Etika Islam dalam Kajian Prophetic Parenting
Persoalan etika tidak hanya terjadi dan terhenti di zaman Yunani atau zaman pra-Islam, melainkan sampai saat Islam hadir juga tidak terlepas dari persoalan etika. Hal tersebut mengakibatkan terjadinya transmisi keilmuan dari Yunani ke dalam dunia Islam atau lebih sering disebut islamisasi pengetahuan.[1] Dari tranmisi tersebut, muncullah para tokoh atau filosof muslim awal, di antaranya Al-Kindi, Al-Farabi, Ibn Miskawaih, dan lain-lain.
Ibn Miskawaih misalnya, ia menerjemahkan beberapa karya-karya filosof Yunani di antaranya Plato dan Aristoteles (Etika Nikomakea). Bidang etika menjadi klaim utama Ibn Miskawaih yang memiliki sistem etika yang tersusun dengan baik. Salah satu karyanya dibidang etika yaitu Thaharah Al-A’raq yang lebih dikenal Tahdzib Al-Akhlak.[2]
Konsep etika di dalam Islam dikenal sebagai akhlak. Filsafat etika secara keilmuan pertama kali memang lahir dan berkembang di Yunani, namun sejak manusia pertama kali diciptakan lambat laun sudah mengenal yang namanya etika atau akhlak. Hal tersebut tidak terlepas dari karakteristik agama Islam yang syumul (sempurna). Kesempurnaan Islam (syumuliyatul Islam) mencakup tiga hal, yaitu syumuliyatul zamaan (sepanjang waktu), syumuliyatul minhaj (mencakup semuanya), dan syumuliyatul makaan (semua tempat).[3]
Etika atau moral atau dalam bahasa Islam disebut akhlak, terkadang diidentikan sama oleh banyak orang. Meskipun sering dianggap sama terkait baik-buruk tindakan manusia, ketiganya memiliki pengertian yang berbeda. Secara singkat, jika moral lebih condong pada pengertian “nilai baik dan buruk dari setiap perbuatan manusia itu sendiri”, etika berarti “ilmu yang mempelajari tentang baik dan buruk”. Jadi bisa dikatakan, etika berfungsi sebagai teori dari perbuatan baik dan buruk (ethics atau ‘ilm al-akhlaq), dan moral (akhlak) adalah praktiknya.[4] Sedangkan akhlak menurut Ibn Miskawaih adalah keadaan jiwa seseorang yang mendorongnya untuk melakukan perbuatan-perbuatan tanpa melalui pertimbangan pikiran.[5]
Etika sebagai sebuah ilmu yang telah mengalami islamisasi dari bahasa Yunani ke dalam dalam bahasa Arab yang disebut sebagai akhlak. Sedangkan sifat dari pengetahuan itu sendiri dalam dunia Islam kembali pada tauhid.[6] Sehingga etika Islam bersumber dan merujuk pada wahyu Allah (Al-Qur’an) dan perkataan rasul-Nya (hadis). Al-Qur’an dan hadis menjadi sumber dari segala ilmu, termasuk etika atau akhlak. Dalam Al-Qur’an sendiri terdapat beberapa terma untuk menunjuk pada konsep moral atau kebaikan religius, seperti al-khayr, al-birr, al-qisth, al-iqsath, al-‘adl, al-haqq, al-ma’ruf, dan at-taqwa. Sedangkan dalam bahasa Arab, “etika Islam” biasa disepadankan dengan beberapa istilah (1) ‘ilmu akhlaq, (2) falsafat al-akhlaq, (3) al-akhlaq, (4) al-adab.[7]
Al-Qur’an mengatakan, “Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya. Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya” (QS Ash-Shams [91]: 8-10).
Sedangkan dalam hadis, Nabi menyatakan, “Perbuatan baik adalah yang membuat hatimu tentram, sedangkan perbuatan buruk adalah yang membuat hatimu gelisah”. Dari sini kita dianjurkan untuk berbuat baik dan menjauhi perbuatan buruk yang membuat hati gelisah. Kita pun menjadi lebih paham bahwa sumber dari etika Islam yaitu dasarnya Al-Qur’an dan hadis. Sedangkan sumber lainnya melalui cara khusus yaitu ijma dan qiyas (tentu saja kesimpulan ini masih bisa diperdebatkan).
Secara etimologi, akhlak berasal dari bahasa Arab, jama’ dari bentuk mufrad-nya “khuluqun” yang menurut logat diartikan budi pekerti, perangai, tingkah laku atau tabiat.[8] Rasulullah Saw diutus di antara misinya adalah membawa umat manusia kepada akhlakul karimah. Gambaran akhlak pada fase Arab pra-Islam—kita kenal sebagai zaman jahiliah—misalnya, mereka sudah memiliki perangai halus dan dermawan dalam menjalankan kehidupan yang baik dan mulia. Namun di sisi lain mereka juga pemarah, pemabuk, perampok, bahkan pembunuh bayi perempuan, dan lain-lain.
Perangai halus bangsa Arab pra-Islam bisa dilihat dari syair yang mereka ciptakan, misalnya syair Zuhair Ibn Abi Salam yang mengatakan, “Barang siapa menepati janji, tidak akan tercela; barang siapa membawa hatinya menuju kebaikan yang menentramkan, tidak akan ragu-ragu”.[9] Dikalangan mereka sendiri terdapat pula orang-orang arif bijaksana dan ahli-ahli syair yang menganjurkan berbuat baik dan melarang berbuat buruk, menganjurkan berbuat amar ma’ruf, dan mencegah berbuat keji. Salah satunya ialah Lukman el-Hakim.
Datangnya agama Islam yang menganjurkan orang berkeyakinan bahwa Allah Swt adalah sumber segala sesuatunya, dengan Al-Qur’an sebagai kita sucinya dan perkataan Nabi Muhammad Saw sebagai hadis, menjadi pedoman seluruh umat manusia.
Menurut Fazlur Rahman seperti yang dikutip Abdul Azis, secara faktual Al-Qur’an merupakan sebuah kitab ajaran etika, prinsip-prinsip serta seruan-seruan moral, dan bukannya sebuah dokumen hukum. Semangat Al-Qur’an merupakan semangat moral dengan menekankan pada ide monoteisme atau ketauhidan serta keadilan moral.[10] Dalam ayat-ayat Al-Qur’an sangat jelas pemilihan antara yang baik dan yang buruk, antara dosa dan pahala, antara kebenaran dan kesalahan. Sehingga apabila seseorang melakukan penyimpangan terhadap perintah-perintah Allah, maka akan ada hukuman bagi tindakannya tersebut.
Oleh sebab itu, sudah sangat jelas bahwa Al-Qur’an dan sunah Nabi menjadi sumber dari etika Islam yang sekaligus meneguhkan karakteristik agama Islam itu sendiri sebagai agama yang syumul (sempurna). Di dalamnya mengatur segala macam aspek kehidupan manusia, termasuk aspek akhlak, baik, buruk, dan lain sebagainya yang berkaitan dengan etika. Hal lain yang perlu diperhatikan juga bagaimana kemudia etika Islam lahir dan terinspirasi dari pemikiran Yunani dengan tokoh-tokohnya seperti Socrates, Plato, dan Aristoteles. Karya ketiga filosof Yunani tersebut dipelajar dan diterjemahkan ke dalam bahasa Arab oleh para pemikir Islam atau filosof muslim awal, seperti Al-Kindi, Al-Farabi, dan Ibn Miskawaih. Bahkan menurut Haidar Bagir, etika Al-Ghazali dan Immanuel Kant memiliki kesamaan dari segi aliran deontologi yang mendasarkan pada fitrah manusia. Tujuan akhir dari etika ataupun akhlak adalah kebahagiaan, seperti yang sudah dijelaskan Aristoteles dan Ibn Miskawaih di atas.
Perbedaan mendasar antara etika Islam dengan etika Barat ataupun Yunani, yaitu pada aspek sumber. Etika Islam menjadikan Al-Qur’an serta hadis sebagai sumber primer etika Islam. Konsekuensi dari hal tersebut mengakibatkan etika Islam tidak sepenuhnya produk akal manusia, melainkan ada campur tangan wahyu Allah, dan Nabi Saw. Selain karakteristik etika Islam, sebagaimana yang sudah dikemukakan di atas, terdapat aksioma etika Islam dengan berbagai indikator berikut.
Pertama, etika Islam bersifat unitas, yaitu berkaitan dengan konsep tauhid. Kedua, equilibrium. Berkaitan dengan konsep ‘adl (keadilan) merupakan suasana keseimbangan di antara perbagai aspek kehidupan manusia. Ketiga, kehendak bebas. Keempat, tanggung jawab. Kelima, ihsan yang merupakan suatu tindakan yang menguntungkan orang lain.[11]
Sementara itu, Hamzah Ya’qub menulis lima karakteristik etika Islam yang menurutnya dapat membedakan dengan etika yang lain. Pertama, etika Islam mengajarkan dan menuntun manusia kepada tingkah laku yang baik dan menjauhkan diri dari tingkah laku yang buruk. Kedua, etika Islam menetapkan yang menjadi sumber moral, ukuran baik buruknya perbuatan, didasarkan kepada ajaran yang berasal dari Al-Qu’ran dan hadis. Ketiga, etika Islam bersifat universal dan komprehensif. Keempat, ajaran-ajarannya yang praktis dan tepat, cocok dengan fitrah (naluri) dan akal pikiran manusia (manusiawi), maka etika Islam dapat dijadikan pedoman oleh seluruh manusia. Kelima, etika Islam mengatur dan mengarahkan fitrah manusia ke jenjang akhlak yang luhur dan meluruskan perbuatan manusia di bawah pancaran sinar petunjuk Allah menuju keridaan-Nya.[12]
Adapun korelasi maupun relevansi antara etika Islam dengan prophetic parenting atau cara nabi mendidik anak yaitu akhlak seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya merupakan perilaku dan tabiat. Berdasarkan definisi tersebut, seorang anak membutuhkan pembentukan akhlak agar dalam kehidupan dan hubungan sosial kemasyarakatannya menjadi tepat dan terarah. Etika Islam mengajarkan dan menuntun seorang anak pada tingkah laku yang baik dan menjauhkan dirinya dari tingkah laku yang buruk, serta menjadikan Al-Qur’an dan sunah sebagai sumber ukuran baik buruknya suatu perbuatan. Ada enam pendidikan akhlak atau adab nabi yang perlu diajarkan kepada anak sejak usia dini, yaitu adab kepada orang tua, adab kepada guru atau para ulama, adab penghormatan, adab persaudaraan, adab bertetangga, dan adab meminta ijin.
Al-Hafiz Ibn Hajar mengatakan, “Adab adalah melakukan sesuatu yang terpuji, baik perkataan maupun perbuatan”. Disebutkan juga dengan ungkapan: berakhlak mulia. Pendapat lain mengatakan bahwa mengerjakan segala sesuatu yang dianggap baik sebagai akhlak.[13] Maksudnya adalah memperlakukan orang lain dengan baik. Urgensi akhlak terlihat pada hubungan interaksi dan perlakuan kepada orang lain sampai pada penampilan yang merefleksikan kepribadian seorang anak maupun orang dewasa. Oleh karena itu, prioritas pendidikan etika dalam Islam (akhlak) terletak pada kemampuan anak dalam berperilaku di kehidupan sehari-hari.
Pentingnya adab dan penanamannya dalam diri anak terlihat sangat jelas ketika melihat Rasulullah Saw sendiri memberikan perhatian yang besar pada adab dalam membentuk akhlak anak. Beliau menanamkan dalam diri anak-anak dan membiasakannya dengan adab tersebut agar menjadi salah satu tabiat dan sifat dasar kehidupan anak kelak. Rasulullah Saw sampai mengibaratkan bahwa penanaman sikap ini lebih baik dibandingkan bersedekah, meskipun sedekah juga begitu penting dalam Islam.
Rasulullah Saw bersabda, “Seorang bapak menghukum anaknya lebih baik bagi si anak daripada memberinya sedekah satu sha”. Hadis ini diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dari Jabir bin Samurah. Kemudian Rasulullah Saw menjelaskan kepada kedua orang tua bahwa hadiah dan warisan terbaik untuk anak adalah adab. Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dari Sa’id bin ‘Ash bahwasannya Rasulullah Saw bersabda, “Tidaklah seorang bapak memberikan pemberian kepada anaknya sesuatu yang lebih baik dibandingkan adab yang terpuji”. Oleh karena itu, mewariskan adab atau akhlak yang baik kepada anak lebih baik daripada mewariskan harta. Sebab, adab dapat menghasilkan harta, kedudukan, dan cinta, serta dapat menggabungkan antara kebaikan dunia dan akhirat.
Kebanyakan orang tua pada hari ini, melalaikan tentang pentingnya adab dan menganggapnya remeh serta dianggap boleh dilupakan. Orang tua secara tidak sadar telah mempersiapkan anaknya sendiri untuk berbuat durhaka. Padahal menanamkan adab atau akhlak adalah hak seorang anak yang perlu dipenuhi oleh orang tua, sama halnya seperti memberi kebutuhan makan dan minum pada anak.
[1] Lihat Kuntowijoyo, Islam Sebagai Ilmu: Epistemologi, Metodologi, dan Etika (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2006), hlm. 7.
[2] Lebih jauh lihat Oliver Leaman, “Ibnu Miskawaih” dalam Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam: Buku Kedua (ed.) Seyyed Hossein Nasr dan Oliver Leaman, terj. Tim Penerjemah Mizan (Bandung: PT Mizan Pustaka, 2003), hlm. 312.
[3] Irwan Prayitno, Kepribadian Muslim: Panduan Bagi Da’i dan Murabbi (Jakarta: Pustaka Tarbiatuna, 2010), hlm. 475.
[4] Lihat Haidar Bagir, “Etika Barat, Etika Islam” dalam Antara Al-Ghazali dan Kant: Filsafat Etika Islam, Amin Abdullah, terj. Tim Penerjemah Mizan (Bandung: Mizan, 2002), hlm. 15.
[5] Zahruddin AR, Hasanuddin Sinaga, Pengantar Studi Akhlak (Jakarta: Raja Grafindo, 2004), hlm. 4.
[6] Lebih jauh lihat Kuntowijoyo, Islam Sebagai Ilmu, hlm. 7
[7] Abd. Haris, Etika Hamka: Konstruksi Etika Berbasis Rasional Berbasis Religius (Yogyakarta: LKiS, 2010), hlm. 43.
[8] Zahruddin AR, Hasanuddin Sinaga, Pengantar Studi Akhlak, hlm. 11.
[9] Zahruddin AR, Hasanuddin Sinaga, Pengantar Studi Akhlak, hlm. 26.
[10] Abdul Azis, Etika Bisnis Perspektif Islam: Implementasi Etika Islam Untuk Dunia Usaha (Bandung: Alfabeta, 2013), hlm. 76.
[11] Abd. Haris, Etika Hamka: Konstruksi Etika Berbasis Rasional Berbasis Religius (Yogyakarta: LkiS, 2010), hlm. 43.
[12] Hamzah Ya’qub. Etika Islam: Pembinaan Akhlaqul Karimah Suatu Pengantar (Bandung: Penerbit Diponegoro, 1991), hlm. 14.
[13] Lebih Jauh lihat Muhammad Nur Abdul Hafizh Suwaid, Prophetic Parenting: Cara Nabi Mendidik Anak (Yogyakarta: Pro-U, 2010), hlm. 398.
Category : keilmuan
SHARE THIS POST