Etika Politik Ibnu Khaldun: Kajian Filosofis tentang Keadilan, Kekuasaan, dan Keberlanjutan Negara
Ibnu Khaldun merupakan salah satu pemikir besar dunia Islam yang karyanya banyak memengaruhi pemikiran politik, ekonomi, dan sosial hingga hari ini. Dalam karyanya, Ibnu Khaldun tidak hanya mengkaji sejarah dan dinamika peradaban, tetapi juga memberikan pandangan mendalam tentang etika politik yang ideal bagi sebuah negara.
Konsep-konsep etika politik menurut Ibnu Khaldun di antaranya adalah dasar-dasar pemikiran, peran asabiyya (solidaritas sosial), siklus pertumbuhan dan keruntuhan negara, serta prinsip-prinsip kebijakan yang harus dipegang oleh seorang pemimpin.
Ibnu Khaldun membedakan manusia dari makhluk lain dengan kemampuan berpikir dan bertindak sebagai makhluk sosial, politik, ekonomi, dan peradaban. Sebagai makhluk yang berpikir (hayawan natiq), manusia menggunakan akalnya untuk memahami dan beradaptasi dengan lingkungan.
Sebagai makhluk sosial (hayawan madani), manusia tidak dapat hidup sendiri, ia memerlukan orang lain untuk memenuhi kebutuhan hidupnya seperti makanan, keamanan, dan kesejahteraan. Manusia juga adalah makhluk politik yang secara alami memerlukan organisasi sosial untuk mengelola kehidupannya.
Politik, menurut Ibnu Khaldun, tidak hanya berarti kekuasaan dan pemerintahan, tetapi juga mencakup cara-cara untuk mengatur rumah tangga, kota, atau negara secara beretika, berdasarkan akhlak dan kebijaksanaan (hikmah), guna menjamin keberlangsungan manusia. Di sini, tampak bahwa etika politik menurut Ibnu Khaldun adalah perpaduan antara akhlak individu dan kebijaksanaan praktis dalam mengelola urusan publik. Ia memandang politik sebagai sarana untuk menciptakan keadilan, keseimbangan, dan kesejahteraan bagi masyarakat.
Manusia, sebagai makhluk sosial, memerlukan masyarakat untuk bertahan hidup. Ibnu Khaldun menekankan pentingnya kehidupan bersama untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia, seperti makanan dan perlindungan dari ancaman eksternal. Dalam hal ini, negara muncul sebagai organisasi politik yang dibentuk untuk menjaga tatanan sosial dan memberikan perlindungan bagi masyarakat. Negara bukan hanya sebagai alat kekuasaan, tetapi juga sebagai sarana bagi manusia untuk mencapai kemajuan peradaban.
Dalam teorinya tentang pembagian kekuasaan, Ibnu Khaldun menyebut bahwa setiap negara memiliki struktur kekuasaan yang terdiri dari tiga elemen utama yang pertama yaitu as-sultan atau kepala negara yang bertugas memimpin dan mengarahkan. Kedua al-wizarah, yang bertanggung jawab atas administrasi dan pengelolaan pemerintahan. Ketiga al-hijabah, yang berperan menjaga keamanan negara dengan kekuatan militer. Ketiga elemen ini bekerja bersama untuk menciptakan stabilitas politik dan keamanan bagi negara.
Salah satu teori paling terkenal dari Ibnu Khaldun adalah teorinya tentang siklus kehidupan negara. Ia memandang bahwa setiap negara melalui enam tahapan: lahir, tumbuh, dewasa, stagnan, menurun, dan akhirnya mati. Pada tahap pertama, negara lahir dari kekuatan asabiyya, yaitu solidaritas sosial yang kuat di antara kelompok masyarakat. Negara kemudian tumbuh dan berkembang seiring dengan meningkatnya kekuatan asabiyya dan kemajuan peradaban.
Namun, seiring waktu, asabiyya mulai melemah karena kekuasaan yang diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Penguasa menjadi malas dan lebih mementingkan kepentingan pribadi dibandingkan kesejahteraan rakyat. Pada tahap ini, negara mulai stagnan, kemudian menurun, dan akhirnya mati ketika asabiyya hilang sepenuhnya dan penguasa gagal menjaga keadilan dan stabilitas negara.
Konsep asabiyya adalah salah satu pilar penting dalam teori politik Ibnu Khaldun. Asabiyya merujuk pada semangat kebersamaan dan solidaritas sosial yang ada di antara anggota kelompok atau masyarakat. Asabiyya adalah kekuatan yang memungkinkan sebuah kelompok untuk bersatu, bertahan, dan mendirikan negara. Pada tahap awal, penguasa menggunakan asabiyya untuk membangun kekuatan politik dan mempertahankan negara.
Namun, ketika kekuasaan mulai diwariskan kepada keturunan penguasa, asabiyya mulai melemah. Penguasa baru cenderung lebih fokus pada memperkuat posisinya sendiri daripada memperhatikan kesejahteraan masyarakat. Kemalasan dan gaya hidup mewah juga menjadi penyebab utama melemahnya asabiyya, yang pada akhirnya menyebabkan keruntuhan negara. Menurut Ibnu Khaldun, tanpa asabiyya, negara tidak akan mampu bertahan dalam jangka panjang.
Ibnu Khaldun mengidentifikasi beberapa faktor yang menyebabkan keruntuhan negara. Pertama, faktor politik, yaitu hilangnya kekuatan asabiyya sebagai pendukung negara. Ketika penguasa tidak lagi memiliki dukungan rakyat, negara mulai rapuh dan mudah runtuh. Kedua, faktor ekonomi, yaitu penurunan kekayaan negara karena gaya hidup boros dan tidak adanya kebijakan ekonomi yang efektif. Ketiga, faktor psikologi, di mana kebiasaan buruk penguasa dan rakyatnya, seperti kemalasan dan ketidakadilan, mempercepat proses kehancuran negara.
Selain itu, ada faktor sosial, seperti meningkatnya ketimpangan sosial yang mengakibatkan ketidakpuasan di kalangan rakyat. Ketimpangan sosial menyebabkan hilangnya solidaritas dan memperkuat polarisasi di dalam masyarakat. Terakhir, ada faktor alam, seperti bencana alam yang dapat menyebabkan kerusakan besar-besaran dan mempercepat keruntuhan negara.
Ibnu Khaldun juga mencatat bahwa bangsa-bangsa yang kalah biasanya cenderung meniru kebudayaan dan adat istiadat bangsa yang menaklukkan mereka. Hal ini disebabkan oleh pandangan bahwa bangsa penakluk memiliki kesempurnaan yang sifatnya alamiah. Dengan demikian, bangsa yang kalah sering kali kehilangan identitas mereka dan mengadopsi gaya hidup, budaya, dan bahkan sistem politik dari bangsa penakluk.
Ibnu Khaldun merumuskan delapan prinsip kebijakan yang harus dipegang oleh penguasa agar negara dapat bertahan dan berfungsi dengan baik. Pertama, kekuasaan penguasa tidak akan terwujud kecuali didasarkan pada hikmah agama. Kedua, syari’ah tidak dapat diimplementasikan tanpa penguasa. Ketiga, penguasa tidak dapat memperoleh kekuatan kecuali melalui dukungan rakyat. Keempat, rakyat tidak dapat dipelihara kecuali dengan kekayaan yang cukup. Kelima, pembangunan tidak dapat dicapai kecuali melalui keadilan. Keenam, keadilan adalah kriteria Allah dalam menilai hamba-Nya. Ketujuh, penguasa bertanggung jawab untuk mengaktualisasikan keadilan. Dan terakhir, keadilan harus menjadi landasan utama dalam semua keputusan politik.
Ibnu Khaldun mencatat bahwa ulama cenderung menjauhi politik karena mereka ingin menjaga integritas moral dan spiritual mereka. Dalam pandangan ulama, politik sering kali melibatkan kompromi yang dapat merusak nilai-nilai etis. Oleh karena itu, mereka lebih memilih untuk fokus pada pendidikan dan bimbingan spiritual masyarakat daripada terlibat dalam urusan politik praktis.
Ibnu Khaldun menekankan pentingnya kualitas pemimpin yang baik untuk menjaga keadilan dan kesejahteraan negara. Seorang pemimpin harus memiliki pengetahuan yang luas, keadilan, kompetensi, serta kesehatan jasmani dan rohani. Tanpa kualitas-kualitas ini, seorang pemimpin tidak akan mampu menjalankan tugasnya dengan baik dan negara akan mudah runtuh.
Dalam pandangan Ibnu Khaldun, praktik politik yang etis harus didasarkan pada keadilan. Keadilan adalah pilar utama yang menjaga keseimbangan antara kekuatan politik dan kepentingan umum. Penguasa harus menghindari kezaliman, bersikap sederhana dalam gaya hidup, dan mematuhi hukum serta norma-norma sosial.
Seperti yang dikatakan oleh Ibnu Khaldun, “Tentang semua kualitas manusia, yang ekstrim adalah hal yang tercela, dan jalan tengah adalah hal yang patut dipuji.” Prinsip moderasi ini juga tercermin dalam praktik politik, di mana penguasa harus menjaga keseimbangan antara kekuasaan dan tanggung jawabnya kepada rakyat.
Referensi:
Ngaji Filsafat 434: Ibnu Khaldun - Etika Politik edisi Etika Politik, bersama Dr. Fahruddin Faiz, M. Ag di Masjid Jendral Sudirman Yogyakarta, pada Rabu, 24 Juli 2024.
Category : catatan santri
SHARE THIS POST