Empati
Pada Februari 2018, lebih dari 700 dokter yang tergabung dalam Medecins Quebecois Pour le Regime Public menggelar protes menolak kenaikan gaji. Kejadian ini terjadi di Quebec, Kanada, di saat asosiasi lainnya justru menuntut kenaikan upah. Mentalitas para dokter ini berdampak pada sistem pelayanan kesehatan di Kanada yang disebut-sebut sebagai salah satu yang terbaik di dunia.
Asosiasi dokter di Kanada tersebut menolak kenaikan gaji di tengah adanya pemotongan anggaran untuk layanan pasien oleh kementerian kesehatan setempat. Mereka juga menuntut kenaikan gaji bagi pekerja medis non-dokter di Kanada, semisal bagi perawat dan petugas klinik. Penolakan kenaikan gaji sebagai wujud keberpihakan dan kepedulian pada pasien dan perawat.
K.H. Hamim Ilyas menceritakan ulang peristiwa tersebut pada sebuah forum ketika menjelaskan tentang perilaku umat beragama tidak seperti yang pernah ada (anomali) dan meninggalkan etos welas asih. Menurut penulis buku Fikih Akbar: Prinsip-Prinsip Teologis Islam Rahmatan Lil ‘Alamin (2018) ini, ada yang keliru dalam hal kita memahami konsep-konsep dasar agama. Sehingga berdampak pada lahirnya perilaku yang jauh dari nilai luhur. Agama seharusnya melahirkan manusia berempati dan berakal budi.
Allah menurunkan agama, kata Hamim Ilyas, sejatinya adalah untuk menciptakan kehidupan yang baik bagi seluruh manusia dan alam raya. Syariat-Nya adalah rahmat bagi semesta (rahmatan lil ‘alamin). Wujudnya berupa kehidupan yang sejahtera (lahum ajruhum ‘inda rabbihim), damai (wa la khaufun ‘alaihim), dan bahagia (wa la hum yahzanun). Oleh karena itu, kerangka berpikir serta tata aturan dalam semua bidang, semestinya berorientasi pada tujuan untuk menciptakan kehidupan yang penuh rahmat.
Tanpa memahami spirit tersebut, kita menemukan umat beragama yang tidak membawa rahmat. Lagaknya seperti manusia dari masa lalu yang baru mendarat di muka bumi. Sikapnya keras dan mencurigai segala tatanan dunia. Kembali ke masa silam pada masa ketika Nabi Muhammad Saw masih hidup sebagai satu-satunya jalan keselamatan, menurutnya. Namun, yang ditiru hanya dimensi tertentu, sementara aspek lainnya semisal misi Nabi Saw membangun peradaban justru ditinggalkan. Kedangkalan berujung pada penyederhanaan agama hanya pada permukaan, seraya meninggalkan isi pokok atau inti ajaran terdalam.
Fenomena anomali ini terjadi, salah satu sebabnya, karena kehilangan empati dan jiwa hilm. Kasus penolakan kenaikan gaji oleh para dokter di Kanada terjadi karena mereka memiliki empati dan kesadaran tentang makna sebuah dedikasi profesi. Sementara itu, di banyak tempat, para pemeluk agama justru hanya memeluk ritus dan tidak merangkul nilai. Agama kadang menjadi pelarian, hanya untuk mengokohkan ego diri pribadi. Di balik jubah agama, terkadang ada agamawan yang acuh dengan orang-orang papa, tidak peduli pada sesama. Tergangu jika agamanya dicaci-maki, namun suka mencela agama lain. Membela habis-habisan suatu tafsiran agama, yang bisa jadi bukan agama itu sendiri.
Di sinilah pentingnya empati, untuk melihat sesuatu dari sudut pandang berbeda. Jika kita tidak suka agama kita dicaci maki, maka jangan suka mencaci maki agama orang lain. Jika ingin diperlakukan baik, maka perlakukan orang lain secara baik.
Tanpa empati, orang beragama akan selalu merasa benar sendiri dan suka menghakimi. Padahal kita bisa menunda untuk terburu-buru menghakimi, dengan terlebih dahulu mempertimbangkan sudut pandang orang lain. Mengambil jeda membuat keputusan sering menjadi jalan selamat. Hal ini membuka jalan bagi dialog dan saling bertukar pandangan. Tumbuh budaya untuk saling beradu gagasan dalam menyikapi perbedaan paham.
Memutlakkan paham tertentu tanpa empati pada yang berbeda, akan menjadi sumber konflik, termasuk dalam berdakwah. Seolah manusia adalah makhluk mekanis yang dijalankan dengan rumus pasti. Jika orang lain bersalah menurut ukuran dirinya, segera diluruskan dengan tegas. Namun kehilangan jiwa kasih sayang, akhlak, dan kebijaksanaan yang dicontohkan Nabi Muhammad Saw sepanjang hayat. Tugas dakwah Nabi Saw dan kita semua adalah sebagai basyir dan nazir, memberi kabar gembira dan peringatan. Membangun kesadaran secara perlahan, tidak menghakimi dan memaksa.
Umat beragama seharusnya memiliki kepekaan yang lebih, dibanding mereka yang tidak beragama dan tidak mengasah batinnya. Jika akhlak kita yang beragama dan mereka yang tidak memeluk agama tidak ada bedanya, lalu buat apa kita beragama? Umat beragama yang menyandarkan diri pada Yang Maha Baik, harusnya memancarkan laku baik dan menimbang sesuatu dengan baik, memiliki kelapangan jiwa, dan tidak mudah tenggelam dalam kubangan cela. Sumber motivasi dan emosi pencarian individu yang berkenaan dengan hubungan seseorang dengan Tuhan (spiritualitas) semestinya terbentuk oleh hati dan identitas yang tidak sempit, sehingga melahirkan cara pandang yang seluas semesta.
Pergulatan manusia yang paling berat terkadang adalah dengan dirinya sendiri. Kata Marcus Aurelius, “Ia yang hidup harmonis dengan dirinya, akan harmoni pula dengan dunia luar.” Tanpa kemampuan mengendalikan pergulatan di dalam diri, perwujudannya akan menimpa orang lain. Suasana ruwet dan kecamuk konflik di dalam, akan menjalar ke sekelilingnya. Dalam suasana kecewa dan ketakutan, maka keberadaan orang lain akan dianggap sebagai ancaman.
Nabi Muhammad Saw adalah teladan beragama yang penuh empati. Dalam sebuah riwayat, Rasulullah digambarkan berparas menawan dan berhias senyum. Teduh dan menarik hati orang yang memandangnya. Bicaranya santun. Orang di hadapannya akan merasakan tentram dan damai, tidak merasa terintimidasi dan membawa ancaman. Nabi Saw pernah ditanya, “Ya Rasulullah, apakah agama itu?” Jawab beliau, “Agama adalah akhlak yang baik.” Lain waktu Nabi Saw bersabda, “Sebaik-baik manusia adalah yang paling baik akhlaknya.”
Ketika menjadi imam salat, Nabi Saw memendekkan bacaan ketika mendengar tangisan anak kecil atau jika ada orang tua yang berdiri di dalam saf. Dalam riwayat lain, Nabi Saw pernah menegur Mu’adz bin Jabal yang dilaporkan karena selalu membaca surat-surat panjang ketika mengimami salat berjamaah. Bandingkan dengan hari ini, yang tidak mau tahu kondisi jamaah, dan bahkan sering berbuat sekehendaknya. Seharusnya, bekas ibadah tercermin dalam perilaku.
Di lain waktu, seorang laki-laki Arab badui kencing di masjid Nabi yang masih beralas tanah. Para sahabat spontan ingin memarahi dan mengusir. Namun Rasulullah justru dengan ketenangannya menahan para sahabat dan membiarkan orang badui ini menyelesaikan hajatnya. Setelah itu, bekas najisnya disiram dengan air. Begitulah cara Nabi Saw menyelesaikan masalah dengan penuh empati dan tidak menghakimi. Wajar jika dakwah yang merangkul dan penuh empati akan banyak mengundang simpati dan sampai ke hati.
“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah, kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu, maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakal kepada-Nya” (QS Ali-Imran [3]: 159).
*Buletin Jumat Masjid Jendral Sudirman, Edisi-5 Jumat, 11 Oktober 2019/12 Syafar 1441 M
Category : buletin
SHARE THIS POST