Ekspresi Politik Persatuan Islam dalam Lintasan Sejarah Bangsa

slider
17 Agustus 2020
|
1678

Judul: Sejarah Perjuangan Persis 1923-1983| Penulis: Dadan Wildan | Penerbit: Puslitbang PP Persis dan Gema Syahida, 1995 | Tebal: 154 halaman

“Saya heran dengan orang-orang yang menganggap ekspresi Islam politik adalah sesuatu yang baru. Kalau kita baca sejarah, mereka adalah kekuatan yang ikut menyusun formasi bangsa ini sejak awal, bersama kekuatan-kekuatan lainnya”

Kutipan status facebook Amin Mudzakkir, peneliti LIPI yang meminati isu relasi agama dan politik di Indonesia di atas nampak benar adanya. Banyak orang hari ini kaget dengan wacana maupun praktik sebagian ormas Islam yang dapat dikategorikan sebagai kelompok modernis, mulai dari mempromosikan gagasan kembali pada Al-Quran dan Sunnah, menyampaikan aspirasi politik pada isu-isu tertentu, hingga afiliasi politik dalam pemilihan umum.

Mereka yang kaget ini menganggap bahwa ekspresi kelompok Islam modernis, wa bil khusus di bidang politik, adalah sesuatu yang sama sekali baru dan tidak memiliki landasan sejarah di masa lampau. Kekagetan semacam ini tentu perlu dikoreksi. Sebab, apa yang terjadi di tubuh kalangan Islam modernis hari ini pada dasarnya merupakan resonansi dari masa silam. Tantangan zaman boleh berubah, tetapi ideologi serta tujuan perjuangan tetap kekal, kurang lebih itu yang saya maksud sebagai konsep resonansi dalam artikel ini.  Salah satu representasi Islam modernis yang teguh menjaga resonansi sejarah dan turut mempengaruhi proses pembentukan bangsa tersebut ialah Persatuan Islam (selanjutnya disebut Persis) dan secara baik dijabarkan oleh Dadan Wildan dalam buku Sejarah Perjuangan Persis 1923-1983.

Buku ini mulai dengan elaborasi ringkas mengenai perkembangan gerakan pembaharuan Islam ke Hindia Belanda (hal.15-22). Kala itu, kelompok modernis dihadapkan pada dua tantangan besar. Pertama, pemerintah kolonial di bawah Gubernur Jenderal Idenburg berusaha menghambat pengaruh Islam melalui kebijakan Krestenings Politiek atau politik kristenisasi melalui lembaga pendidikan formal terhadap penduduk Nusantara, khususnya di Sumatra dan Jawa yang merupakan konsentrasi terbesar populasi umat muslim. Kedua, masih kuatnya legitimasi kelompok tradisionalis Islam yang dinilai kurang murni dalam menjalankan laku syariat. Kedua tantangan tersebut kemudian direspon oleh para cendekiawan pembaharu seperti K.H. Muhammad Zamzam dan K.H. Muhammad Yunus dengan membentuk organisasi Persis pada 12 September 1923 di Bandung.

Persis bergerak cepat dengan membangun pesantren dan sekolah alternatif untuk mengimbangi laju pertumbuhan lembaga pendidikan bentukan kolonial. Sedangkan dakwah melalui diskusi terbuka maupun publikasi cetak dilakukan untuk mensosialisasikan gagasan pemurnian Islam kepada kalangan tradisionalis. Pemikiran Persis rupanya mendapatkan sambutan cukup hangat dari kalangan kelas menengah muslim perkotaan seperti Ahmad Hassan dan M. Natsir muda. Boleh dikatakan bahwa animo muslim kota kala itu serupa dengan fenomena masa kini, di mana tren modernisme Islam dalam format kajian salaf (kembali) mendapatkan tempat di ruang-ruang urban.

Ahmad Hassan yang baru bergabung sebagai anggota Persis pada 1926 dalam perkembangannya malah menjadi lebih populer daripada kedua pendiri aslinya. Penokohan Ahmad Hassan sendiri tidak lepas dari jasanya dalam memantapkan organisasi Persis menjadi suatu gerakan ishlah atau pembaharuan, bukan lagi sebuah kelompok studi (hal.34-36). Setelah menetapkan diri sebagai gerakan pembaharuan, Persis mulai memasuki gelanggang politik praktis. Misalnya, bersama organisasi kebangsaan dan partai politik lainnya, Persis ikut memperjuangkan gagasan hak berparlemen bagi warga pribumi Hindia Belanda. Kendati demikian, sikap politiknya yang berlandaskan pada pemurnian Islam tidak jarang menimbulkan friksi dengan sesama organisasi kebangsaan, terutama yang berhaluan nasionalis sekuler. Seperti ketika pemerintah kolonial melalui parlemen volksraad hendak melegislasikan rancangan undang-undang anti-poligami 1936, Persis tegas menolak rencana tersebut dengan argumentasi bahwa tidak satupun dalil nash yang mengharamkan praktik poligami. Selain berurusan dengan penguasa kolonial, pendirian Persis membuatnya harus berpolemik dengan Sukarno dan PNI yang saat itu menolak poligami (hal. 57).

Pada masa pendudukan fasis Jepang, mulanya “Saudara Tua” menunjukkan sikap simpatik terhadap umat Islam Indonesia dengan menggandeng ulama yang selama masa kolonial dipandang sebagai musuh. Bahkan Jepang tidak segan menutup seminari maupun gereja serta memenjarakan pendeta dan pastor demi mencitrakan diri sebagai pahlawan dan pelindung Islam (hal. 68). Namun seiring berjalannya waktu, Jepang mulai menampilkan rupa aslinya yang ingin me-Nippon-kan Indonesia. Dimulai dengan kebijakan pelarangan aksara Latin dan Arab sebagai bahasa pengantar di sekolah-sekolah, termasuk institusi pesantren, hingga paksaan melakukan tradisi seikerei atau membungkuk ke arah matahari terbit yang dinilai oleh alim ulama sebagai kesyirikan.

Persis secara prinsipil menentang usaha-usaha Nipponisasi oleh Jepang tersebut, namun pada saat bersamaan juga mengambil langkah strategis dengan memanfaatkan fasilitas Jepang bagi kepentingan bangsa. Seperti M. Natsir yang saat itu diangkat Jepang menjadi kepala jawatan pendidikan di Jawa Barat, ia menggunakan kesempatan tersebut untuk mengorganisasikan ulama hingga di pelosok desa agar tetap istiqomah menanamkan semangat anti-Jepang kepada masyarakat (hal. 78).       

Pasca-kemerdekaan, Persis bersama pergerakan kebangsaan berasas Islam seperti NU dan Muhammadiyah bergabung dalam Partai Masyumi dengan status anggota istimewa. Namun, sikap tanpa kompromi elit Persis yang bersikeras mempermasalahkan perbedaan paham keagamaan di antara kelompok-kelompok Islam membuat internal Masyumi mengalami guncangan. Adapun faksi moderat (Muhammadiyah) maupun tradisionalis (NU) berpendapat bahwa membesar-besarkan perbedaan bersifat khilafiah tidak akan menghasilkan apapun dan justru berpotensi membahayakan kesatupaduan politik umat Islam (hlm. 93).

Konflik internal mencapai puncaknya pada 1952 ketika NU menyatakan keluar dari Masyumi karena ketidakpuasan terhadap komposisi kepemimpinan partai yang dianggap lebih menguntungkan kelompok modernis Islam. Pasca-Pemilu 1955, kelompok Islam politik tidak mengalami kemajuan berarti dalam pentas nasional dan memilih memperkuat internal organisasi masing-masing. Tak terkecuali Masyumi, yang pada tahun 1959 memutuskan untuk menghapus status anggota istimewa karena ingin mengonsolidasikan partai agar lebih profesional. Sebagai konsekuensinya, kiprah organisasi Persis dalam partai politik pun harus berakhir.

Secara keseluruhan, nilai lebih sekaligus kritik buku ini terletak pada kapasitas penulisnya sebagai ‘orang dalam’ di organisasi Pemuda Persis. Wildan mampu menampilkan data-data primer yang tergolong langka kepada sidang pembaca, termasuk transkrip dialog mengenai boleh tidaknya bertaklid dalam masalah agama yang dimuat dalam majalah Al-Lisan terbitan tahun 1936. Tidak hanya sekedar menyajikan, Wildan juga piawai menganalisis data temuannya dengan gaya bahasa yang renyah sehingga pembaca mampu memahami rangkaian peristiwa dan dinamika Persis tanpa kehilangan konteks sosio-politik yang meliputinya. Akan tetapi, Wildan tidak luput dari bias ‘orang dalam’. Sebagaimana pernyataannya, “Persis terbentuk dan berdiri … tidaklah didasarkan atas suatu kepentingan para pendirinya atau masyarakat pada masa itu. Para pendirinya tidaklah mendapatkan kepentingan diri mereka di dalamnya, tetapi mereka mendirikannya karena merasa terpanggil oleh kewajiban dan tugas risalah dari Allah SWT sebagaimana pula Rasululloh Saw…” (hlm. 30).

Redaksi itu terkesan menyanjung. Saya rasa akan lebih baik kiranya jika diralat dengan analisis kritis mengenai kepentingan masing-masing pendiri Persis dan bagaimana kepentingan yang beraneka ragam tersebut dinegosiasikan di antara mereka sehingga tercapai kemufakatan untuk mendirikan gerakan ishlah. Terlepas dari kelebihan dan kekurangannya, buku ini merupakan produk akademik yang penting dibaca karena membahas fragmen sejarah mengenai sepak terjang Persis sebagai representasi Islam modernis yang turut ambil bagian mempengaruhi corak sejarah bangsa.

Selain itu, membaca buku ini juga mengajak kita tidak kaget lagi dengan fenomena Islam politik yang Kembali menguat beberapa tahun terakhir ini. Disukai atau tidak, resonansi aspirasi kelompok modernis seperti Persis yang merentang mulai dari penolakan terhadap gagasan anti-poligami hingga polemik seputar isu khilafiah antarormas keagamaan, akan senantiasa bergaung mengisi wacana keIslaman kita.


Category : resensi

SHARE THIS POST


ABOUT THE AUTHOR

Fikri Disyacitta