Eric Weil: Menapaki Jalan Perdamaian
“Manusia bisa rasional, meski bisa pula irasional”, demikian menurut Eric Weil, filosof kelahiran Jerman pada 1904 dan meninggal di Prancis pada 1977. Weil mengatakan bahwa manusia itu makhluk yang memiliki potensi dualistik, mempunyai daya untuk menjadi makhluk yang rasional, namun juga bukan tidak mungkin malah menapaki jalan hidup yang irasional.
Oleh karena sifat dualistik ini, maka pilihan hidup manusia secara sederhana sebenarnya dua saja: memilih menjadi rasional atau irasional? Dalam pandangan Weil, memilih rasional dapat membawa hidup manusia pada kedamaian, sebaliknya memilih irasional akan menyesatkan pada jalan kekerasan. Topik inilah yang dikaji oleh Pak Fahruddin Faiz dalam Ngaji Filsafat edisi Filsafat Perdamaian Eric Weil pada 2 Agustus 2023.
Simpang Jalan Kekerasan dan Perdamaian
Eric Weil menyandingkan kekerasan dengan irasionalitas manusia. Baginya, kekerasan itu lahir dari keirasionalan. Sebab, hidup yang irasional hanya berpangkal pada insting, nafsu, serta egoisme, dan abai dengan akal budi. Sehingga pola irasional akan menghasilkan hidup yang cenderung individualistik, memuaskan ego diri, dan kekerasan kepada yang lain, kekerasan berupa ketidakmampuan menjalani kehidupan bersama atau bahkan kekerasan dalam bentuk laku yang menyakiti orang lain.
Dalam filsafat Weil, menjadi manusia yang irasional dan malas mendayakan potensi rasional, sama halnya membiarkan hidup memilih jalan dalam kekerasan. Sebaliknya, mendayakan potensi rasional sama halnya berupaya menapaki jalan perdamaian.
Bicara soal kekerasan, Weil tidak mendefinisikan apa itu kekerasan. Sebab, kekerasan agaknya rumit untuk didefinisikan. Terlalu kontekstual. Mencubit misalnya, tidak bisa selalu diartikan sebagai tindakan kekerasan. Seperti cubit-cubitan muda-mudi yang sedang kasmaran, apakah itu kekerasan? Tentu bukan.
Namun tidak perlu bingung untuk mengidentifikasi laku kekerasan. Sebab, meski tidak mendefinisikannya, Weil memberikan ciri-ciri kekerasan. Menurut Weil, kekerasan itu ketika perbuatan bertentangan dengan akal budi, tidak manusiawi, tidak rasional, dan dilakukan oleh manusia yang lemah dan malas untuk mendayakan potensi rasionalnya.
Selain itu, menurut Weil, kekerasan pasti anti-filsafat. Mengapa? Sebab, pangkal kekerasan adalah irasionalitas, malas bahkan tidak mau mendayakan akal budi, sehingga mereka yang melakukan kekerasan adalah anti-filsafat. Orang yang berfilsafat, tidak mungkin melakukan kekerasan. Meski piawai dalam mendayakan logika dan semacamnya, tapi kok masih kurang ajar, dalam ukuran Weil, sebenarnya ia ndak filosof.
Dalam persimpangan jalan menjadi irasional (kekerasan) atau rasional (perdamaian), jelas tidak bijak memilih kekerasan sebagai jalan terusan. Tidak perlu jauh-jauh untuk menerangkan hal ini. Pada dasarnya, kita semua tahu bila hidup dalam siklus kekerasan itu tidak enak, capek, repot, dan sakit. Membiarkan diri berlama-lama terjebak dalam kekerasan juga malah membuat merusak diri. Oleh karena itu, bila merasa sedang dalam siklus hidup kekerasan, maka perlu cepat-cepat move-on untuk kemudian menapaki jalan perdamaian.
Merindukan Perdamaian Namun Merealisasi Kekerasan
Setiap kita pasti ingin menjalani hidup dalam damai. Karena memang perdamaian itu dapat dibilang merupakan panggilan jiwa manusia. Kita selalu merindukan kedamaian dan membenci ketidakdamaian. Hal ini tidak lepas karena manusia adalah makhluk yang berakal budi.
Sebagaimana penjelasan Weil, “[Apa] yang seharusnya tidak dibuat oleh manusia sebagai makhluk berakal budi adalah kekerasan.” Artinya, sebagai makhluk yang memiliki akal budi, seharusnya kita mengedepankan pilihan rasional dalam menjalani hidup. Dan pilihan rasional tidak mengarahkan kita pada kekerasan, melainkan pada perdamaian.
Akal budi menjadi modal kemanusiaan serta yang membantu untuk keluar dari siklus keirasionalan (kekerasan) menuju pada kerasionalan (kedamaian). Sayangnya, meski dalam ideal hidup manusia merindukan perdamaian, namun realita hidup malah sebaliknya. Tidak sedikit manusia yang terjebak dalam siklus kekerasan.
Manusia merindukan perdamaian, namun malah merealisasi kekerasan. Masih adanya seruan damai, toleran, rukun, dan sebagainya, yang masih banyak menggema, sebenarnya adalah bukti sederhana bahwa kekerasan masih mewarnai kehidupan kita. Mengapa ada ajakan perdamaian? Karena perdamaian belum benar-benar hadir dalam kehidupan. Ia masih sesuatu yang kita rindukan.
Giat moderasi dalam tren beragama di Indonesia hari ini, misalnya, boleh jadi berangkat dari adanya fenomena beragama yang bukannya membawa perdamaian, namun malah mengekspresikan kebencian dan kekerasan terhadap yang berbeda. Maka muncul gema moderasi beragama untuk mewujudkan ideal beragama yang membawa perdamaian untuk semua manusia. Secara sederhana, hal ini sebenarnya menggambarkan perdamaian belum benar-benar mewujud dalam kehidupan.
Diakui atau tidak, masih banyak manusia yang lebih memunculkan potensi irasionalnya, dan abai untuk mendayakan potensi rasionalnya. Manusia dalam hal ini menjadi makhluk ambigu. Merindui perdamaian, namun malah merealisasi ketidakdamaian.
Memenuhi Kerinduan Akan Perdamaian
Ada jalan yang dapat memenuhi hasrat kerinduan manusia akan perdamaian. Damai bukan sesuatu yang mustahil bagi manusia, meskipun harus diakui juga bukan sesuatu yang mudah untuk diwujudkan.
Bagi Weil, damai akan benar-benar wujud melalui kesadaran. Manusia perlu sadar untuk melakukan hal yang baik. Di sisi lain, kunci kesadaran adalah berpikir, oleh karena itu menurut Weil salah satu jalan menuju perdamaian adalah filsafat.
Kata Weil, “Budaya damai yang berkelanjutan dapat terjamin melalui filsafat. Untuk memperjuangkan damai yang berkelanjutan tidak bisa dengan ‘pemaksaan’, tetapi pilihan sadar dari subjek (manusia itu sendiri).” Jadi, filsafat dapat menjadi jalan untuk mengaktualisasikan potensi rasionalitas manusia, dan potensi itu akan membangkitkan kesadaran untuk menapaki langkah perdamaian.
Selain filsafat, dalam pandangan Weil ada tiga hal lain lagi yang kita perlukan untuk memenuhi kerinduan akan perdamaian, yakni kebijaksanaan, moral, dan pendidikan.
Menurut Weil, “Wisdom is not the truth… wisdom is that which leads to it.” Kebijaksaan (memang) bukan kebenaran… namun kebijaksanaan yang menjadi jalan menuju kebenaran. Orang bijaksana merupakan pribadi yang mampu memilih cara-cara damai dan cerdas untuk mewujudkan nilai-nilai hidup bersama. Sehingga kebijaksanaan pada akhirnya akan menuntun dirinya menuju jalan kebenaran yang jauh dari kekerasan.
Untuk menjadi manusia bijaksana itu adalah jalan panjang yang harus terus menerus ditapaki. Dalam jalan panjang ini, salah satu modal dasar yang perlu kita miliki adalah moral. Bahkan, jika setiap orang sadar akan cara damai dalam hidup bersama (bijaksana), namun bila mereka tidak memiliki moral, maka perdamaian hanya akan menjadi mimpi siang bolong. Agar damai benar-benar mewujud dalam kehidupan, setiap kita harus memiliki moral.
Weil memandang bahwa moralitas itu berkaitan dengan apa yang seharusnya tidak kita lakukan. Sebagaimana penjelasannya, “[Apa] yang seharusnya tidak dibuat oleh manusia sebagai makhluk berakal budi adalah kekerasan.” Artinya, bila kita tidak melakukan kekerasan, maka pasti jalan hidup kita adalah kedamaian. Tidak melakukan keburukan, maka kemungkinan besarnya kita akan melakukan kebaikan. Dalam prinsip hidup bersama pun, jangan melakukan perbuatan yang kita tidak ingin orang lain melakukan itu kepada kita.
Bagaimana kita tahu sesuatu itu adalah yang seharusnya tidak kita perbuat? Jalannya adalah pendidikan. Dalam keyakinan Weil, sekolah dapat menghantarkan manusia pada perdamaian. Syaratnya tiga.
Pertama, sekolah menjadi tempat untuk mengembangkan pengetahuan. Kedua, sekolah menjadi tempat untuk menjalin persahabatan, menghargai keragaman, serta mengembangkan dialog. Ketiga, sekolah menjadi tempat yang menumbuhkan makna untuk hidup damai bersama. Bila sekolah tumpul dalam mendayakan tiga hal ini, maka pendidikan tidak akan mampu menciptakan agen-agen perdamaian.
Kebijaksanaan, filsafat, moral, dan pendidikan, menurut ukuran Weil adalah jalan yang dapat menghantarkan manusia pada perdamaian. Pertanyaannya, sudah sejauh mana empat hal ini mendaya dalam kehidupan manusia mengobati kerinduan akan perdamaian?
Category : catatan santri
SHARE THIS POST