Filsafat Stoikisme dan Komedi: Kebahagiaan dan Kelucuan
Dari banyaknya aliran filsafat yang menjawab panggilan kehidupan, filsafat stoikisme menonjol sebagai suatu sistem pandangan yang menekankan kontrol atas diri dan kebijaksanaan dalam menghadapi cobaan hidup. Dalam konteks ini, artikel ini akan membahas hubungan yang mungkin tidak terduga antara filsafat stoikisme dan komedi, dua elemen yang, pada pandangan pertama, mungkin tampak bertolak belakang.
Stoikisme yang tumbuh subur pada era Yunani kuno, menekankan pada penerimaan takdir, ketenangan, dan pengendalian diri sebagai kunci menuju kebahagiaan yang berkelanjutan. Sementara itu, komedi, dengan segala keceriaannya, sering kali dianggap sebagai pelarian dari realitas atau bahkan sebagai bentuk ekspresi hedonisme.
Lantas dimanakah kesamaan atau pertautan antara kedua konsep ini? Bagaimana aspek-aspek kunci dari filsafat stoikisme, seperti ketenangan dan penerimaan takdir, dapat merangkai narasi komedi? Bagaimana kebijaksanaan stoik dapat menjadi landasan untuk memahami humor dan kelucuan dalam kehidupan sehari-hari?
Konsep Kebahagiaan Stoikisme
Awal mula stoikisme berasal dari seorang pedagang kaya dari Siprus bernama Zeno sekitar 3000 SM. Zeno mempelajari filsafat dari berbagai filsuf yang berbeda, dan kemudian mengajar filosofinya sendiri disebuah teras berpilar (dalam bahasa Yunani disebut stoa) di Kota Athena. Dari Zeno, filsafat ini dilanjutkan dan dikembangkan oleh para filsuf lain, mulai dari Yunani sampai ke kaisaran Romawi, seperti Seneca, Epictetus, dan Kaisar Marcus Aurelius.
Konsep bahagia yang diperkenalkan oleh stoikisme adalah mereka berfokus pada kebahagiaan yang hanya bisa dikendalikan oleh diri mereka sendiri ini, yang disebut “dikotomi kendali”. Dikotomi kendali yang dimaksudkan di sini, adalah segala sesuatu dalam hidup itu dibagi menjadi dua: hal yang ada dalam kendali kita, dan hal yang di luar kendali kita.
Menurut Seneca, stoikisme mengajarkan bahwa kebahagiaan sejati hanya datang dari hal-hal yang berada dibawah kendali kita. Kita tidak bisa menggantungkan kebahagiaan dan kedamaian sejati pada hal-hal yang tidak bisa kita kendalikan. Sebaliknya, kita tidak bisa menggantungkan kebahagiaan dan kedamaian sejati kepada hal-hal yang tidak bisa kita kendalikan.
Sayangnya, kebanyakan orang lebih sering berfokus pada hal-hal yang berada di luar kendali diri daripada hal-hal yang dapat mereka kendalikan. Sama seperti ekspektasi yang seringkali tidak sesuai dengan tujuan awal kita.
Stoikisme juga mengajarkan agar kita terhindar dari kebiasaan menyalahkan Tuhan dan orang lain. Dari pernyataan di atas dapat diambil kesimpulan, bahwa saat kita dihadapkan dengan permasalahan atau kesulitan yang terjadi di dalam kehidupan, kita wajib mengendalikan emosi negatif secara rasional untuk menghindari menyalahkan Tuhan maupun orang lain. Mahzab filsafat stoa menekankan ajaran yang terfokus pada apa yang berada pada kontrol diri kita, sebab inilah yang kemudian membawa manusia menuju kebahagiaan.
Kebahagiaan hidup bukanlah suatu keadaan di mana hidup dilewati tanpa adanya sebuah penderitaan. Justru dalam penderitaan itu terdapat suatu proses serta perjuangan menuju kebahagiaan. Penderitaan atau ketidakbahagiaan menjadi suatu sarana yang digunakan dengan tujuan agar dapat memahami arti kebahagiaan yang sejati.
Bahwa penderitaan atau permasalahan hidup, semakin hari semakin membuat seseorang gelisah, bahkan merasa tidak tenang menjalani kehidupannya. Namun, bagi mereka yang memiliki motivasi tinggi untuk dapat meraih kebahagiaan hidup, permasalahan hidup justru mendorong mereka agar senantiasa menemukan jalan untuk sampai pada fase hidup bahagia.
Untuk dapat merasakan kebahagiaan, manusia tidak bisa menempuhnya dengan satu jalan saja. Semakin banyak jalan yang tempuh, semakin besar pula potensi kebahagiaan yang dapat dirasakan manusia. Banyaknya jalan yang dapat ditempuh bukan berarti menghalalkan segala cara untuk mendapatkannya, jalan yang benar serta sesuai dengan tuntutan dan tuntunan agamalah yang dianjurkan (bukan jalan yang menyimpang).
Jalan yang dapat ditempuh untuk sampai pada fase hidup bahagia—meminjam istilah dalam Islam—terbagi menjadi dua yakni melalui ritual ubudiah dan praktik sosial dalam kehidupan bermasyarakat. Melalui ritual ubudiah, jalan-jalan untuk mendapat kebahagiaan terangkum dalam satu istilah yang dikenal dengan takwa. Takwa dimaknai sebagai sikap menghindari kufur dengan jalan beriman kepada Tuhan.
Bila sudah memiliki kesadaran untuk menghindari segala sikap kufur, maka hanya akan tersisa satu pilihan, yakni menjalankan sesuatu yang telah diperintahkan Tuhan. Selain melalui ritual ubudiah, jalan lain yang dapat ditempuh adalah melalui praktik sosial dalam kehidupan bermasyarakat. Beberapa cara yang dapat dilakukan adalah berlaku adil, selalu bersyukur, senantiasa mengajak pada kebaikan, menebar senyum pada sesama, dan lain sebaiknya.
Ontologi Kelucuan
Kata “lucu” berasal dari humour (bahasa Inggris) yang artinya kelucuan atau kejenakaan. Humor dapat dilihat dari tiga sisi: sebagai objek dalam bentuk konkret atau imajinasi yang melahirkan senyum atau tawa, sebagai kecenderungan seseorang untuk bersikap positif hingga melahirkan senyum atau tawa, dan sebagai sikap tersenyum atau tertawa yang terjadi karena hal positif.
Manusia menurut fitrahnya tercipta dengan tabiat dan sikap yang bervariasi, maka jika semua manusia itu sama, sesungguhnya itu tidak wajar. Pendekatan psikologi sosial diharapkan mampu menemukan celah solutif-konstruktif mengenai aktualisasi humor yang tepat.
Pendekatan ini menawarkan motivasi internal dan eksternal yang baik dalam membangun proses interaksi sosial yang melahirkan kebaikan bagi sesama, meskipun humor sering kali dilontarkan secara berlebihan, akan tetapi humor akan selalu hadir dalam kehidupan. Rasa humor merupakan salah satu anugerah dari Tuhan.
Humor melahirkan emosi positif, membuat seseorang mampu tersenyum, tertawa, dan menampilkan ekspresi wajah yang positif. Emosi positif yang dilahirkan dari humor adalah representasi dari fokus diri pada nilai emosional yang dapat memberikan sensasi positif untuk menjalani keseharian. Kepekaan humor yang tinggi dapat membuat seseorang merasa rileks, sehingga pikiran dapat berkonsentrasi secara maksimal dalam menyelesaikan suatu masalah.
Humor hadir dari beragam teori yang berkiblat pada acuan yang lazim, yakni humor lahir untuk membuat orang bahagia. Seperti perkembangan humor yang terjadi di Inggris sekitar abad ke-16, mencetuskan pengemasan humor dalam bentuk kata-kata dan perbuatan. Pada abad ke-17, lahirlah kembali di Inggris perkembangan humor dalam bentuk naskah humor dan teater komedi. Lalu, pada abad ke-18, perkembangan humor dalam bentuk teater komedi berevolusi menjadi bentuk satire yang menjadi trend terutama di daratan Eropa.
Pada abad ke-19, perkembangan humor mencetuskan sajian baru dalam bentuk komik hingga merajalela dari daratan Eropa sampai ke daratan Asia dan Amerika. Saat itu humor menjadi bagian dari kehidupan yang tidak dapat dipisahkan. Akhirnya, sejak abad ke-19 hingga era baru, humor mendominasi kehidupan dalam bentuk komik dan film. Humor menjadi bagian dari objek penelitian elite semenjak abad ke-20.
Beragam literatur mengenai humor yang telah dicetuskan para ilmuan berbagai bidang, seperti ilmu sosial dan ilmu psikologi, memberikan warna tersendiri bagi ilmu pengetahuan dan para peneliti selanjutnya. Di Indonesia, humor pun telah menjadi bagian dari budaya, bahkan kesenian rakyat seperti lenong, wayang golek, film komedi, stand up comedy, dan yang lainnya.
Kebahagiaan dan Komedi
Filsafat stoicisme memiliki pandangan tentang kehidupan yang didasarkan pada ide ketenangan batin dan penerimaan takdir. Dalam menjalani kehidupan, ketenangan stoik dapat menjadi kunci untuk memahami komedi dan kelucuan. Konsep ini mungkin terasa paradoksal pada awalnya, tetapi melalui penerapannya dalam konteks komedi, kita dapat melihat bagaimana ketenangan dapat memberikan fondasi yang kokoh untuk memahami suatu kelucuan.
Sebagai prinsip dasar, ketenangan stoik berasal dari kemampuan untuk memisahkan diri dari situasi dan menerima kenyataan dengan damai. Ini bukanlah sikap pasif terhadap hidup, melainkan kebijaksanaan untuk membedakan antara hal-hal yang dapat diubah dan yang tidak. Dalam konteks komedi, kemampuan untuk melihat keabsurditasan kehidupan dengan tenang, dapat membuka pintu menuju pemahaman yang lebih dalam tentang kelucuan.
Seiring kita masuk ke dalam komedi, akan ditemukan bahwa banyak lelucon dan situasi lucu muncul dari ketidaksesuaian antara harapan dan realitas. Tidak jarang, kejutan atau paradoks dalam komedi menciptakan momen ketenangan yang khusus.
Sebagai contoh, seseorang yang merencanakan liburan dengan rinci namun mendapati hujan turun secara tiba-tiba. Seseorang yang menganut prinsip ketenangan stoik akan melihat kejadian ini sebagai kesempatan untuk meresapi keindahan spontanitas dan menerima takdir dengan damai.
Dalam pandangan stoik, komedi tidak hanya terkait dengan tawa atau senyum semata, namun juga melibatkan pengakuan atas ketidakpastian kehidupan dan kemampuan untuk tetap tenang di tengah-tengah kekacauan. Dengan kata lain, ketenangan stoik membuka peluang untuk melihat humor sebagai tanggapan intelektual terhadap dunia, di mana kita dapat melihat ke dalam kebijaksanaan yang terkandung dalam situasi yang sial.
Sejalan dengan gagasan ketenangan, filsafat stoikisme menyarankan bahwa kita, sebagai individu, memiliki kendali penuh atas sikap kita terhadap kehidupan. Sementara banyak aspek kehidupan mungkin di luar kendali kita, tanggapan kita terhadapnya adalah pilihan kita.
Dalam komedi, menciptakan ruang untuk mengembangkan sikap yang berdaya tahan terhadap ketidakpastian. Seseorang yang memiliki ketenangan stoik tidak hanya akan melihat situasi yang sulit dengan sikap yang lebih positif, tetapi juga mungkin menemukan kelucuan dalam kekacauan tersebut.
Penerapan konsep ketenangan dalam humor juga mengajarkan kita bahwa tidak selalu perlu merespon dengan serius terhadap setiap situasi. Beberapa dari situasi yang sulit atau aneh dapat dihadapi dengan senyuman atau bahkan tawa. Ketika kita dapat memandang kehidupan dengan ketenangan, kita melepaskan diri dari tekanan berlebihan dan menciptakan ruang untuk tawa.
Namun, hal ini tidak berarti bahwa setiap situasi lucu harus disertai dengan kebijaksanaan stoik. Tidak ada aturan kaku di sini. Sebaliknya, pemahaman ini mengajarkan kita untuk memiliki keseimbangan, untuk tahu kapan kita harus melihat ke dalam, menerima, dan melibatkan diri dalam kelucuan.
Penerapan konsep ketenangan stoik dalam humor mengajarkan kita bahwa tawa bukan hanya tanggapan spontan terhadap lelucon, tetapi juga bentuk kebijaksanaan. Tertawa adalah keterampilan untuk melihat ke dalam setiap situasi, memahami esensi kehidupan, dan melibatkan diri dalam kelucuan sebagai wujud dari kebijaksanaan. Ketenangan stoik menciptakan dasar bagi pengalaman humor yang mendalam, di mana kita tidak hanya tertawa pada sesuatu, tetapi juga kepada diri sendiri, dan paradoks kehidupan.
Category : filsafat
SHARE THIS POST