkan? Karena beberapa variabel pendukung yang menjadikan kita bertindak memaafkan. Pertama, empati, yaitu kemampuan memosisikan diri seperti orang lain. Kedua, atribusi, yaitu cara memandang pelaku dan kesalahan. Ada kesalahan yang bagi kita kecil tapi oleh orang lain dianggap besar. Variabel ketiga, kualitas hubungan yang telah menjalin kedekatan jadi lebih mudah untuk dimaafkan. Selain itu, pemaafan punyaÔÇökatakanlahÔÇöpelevelan. Di bagian ini Pak Faiz membedakan antara paradigma adil dan paradigma pengampunan. Pertama, dihukum dulu baru dimaafkan. Prinsipnya, sebelum dia merasakan sakitku, tak akan kumaafkan. Kedua, dimaafkan tapi ruginya dipulihkan. Ketiga, melihat tanggapan masyarakat. Jika suara sosial bilang layak, barulah dimaafkan. Keempat, memaafkan karena hukum memerintahkan, apakah itu hukum agama, positif, atau sosial. Pada level keempat hukum dijadikan acuan sebab memaafkan, karena sesuka-sukanya ┬ámemaafkan bisa dianggap mampu membuat kacau tatanan. Orang bisa berbuat salah seenaknya karena menganggap musah memperoleh maaf. Kelima, pemaafan demi nilai/harmoni sosial. Keenam, pemaafan tanpa syarat, atas dasar cinta. Karena kita adalah manusia. Inilah level puncak dari tindakan pemaafan. Pemaafan tak hanya berlaku untuk orang lain, ruang pemaafan juga perlu diberikan pada diri sendiri ketika salah. Ada tiga tahapannya. Pertama, responsibility, yaitu fase mengaku dan siap bertanggung jawab. Kedua, remorse, yaitu fase menyesal dan berusaha tidak mengulanginya kembali. Ketiga, restoration, yaitu memperbaiki apa saja yang keliru. Keempat, renewal, titik di mana kita siap beraktivitas lagi dengan memaafkan diri sendiri, berpikir dan bertindak serta tidak terpenjara oleh kesalahan di masa lalu. Bagi Jacques Derrida, maaf yang bersayarat bukanlah sebenar-benarnya maaf, melainkan dagang. Memaafkan yang tak termaafkan itulah yang utama. Memaafkan tidak memilih-milih, itulah tanda benar-benar telah beralih dari dendam. Diantara surah yang berbicara tentang pemaafan dalam Al-QurÔÇÖan salah satunya adalah surah Ali ÔÇÿImran [3]: 134 yang artinya, ÔÇ£(Yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan mema'afkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.ÔÇØ
Category : kolom
SHARE THIS POST