Dramaturgi Kehidupan Sosial

slider
23 Mei 2022
|
3256

Pernahkah kita mendengar bahwa dunia ini adalah panggung sandiwara? Benarkah demikian? Menarik untuk meninjau gagasan sosiolog modern asal Kanada, yaitu Erving Goffman (1922-1982) tentang dramaturgi dalam karyanya yang berjudul The Presentation of Self in Everyday Life terbit tahun 1959 (Ritzer & Goodman, 2010: 93). Gagasan ini berangkat dari kajian-kajian yang dirintis oleh dua tokoh interaksionisme simbolik, yaitu George Herbert Mead dan Herbert Blumer mengenai bahasa, makna, dan pemikiran.

Dalam pertukaran makna, Goffman berpandangan bahwa di dalam diri individu terdapat pertentangan antara diri individu yang bersifat spontan dengan tuntutan sosialnya, atau apa yang disebut Blumer sebagai “I” dan “Me”. Pertentangan tersebut membuat individu mengkondisikan dirinya agar tampak tidak ragu-ragu dalam melakukan apa yang diharapkan oleh lawan interaksinya. Untuk mengkondisikan hal tersebut, individu dituntut melakukan sebuah pertunjukan di hadapan lawan bicara, baik itu individu maupun kelompok. Pertunjukan itulah yang disebut Goffman sebagai dramaturgi.

Margareth Poloma mendefinisikan prinsip dramaturgi sebagai pendekatan yang menggunakan bahasa dan khayalan teater untuk menggambarkan fakta subjektif dan objektif dari interaksi sosial (Sunarto, 2004: 43). Maka, dapat dikatakan bahwa pada dasarnya kehidupan sosial sama dengan sebuah pertunjukan teater.

Goffman memulai penjelasannya tentang dramaturgi dengan menyatakan bahwa, individu yang bertemu orang lain akan mencari informasi mengenai orang tersebut, atau menggunakan informasi yang telah dimiliki sebelumnya dengan tujuan mendefinisikan situasi. Informasi di sini dapat bervariasi, mulai dari sikap, watak, perilaku, selera, preferensi, cara berpikir, sudut pandang, maupun ideologi. Situasi yang telah terdefinisikan akan menjadi referensi bagi individu untuk memulai apa yang disebut Goffman sebagai pertunjukan.

Panggung Depan dan Panggung Belakang

Aktor maupun aktris dalam dramaturgi adalah individu, naskahnya adalah status dan peran yang melekat, dan penonton atau audiensnya adalah lawan interaksi dalam kehidupan sosial. Artinya ketika individu berinteraksi dengan individu yang lain—maupun kelompok—pada saat itulah individu memulai pertunjukkannya. Goals-nya adalah untuk memenuhi tujuan interaksi. Misalnya anak muda yang menjadi romantis agar cintanya dibalas, ataupun murid yang berperilaku sopan agar disayangi oleh gurunya.

Goffman membagi wilayah pertunjukan menjadi dua, yaitu panggung depan (frontstage) atau kawasan depan (front region) dan panggung belakang (backstage) atau kawasan belakang (back region). Frontstage merujuk pada ruang atau situasi yang  memungkinkan individu untuk menampilkan peran idealnya. Layaknya sebuah pertunjukan drama di atas panggung, individu akan menampilkan diri seideal mungkin agar lawan interaksinya dapat memberikan kesan yang ia harapkan.

Sedangkan backstage merujuk pada ruang atau situasi yang memungkinkan individu melakukan persiapan peran untuk frontstage atau menyembunyikan beberapa hal yang tidak mungkin untuk ditampilkan frontstage. Di sini individu akan menyimpan hal-hal yang dianggap tidak layak untuk ditampilkan di hadapan lawan interaksi atau bahkan dianggap dapat merusak proses interaksi.

Layaknya pertunjukan drama yang membutuhkan kostum, atribut, ataupun set panggung. Dalam dramaturgi hal tersebut juga berlaku. Perangkat-perangkat tertentu yang dapat menunjang interaksi di fronstage penting untuk dipertimbangkan karena, bisa saja hal tersebut menjadi nilai tambah bagi lawan interaksi, sehingga tujuan interaksi dapat terpenuhi.

Penampilan individu dalam fronstage juga perlu ditunjang oleh adanya kontrol terhadap informasi. Kontrol yang dimaksud dapat berupa menyembunyikan maupun menampilkan sejumlah fakta mengenai individu. Disembunyikannya sejumlah fakta bertujuan agar pertunjukan tidak mengalami kerusakan, sedangkan menampilkan sejumlah fakta bertujuan agar pertunjukan terlihat semakin menarik.

Dalam aktivitas interaksi sosial, pada dasarnya individu mempraktikan hal ini. Penting bagi individu untuk menyembunyikan hal-hal yang mungkin dapat membuat lawan bicara kecewa serta, penting pula bagi individu untuk menampilkan hal-hal yang dapat membuat lawan bicara semakin tertarik. Misalnya, seseorang yang tidak menampilkan kebiasaan buruknya dihadapkan kekasihnya, ia cenderung akan menampilkan hal-hal baik agar kekasihnya semakin menyayanginya bukan menjauhinya.

Manajemen Impresi

Dalam setiap interaksi, salah satu individu—baik sengaja maupun tidak—akan membuat pernyataan dan individu lain akan memperoleh kesan. Menurut Goffman terdapat dua jenis pernyataan, yaitu pernyataan yang diberikan (expression given) dan pernyataan yang dilepaskan (expression given off). Expression given berupa pemberian informasi sesuai dengan apa yang lazimnya berlaku, sedangkan expression given off berupa pemberian informasi yang menjadi ciri aktor itu sendiri (Ritzer, 2014: 117).

Selain individu berlandaskan nilai-norma sebagai sebuah ekspresi yang lazim, dalam interaksi individu juga memberikan ekspresi-ekspresi tertentu yang menjadi ciri khasnya, baik berupa bahasa, gestur, sikap, maupun cara berpikir. Berbincang dengan seniman tentu berbeda dengan ilmuan, berdiskusi dengan pecinta kucing tentu berbeda dengan pecinta motor, dan seterusnya.

Manajemen impresi merupakan sebuah tindakan mengelola kesan tertentu yang tidak diharapkan. Terdapat empat jenis tindakan yang dapat terjadi di luar rencana individu, yang disebut Goffman sebagai insiden dramaturgi.

Pertama, gerakan yang tidak diniatkan (unintended gestures), yaitu gerakan yang ternyata dapat mendiskreditkan pertunjukan, misalnya salah bicara atau keliru bertindak.

Kedua, intrusi yang tidak pantas (inapproproiate intrusion), yaitu ketika audiens menerobos backstage dan menjumpai individu dalam situasi yang tidak selaras dengan tampilan di frontstage. Misalnya seorang artis yang tertangkap basah mengkonsumsi narkoba, padahal ia adalah presenter acara kesehatan.

Ketiga, kecerobohan (faux pas), yaitu informasi mengenai kehidupan individu yang jika terungkap kepada lawan bicara dapat mendiskreditkan pertunjukan. Misalnya, seorang anggota dewan yang diduga pernah menerima suap ketika masih menjadi kepala daerah.

Kempat, kejadian (scene), yaitu pendiskreditan pertunjukan baik oleh aktor maupun oleh audiens. Misalnya, seseorang yang dengan sengaja mencaci-maki sahabatnya, sehingga hal tersebut merusak tali persahabatannya.

Seutas Catatan

Gagasan Goffman tentu tidak bisa disikapi secara fanatik dan tertutup. Dramaturgi memberikan kesan bahwa seolah-olah kehidupan sosial penuh dengan praktik manipulasi. Kejujuran, keikhlasan, maupun kesukarelaan yang murni dianggap tidak ada, melainkan selalu berkaitan dengan tujuan interaksi, yaitu mendapatkan kesan tertentu sesuai harapan individu.

Namun, terlepas dari kritik tersebut, dramaturgi juga memberikan pelajaran berharga bagi pembelajarnya bahwa, di balik ekspresi dan tindakan orang lain, ada upaya yang begitu rumit dan persiapan yang begitu matang untuk dilakukan. Maka dari itu, penting bagi individu untuk menghargai lawan interaksinya.

Referensi:

Ritzer, George. 2014. Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada

Sunarto, Kamanto. 2004. Pengantar Sosiologi. Jakarta: Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia

Ritzer, George & Douglas J. Goodman. 2003. Modern Sociological Theory. 6th edition. McGraw Hill. Diterjemahkan oleh Alimandan. 2010. Teori Sosiologi Modern. Edisi ke-6. Jakarta: Kencana


Category : filsafat

SHARE THIS POST


ABOUT THE AUTHOR

Dimas Wira Aditama

Mahasiswa Pendidikan Sosiologi, Universitas Negeri Jakarta.