Filsafat dan Mereka yang Tidak (Mau) Tahu

slider
27 November 2018
|
2323

Philosophy can make people sick” (Aristoteles)

Sebagai produk dan kreasi manusia tentu saja ‘makhluk’ yang bernama filsafat itu memiliki ‘penyuka’ dan ‘pembenci’nya sendiri. Para penyuka biasanya melihat filsafat sebagai barang penting, perlu dan bahkan niscaya dimiliki setiap orang.

Dalam pandangan yang positif ini mereka melihat secara ideal betapa dengan filsafat orang tidak lagi hidup asal-asalan dan di sisi lain mereka juga melihat bahwa filsafat melalui tokoh-tokoh besarnya dan segala pemikiran yang berkembang di dalamnya telah menyumbangkan banyak hal besar terhadap hidup dan peradaban manusia.

Apalagi jika kemudian diasumsikan bahwa filsafat adalah induk segala ilmu, berarti ketika ilmu pengetahuan meninggalkan filsafat, nasibnya akan seperti anak ayam yang kehilangan induknya.

Sementara itu para haters filsafat begitu antipati terhadap filsafat, biasanya karena ‘keusilan-keusilan’ pandangan-pandangan kefilsafatan tertentu yang dianggap mengacaukan tertib hidup, mengusik keyakinan, atau menyesatkan ‘kelurusan’ keyakinan.

Karakter filsafat yang selalu bertanya dan selalu melakukan uji ulang pengetahuan dan keyakinan, sering membuat tidak nyaman mereka yang sudah merasa ‘mapan’ dalam kehidupannya.

Tidak jarang pula pandangan yang negatif terhadap filsafat itu berasal dari ketidaksetujuan terhadap cara berefleksi filsafat yang dianggap terlalu mengandalkan kemampuan inteligensi manusia belaka, sementara diyakini bahwa ada sesuatu di atas manusia yang Maha Segala-nya yang wajib diikuti apa perintah-Nya.

Ada pula pandangan negatif terhadap filsafat yang berawal dari stigma negatif bahwa filsafat itu hanya membuat ruwet hidup dan mempersulit hal-hal yang semula mudah, sementara filosof adalah seorang urakan, lusuh, menjengkelkan dan ngeyelan. Anekdot dari Bertrand Russel berikut mungkin bisa menjadi ilustrasi.

Ada seorang lelaki berdiri di ujung jalan yang bercabang. Ia bertanya kepada seorang filosof yang sedang berdiri di sana, “Jalan mana yang menuju kota A?”

Sang Filosof menjawab, “Maksudnya salah satu dari dua jalan ini?”

“Ya.”

“Dan Anda ingin ke kota A?,” tanya si filosof lagi

“Ya, ya.”

“Berarti Anda ingin mengikuti salah satu dari dua jalan ini untuk menuju kota A?”

Karena mulai tidak sabar, lelaki itu berkata, “Ya, yang mana yang menuju kota A?”

“Mengapa Anda yakin kalau salah satu dari dua jalan ini menuju kota A?”, tanya filosof itu lagi

Lelaki itu pun kehilangan kesabarannya dan berkata dengan nada agak tinggi, “Anda tahu atau tidak?”

“Tidak.”

Boleh disebut pula ketidaksukaan terhadap filsafat yang berawal dari susahnya belajar filsafat, termasuk ruwetnya kajian-kajian filsafat, baik yang diceramahkan atau dituliskan dalam artikel dan buku-buku filsafat. Orang-orang dalam kelompok ini sebenarnya tidak termasuk haters filsafat, tetapi orang yang ‘dibuat putus asa’ ketika belajar filsafat.

Ada banyak argumen dan dasar yang sudah diajukan, baik oleh kelompok yang pro maupun oleh kelompok kontra dengan filsafat. Namun demikian, sebenarnya kesetujuan dan ketidaksetujuan itu sesuatu yang sangat wajar. Tidak ada satu gagasan pun di dunia ini yang secara mutlak disetujui seratus persen oleh setiap orang; kapan pun dan dimana pun.

Bahkan bumi yang terbukti bulat pun ada yang meyakininya datar. Meskipun demikian, kewajaran itu baru masuk akal jika kesetujuan atau ketidaksetujuan yang dimaksud didasari alasan dan argumen yang juga memadai.

Ihwal ketidaksetujuan dan pandangan negatif terhadap filsafat ini, yang tidak jarang muncul justru komentar-komentar dari mereka yang tidak tahu atau tidak mau tahu tentang filsafat namun membuta memberikan komentar dan pandangan yang negatif.

Dalam istilah Imam Al-Ghazali, mereka ini termasuk kategori “Orang yang tidak tahu tetapi tidak tahu kalau dia tidak tahu.” Orang yang tidak tahu, tetapi merasa tahu. Tidak tahu, tapi kayak tahu-tahuo. Dengan kata lain mereka ini bergaya seperti orang yang tahu, bertutur dan bersikap seperti orang yang tahu, padahal tidak tahu apa-apa.

Orang-orang dalam kelompok ini biasanya secara apologis memandang filsafat sebagai jelek dan negatif, titik. Alasannya? Tidak butuh alasan. Mereka tidak tahu dan tidak mau tahu.

Penjelasan-penjelasan positif tentang filsafat tidak mereka terima. Kalau pun ada dan ditemukan bukti manfaat filsafat dalam hidup manusia, bagi mereka semua itu hanya ‘ilusi’ dan ‘pencitraan' belaka. Bagi mereka kalau sudah negatif ya negatif, tidak mungkin ada nilai positifnya sama sekali.

Hal itu persis seperti kita kalau sudah memberi label orang sebagai—misalnya—maling, penjahat, koruptor atau apapun. Mungkin pernah satu dua-kali orang yang kita cap jelek itu melakukan kebajikan, tetapi biasanya kita tidak ambil peduli: sekali maling tetap maling.

Being ignorant is not so much a shame, as being unwilling to learn”, demikian kata Benjamin Franklin, sesepuh dan foundingfathers Amerika. Kalau diterjemah secara letterlijk kalimat tersebut berarti “Menjadi bodoh itu tidak terlalu memalukan dibandingkan menjadi tidak mau belajar”.

Pernyataan Benjamin Franklin tersebut rasanya sebuah sindiran kepada mereka yang ‘merasa sudah tahu’, ‘sok tahu’ dan sekaligus ‘tidak mau tahu’. Betapa memang merepotkan menghadapi tipe manusia model begini, karena biasanya mereka akan ‘ber-akting' begitu mantapnya sebagai seorang yang sudah tahu, bahkan tak jarang dengan berapi-api mereka malah mendebat dan menyalah-nyalahkan orang-orang yang benar-benar tahu atau orang yang menjadi ahlinya.

Orang-orang semacam ini biasanya tidak bisa diajak berdiskusi atau berdebat secara adil, bebas dan terbuka, apalagi dikuliahi dan diceramahi. Salah satu kalimat sakti mereka adalah “pokoknya”.

“Pokoknya filsafat itu sesat”; “Pokoknya filsafat itu merusak”; “Pokoknya...”, “Pokoknya...”; “Pokoknya...”. Klaim “pokoknya” ini biasanya dilanjutkan dengan vonis kesalahan atau kesesatan orang lain yang berbeda pandangan.

Lebih jauh perlu digaris-bawahi, digaris-tebali, dan digaris-miringi: Tidak tahu dan tidak mau tahu terhadap sesuatu itu sebenarnya juga hak setiap orang, tetapi ketika sikap tidak tahu dan tidak mau tahu itu dilanjutkan dengan vonis negatif, mencaci, merendahkan, menyesatkan, menjelek-jelekkan, atau memberi label yang negatif (ad hominem), berarti dia sedang melakukan sebentuk ketidakadilan.

Lantas bagaimana reaksi kita saat berhadapan dengan mereka? Ya kalau mereka dalam jangkauanmu cobalah membuka pikiran dan hatinya, kalau mereka dalam kekuasaanmu, perintahkanlah dan tuntunlah, selebihnya: pasrahlah, tawakal saja.

Akan selalu ada orang dengan tipe semacam itu, maka berambisi membersihkan sampai tuntas orang-orang semacam ini sama artinya dengan memimpikan ketidakmungkinan.

Semoga keberadaan mereka tidak mengganggu pencarian kebenaranmu atau mengeruhkan kejernihan berpikirmu. Tugas kita adalah istiqamah–belajar, menjalankan kebaikan-kebenaran, meningkatkan kualitas diri, sukur-sukur kebaikan-kebenaran yang kita hidupkan bisa ‘menular’ ke orang lain, termasuk kepada mereka, para penolak membuta, yang terlanjur ‘merasa tahu segalanya’.

Hanya itu saja? Tidak, berdoalah juga!


Category : filsafat

SHARE THIS POST


ABOUT THE AUTHOR

Fahruddin Faiz

Pengampu Ngaji Filsafat Masjid Jendral Sudirman