Dua Jalan Menggapai Rida-Nya

slider
29 Oktober 2019
|
1094

Pokok kebenaran yang menegakkan jasad makhluk hidup adalah ruh, kecuali Dia Yang Maha Ada, tanpa-Nya tidak akan ada segala yang ada saat ini. Pada hakikatnya, tidak ada makhluk sebelum adanya yang menciptakan, Dialah Allah Swt, ada-Nya tanpa permulaan dan akhir, tanpa batas, terbebas dari ruang dan waktu, Dialah Al Haq yang berdiri sendiri. Lisan yang tidak sering menyebut nama-Nya, biasanya akan kaku dalam mengakui suatu kebenaran. Tersebab hati tertutup oleh kotoran dunia, sehingga buta akan cahaya Ilahi. Sering bertanya sendiri dalam hati, apakah aku yang tidak sadar ataukah Dia yang sudah tidak mau mengingatkanku, membiarkanku terlabuh dalam kegelapan, terbuai kebohongan hidup.

Terperanjat seketika datang bisikan dari kejauhan hati yang terdalam, “Hai bung dan nona, bagaimana Allah akan peduli terhadapmu, sedangkan engkau sedetik pun tak pernah mengingat-Nya, padahal napas yang kau hirup, anggota badan yang sering engkau gunakan sebagai sarana berbuat kerusakan, kesehatan yang engkau rasakan, kesempatan yang engkau miliki, akal yang engkau gunakan untuk berpikir, hati yang merasakan segala perasaan, itu semua adalah berasal dari Allah Swt?”. Suatu saat itu semua akan kembali diambil oleh pemilik-Nya. Maka perlakukanlah segala yang diberikan sebagai sebuah titipan, bukan milik yang lain selain Allah Swt.

Baca juga: Keimanan di Tengah Zaman

Banyak yang menggali tentang dunia, mencari pengetahuan, namun tidak semua menemukannya, hanya tertipu dengan keindahannya. Akhirnya asal mula penciptaan terlupakan, sesuatu yang dimiliki bukan lagi dianggap titipan, melainkan hasil kerja kerasnya sendiri. Suatu hari apa yang dianggap miliknya itu dicabut oleh Allah Swt, menyikapi hal ini terkadang kita mengatakan Allah itu tidak adil, menyiksa, dan menyia-nyiakan hamba-Nya. Padahal kita sendiri yang tidak pernah mengingat-Nya, kecuali pada saat susah, kematian, pernikahan, tasyakuran, dan sebagainya.

Untuk mengenal Dia dengan lebih dekat, dalam agama ada yang disebut dengan makrifat, yaitu jalan yang ditempuh untuk mengenal-Nya. Buya Hamka dalam buku Pandangan Hidup Muslim, menyebutkan ada dua jalan yang ditempuh seseorang untuk lebih mengenal-Nya, yaitu jalan tasawuf dan jalan ilmuwan. Jalan tasawuf lebih kepada menempa hati, latihan (riyadah) mensucikan hati dari kotoran duniawi. Jalan tasawuf ini bergantung pada rasa dan semacam anugerah.

Jalan tasawuf menghendaki latihan, menghadirkan Allah dalam setiap pergerakan, dalam setiap hembusan napas dan panca indra. Tak dapat tergambar bagaimana rasanya, hanya dapat ditemukan dengan latihan yang ditempuh dan anugerah yang ditakdirkan Ilahi.

Jalan ilmuwan menghendaki logika, bahasa, hitungan, sebab akibat, dan sebagainya. Terkadang kedua jalan yang ditempuh tersebut dipertentangkan oleh para penempuhnya. Ada yang memandang remeh ahli tasawuf yang hanya berkhayal tanpa suatu teori dan hasil yang nyata. Ada yang memandang rendah para ilmuwan karena hanya mengandalkan akal, tanpa merasakan nikmatnya mendekat kepada Allah Swt dan mengetahui rahasia di balik alam ini.

Baca juga: Keberkahan

Jarang seseorang dapat menempuh kedua jalan tersebut. Seumpama Al-Ghazali, beliau mengambil kesimpulan bahwa jalan tasawuf dipakai untuk menempuh agama, sedangkan jalan ilmuwan atau sarjana dipakai untuk menggali ilmu alam. Dua jalan berbeda namun hakiktnya sama yaitu ingin mengenal-Nya. Dengan kedua jalan tersebut akan teraih makrifat keagungan-Nya dan betapa luas ciptaan-Nya. Dengan begitu kedua jalan tersebut amat penting untuk kita lalui, agar kita tidak terlena dengan dunia, pun tidak terbelakang dengan kemajuan zaman.

Melalui jalan tasawuf maupun jalan ilmuwan tentunya juga tidak terlepas dari berbagai rintangan yang harus dilalui, sebagai tombak penegak dan batu loncatan untuk dapat mengenal Allah Swt. Jalan tasawuf lebih kepada hati dan nafsu diri, orang yang tersesat di jalan tersebut biasanya akan melenceng dari syariat, hilang akal sehat yang kemudian dapat menjerumuskan kepada kemusyrikan atau akidah yang menyimpang. Hal tersebut dapat diatasi dengan ilmu. Dengan ilmu kita akan terbimbing agar selalu di jalan yang lurus. Sebagaimana dalam hadis yang mengisahkan tentang iblis yang lebih takut kepada orang alim (berilmu) yang sedang tidur daripada orang bodoh yang sedang melaksanakan salat. Karena salat tanpa ilmu, akan terhitung sia-sia dalam mengerjakannya.

Dari Ibnu Abbas r.a, Nabi Saw bersabda, “Nabi Sulaiman pernah diberi pilihan antara memilih ilmu atau kekuasaan, lalu beliau memilih ilmu. Kemudian Nabi Sulaiman diberi ilmu sekaligus kekuasaan.” Dalam Al-Quran Allah Swt berfirman, “Hai orang-orang beriman apabila dikatakan kepadamu: ‘Berlapang-lapanglah dalam majelis’, maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan: ‘Berdirilah kamu’, maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS Al-Mujadilah [58]: 11). Dalam ayat lain Allah menegaskan, “Samakah antara orang-orang yang berilmu dan orang-orang yang tidak berilmu? Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran.” (QS Az-Zumar [39]: 9).

Berbagai ayat dan dalil tersebut menunjukkan betapa pentingnya sebuah ilmu pengetahuan dalam upaya mengenal Allah Swt. Ilmu yang akan menggandeng kita dalam bertasawuf, sehingga terlepas dari kesesatan belaka yang hanya akan menjadikan kita sebagai hamba syaitan. Kedua jalan tersebut, jalan tasawuf dan jalan ilmuwan tidak dapat dikesampingkan salah satunya, karena merupakan dua sisi yang tidak dapat dipisahkan. Dua jalan yang akan menuntun kita menuju keridaan-Nya.


Category : kolom

SHARE THIS POST


ABOUT THE AUTHOR

M. Sabron Sukmanul Hakim

Program Studi Magister Komunikasi Penyiaran Islam, Pascasarjana Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta. Email: sabronsukma@gmail.com