Ecosophy: Dari Filsafat Hingga Tasawuf Lingkungan

slider
13 Agustus 2020
|
2509

Pada suatu ceramah, Sumanto Al-Qurthuby dhawuh dengan kalimat bermakna kurang lebih begini, “Baik Islam, Buddha, Hindu, Kristen, Katholik dan Yahudi, memiliki kitab suci yang memberikan petunjuk dalam kehidupan. Di dalamnya mengajarkan para pengikut agama tersebut untuk merawat bumi dan lingkungannya.” Seluruh agama sepakat, bahwa alam adalah aspek yang tak terpisahkan dari tubuh intinya.

Di dalam kajian tasawuf, terdapat istilah thoriqot atau thoriqoh (dalam KBBI diadaptasi menjadi tarekat), yang berarti suatu jalan. Jalan yang dimaksud adalah suatu proses seorang hamba dalam mengenal dan mendekat kepada Allah. Ketika istilah tersebut disandingkan dengan kajian lingkungan, maka tarekat yang dimaksud adalah kearifan lingkungan yang selama ini telah menjadi komponen dari entitas dialektika antara Allah-sesama-semesta.

Istilah kearifan lingkungan telah dipakai oleh Arne Naess sebagai filsafat pokok dari deep ecology (etika lingkungan). Naess memberinya sebutan sebagai ecosophy, perpaduan antara “eco” (rumah tangga) dan “sophy” (kearifan). Jadi, Ecosophy berarti kearifan yang mengatur hidup selaras dengan alam sebagai rumah tangga dalam artian luas.

Krisis lingkungan dewasa ini hanya bisa diatasi dengan melakukan perubahan cara pandang dan perilaku manusia terhadap alam secara fundamental dan radikal. Hal ini membutuhkan sebuah pola atau gaya hidup baru yang tidak hanya menyangkut orang per orang, tetapi juga budaya masyarakat secara keseluruhan. Artinya, dibutuhkan etika lingkungan hidup yang bisa menuntun manusia untuk berinteraksi melalui cara yang lebih proporsional dalam rangka merawat alam.

Hal tersebut juga dikemukakan oleh Soni Keraf di dalam bukunya Etika Lingkungan, bahwa ecosophy merupakan pergeseran suatu konsep yang tidak sekadar ilmu (science) namun menjadi sebuah kearifan (wisdom). Dalam arti ini, lingkungan hidup tidak sekadar dipandang sebagai ilmu, melainkan juga sebagai kearifan, cara hidup, pola hidup yang selaras dengan alam.

Nenek moyang kita terdahulu dengan segala bentuk manifestasinya menjaga alam-lingkungan dengan begitu bijaksana, yaitu dengan membangun paradigma mistik di dalamnya. Dari sana kemudian bermunculan sebuah larangan adat yang tidak boleh untuk dilanggar. Seperti adat Sasi di Maluku, atau hutan larangan di Kalimantan. Bagi penduduk Jawa, metode dan konsep pelestarian lingkungan yang dikaitkan dengan hal yang berbau mistik lebih didengar daripada pendekatan yang hanya sampai dalam kajian saja. Mengingat dalam konteks historis, penduduk Jawa sedikit banyak telah dipengaruhi oleh campuran dari budaya Hindu-Budha.

Hal di atas yang kemudian melandasi dasar-dasar larangan, pamali, atau pantangan, karena nenek moyang kita dahulu memahami hal seperti itu seolah-olah menjadi ajaran yang bukan hanya sekadar lanjutan dari paham dinamisme dan animisme. Lebih dari itu, mereka beranggapan bahwa alam-lingkungan menjadi bagian kehidupan, sekaligus turut menyokong keberlangsungan hidup anak-keturunan di masa mendatang.

Semesta dalam Al-Qur’an

Sebagai salah satu bagian dari kajian tasawuf lingkungan, ecosophy juga tidak lupa mengusung muatan spiritual yang terletak pada cara pandang terhadap alam. Hal ini didasari atas aktivitas alam yang selalu bertasbih pada Allah pemilik semesta alam. Seperti yang dituturkan di dalam Al-Qur’an, surah Al-Isra’ ayat 44:

   Langit yang tujuh, bumi, dan semua yang ada di dalamnya bertasbih kepada Allah. Dan tak ada suatu pun bertasbih melainkan dengan memuji-Nya, tetapi kamu sekalian tidak mengerti tasbih mereka. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penyantun lagi Maha Pengampun. (QS. Al-Isra’ : 44)

Ayat tersebut menginspirasi kita bahwa pentingnya semangat spiritual memanfaatkan alam menjadi simpul etika dalam perayaan konsumsi atas alam. Manusia harus memiliki kesadaran sepenuhnya, bahwa alam juga mengusung nilai-nilai ilahiyyah. Alam mengandung rahmatan lil‘alamin dalam setiap jengkal bagiannya. Dengan demikian hubungan antara manusia dengan alam merupakan hubungan yang bisa dikatakan transenden, karena bagian dari alam merupakan manifestasi sifat-sifat ilahi yang menghendaki rahmat bagi seluruh alam.

Merusak alam berarti merusak suksesi rahmatan lil ‘alamin. Mengutip Widi Muryono, bahwa alam dengan segala manfaatnya untuk kebaikan bagi manusia. Alam lebih merupakan ayat kauniyyah yang membuktikan sekaligus menjelaskan sifat dan makna ilahiyyah yang dikandung alam bagi manusia.

Dengan demikian, ecosophy atau kearifan lingkungan merupakan suatu hal yang selayaknya menjadi titik pandang khusus bagi budaya masyarakat secara luas. Karena lestarinya lingkungan bukan hanya untuk satu atau dua orang, namun untuk seluruh penduduk dan keberlangsungan hidup di masa mendatang.

Maka dari itu, kesadaran tentang menghormati dan menghargai lingkungan melalui adat, budaya, atau tradisi yang telah diciptakan oleh nenek moyang kita terdahulu perlu disemai kembali. Kalau pun toh tidak bisa sama persis karena dianggap tidak relevan lagi atau memang kesibukan telah banyak menyita waktu untuk merawat semesta, minimal, berdoalah supaya alam bisa bertahan dan bisa dinikmati sampai anak keturunan kita nanti.


Category : kolom

SHARE THIS POST


ABOUT THE AUTHOR

Kukuh S. Aji

Menulis puisi, cerpen, dan kadangkala esai. Pelajar Kawruh Jiwa Suryomentaram. Berminat pada kajian psikologi budaya dan lingkungan hidup. Bermain paruh waktu di Madrasah Rasa Center.