Filsafat Islam Rhazes
“Hakikatnya manusia tidak butuh nabi, wahyu, kitab suci, atau mukjizat...”. Lebih kurang demikian pandangan Rhazes yang menjadikannya sosok kontroversial bagi banyak kalangan. Karena pandangannya itu banyak yang menilai Rhazes sebagai orang yang anti-agama. Padahal, alih-alih mengartikan statement demikian sebagai narasi anti-kewahyuan, kita dapat memaknainya sebagai penekanan terhadap anugerah Tuhan yang bernama akal.
Tuhan menganugerahkan akal kepada manusia. Dengan akal itu, kita dapat berpikir dan mengetahui mana yang baik dan yang buruk. Sehingga, pada hakikatnya, sebagaimana pandangan Rhazes, tanpa wahyu sekalipun, manusia seharusnya dapat mengetahui baik dan buruk dengan memberdayakan akalnya. Sayangnya, dalam realitas sejarah, manusia lebih sering mematikan akal dan menghidupkan nafsu. Karena itu, alih-alih membangun peradaban yang terang dengan akal, manusia malah menciptakan peradaban yang gelap karena menjadi budak bagi nafsu. Pada titik gelap ini, Tuhan mengutus seorang nabi yang salah satu tugasnya adalah mengingatkan manusia untuk memberdayakan akal.
Rhazes memang termasuk seorang tokoh yang rasionalis. Sehingga tidak mengherankan jika pandangan filosof Muslim yang bernama lengkap Abu Bakar Muhammad bin Zakariyah al-Razi, yang hidup sepanjang tahun 865-925 M, ini kental akan seruan pemberdayaan akal dalam kehidupan. Pandangan Rhazes yang demikian menjadi salah satu topik yang dijelaskan oleh Fahruddin Faiz dalam Ngaji Filsafat, pada 6 September 2023, edisi Filsafat Islam: Abu Bakar Muhammad bin Zakariyah al-Razi (Rhazes).
Jangan Sia-siakan Akal
Menurut Rhazes, secara naluriah dan alamiah, manusia dapat membedakan mana yang baik dan mana yang buruk dengan akalnya. Ini bukan berarti dirinya ingin mendewakan akal dan menihilkan unsur ketuhanan dalam kehidupan. Tidak. Sebab, bagi Rhazes sendiri akal itu adalah anugerah dari Tuhan. Anugerah luar biasa yang memungkinkan manusia untuk meningkatkan kualitas hidup, memperindah kehidupan, meraih tujuan, memahami alam, mengembangkan pengetahuan, dan lain sebagainya. Betapa akal adalah karunia besar yang Tuhan berikan kepada manusia.
Karena Rhazes memandang akal sebagai anugerah Tuhan, maka pemberdayaan akal dalam konsepnya dapat kita pahami sebagai narasi yang menyeru setiap orang untuk mensyukuri nikmat Tuhan. Rhazes seakan ingin mengatakan, akal yang dimiliki oleh manusia jangan hanya disimpan, jangan disia-siakan, karena ia adalah anugerah yang Tuhan berikan kepada kita.
Sekalipun dalam ranah beragama, manusia tetap perlu memberdayakan akalnya. Jangan disia-siakan, karena akal dapat membantu kita dalam beragama secara maksimal. Wahyu dan akal merupakan dua anugerah besar dari Tuhan. Mengikuti petunjuk wahyu dan tetap memberdayakan akal secara proporsional, artinya mensyukuri dua anugerah Tuhan. Hal ini tentunya akan membawa kita kepada kebaikan dalam kehidupan di dunia.
Contohnya, dalam Al-Qur’an (wahyu) terdapat petunjuk yang menyatakan bahwa Allah SWT adalah Tuhan yang Maha Esa, dan agama yang diridai-Nya adalah Islam. Namun, dalam realitas kehidupan, kita menemukan banyak agama yang memiliki ajaran dan konsep ketuhanannya masing-masing. Dalam hal ini, kalau kita memandang wahyu tanpa pertimbangan akal dalam memahami realitas, maka alamat kacaulah keberagamaan di dunia ini. Sebab kita akan gagal memahami realitas perbedaan dan terjebak pada laku beragama yang mudah menghakimi orang yang berbeda dengan keyakinannya. Sebaliknya, terlalu mengedepankan akal dan mengabaikan wahyu juga dapat menyesatkan kita dari jalan yang dituju. Kita mungkin malah akan terjebak pada kekeliruan-kekeliriuan lainnya.
Oleh karena itu, kita perlu menempatkan keduanya secara proporsional. Al-Qur’an yang kita baca mengatakan bahwa Islam adalah agama yang diridai oleh Allah. Namun, dalam kehidupan kita melihat banyak sekali agama selain Islam. Maka, kita perlu akal dalam memahami realitas keberagaman untuk mengedepankan nilai hidup bersama. Akal memberikan kita pertimbangan bahwa laku kekerasan itu tidak baik, dan mengedepankan kedamaian dalam perbedaan adalah sikap yang sesuai dengan tujuan beragama.
Jadi, dalam kehidupan, manusia perlu mengikuti petunjuk wahyu tanpa mengesampingkan akal yang telah dianugerahkan oleh Tuhan.
Proporsi Akal dan Nafsu
Oleh karena akal merupakan anugerah Tuhan yang luar biasa, maka sudah sepantasnya untuk kita jaga. Salah satu hal penting yang perlu kita lakukan dalam menjaga akal adalah tidak membiarkannya dikuasai oleh nafsu. Sebab, penguasaan nafsu atas akal adalah alamat kecacatan pikiran. Nafsu dapat menghalangi akal dari petunjuk hakiki dan keselamatan sejati. Sehingga jalan orang yang akalnya mati karena penguasaan nafsu akan menyimpang dari alamat yang semestinya.
Manusia memang memiliki kecenderungan alamiah dalam diri. Menurut Rhazes, nafsu yang berupa dorongan biologis untuk mencari kesenangan, akan berbahaya jika tidak disertai oleh pertimbangan akal mengenai konsekuensi yang mungkin akan muncul. Namun, kita juga tidak boleh memungkiri bahwa kecenderungan alamiah dalam diri manusia itu sebagai sesuatu yang normal.
Dalam ukuran etika Rhazes, kita tidak perlu mematikan nafsu sepenuhnya. Menurutnya, kebaikan manusia terletak pada pengendalian nafsu agar tunduk dan mengikuti jiwa rasional. Dalam hal ini, dia memandang bahwa kebaikan yang hanya didasarkan pada pemuasan nafsu adalah kebaikan di level kebinatangan (al-bahaim).
Rhazes memang mengkritik orang yang dikalahkan oleh nafsunya. Namun, di sisi lain dia sadar bahwa nafsu itu sendiri tidak perlu dimatikan sepenuhnya. Sebab, nafsu juga memiliki keutamaan tersendiri bagi kehidupan manusia. Keutamaan nafsu dapat muncul apabila akal dan agama mampu mengendalikannya.
sebagai contoh, manusia memiliki kecenderungan alamiah dalam dirinya untuk merasa benar. Ketika nafsu kebenaran menguasai dirinya dan menyingkirkan akal kebenaran, maka kehidupan beragamanya hanya akan berputar-putar dan terjebak dalam lingkaran truth claim (klaim kebenaran) semata. Bahkan, dalam tingkatan tertentu, klaim kebenaran dapat menjadi alasan bagi seseorang untuk melakukan kekerasan terhadap orang lain yang memiliki ekspresi keberagamaan berbeda.
Namun di sisi lain, kurang bijak juga jika mematikan nafsu kebenaran sepenuhnya. Sebab, dalam proporsi yang pas dan dalam pengawasan akal serta agama, nafsu kebenaran dapat menjelma dalam bentuk keutamaannya berupa sikap untuk konsisten, tidak abu-abu, pada keyakinan yang dipilih.
Jadi pada dasarnya perlu ada proporsi yang pas dalam meletakkan nafsu di bawah pengawasan akal.
Proporsi yang Pas Menuju Kebahagiaan Sejati
Dari proporsi akal dan nafsu yang telah dijelaskan, kita dapat mengetahui bahwa etika hidup Rhazes berdasarkan pada keseimbangan. Manusia tidak memanjakan nafsu dan tidak pula membunuhnya. Ia hanya perlu meletakkannya dalam kontrol akal dan agama. Inilah jalan yang menurut Rhazes dapat mengantarkan manusia pada kebahagiaan sejati. Kebahagian yang dalam pandangannya akan membawa manusia kembali kepada Tuhannya.
Dalam hal ini, menurut saya, narasi “kembali kepada Tuhan” yang dimaksud Rhazes, tidak terbatas pada artian meninggalkan alam materi (perjumpaan setelah kematian). Namun, ia juga dapat dipahami sebagai keadaan ketika manusia menapaki jalan hidup yang lurus menuju keberadaan Tuhan dalam kehidupan. Seperti ketika manusia mengedepankan laku hidup dengan menebar kasih, yang berarti bahwa dirinya sedang menapaki jalan hidup menuju Tuhan yang Maha Kasih. Laku hidup yang bakal membuahkan kebahagiaan sejati berupa manifestasi kasih Tuhan dalam kehidupan yang damai.
Selain itu, dalam pandangan Rhazes, jalan bahagia dapat kita tempuh secara maksimal dengan tidak menyakiti orang lain dan tidak melakukan segala sesuatu yang bertentangan dengan akal. Ia juga menyarankan untuk memakan makanan yang tidak mengandung penyakit secukupnya dan memakai pakaian yang dapat menutup tubuh. Dalam artian, manusia perlu memberdayakan akal dan mencukupkan kebutuhan diri dengan tidak menjadi budak bagi nafsunya.
Category : catatan santri
SHARE THIS POST