Drama di Gigir Kali Brantas

slider
16 Oktober 2017
|
1154

Hidup itu sempit. Yang ada di dada, luas membentang, dalam mencari…

Mak Sa menutup pintu rumahnya, sengaja. Matngali yang berdiri di depan pintu rumah Mak Sa dan berbicara padanya hanya tersenyum tipis seperti biasa. Menguatkan perasaannya sendiri, yang sudah hampir lupa dengan yang namanya tersinggung. Matngali tetap berusaha mengambil hati Mak Sa, tetangga yang rumahnya saling berhadapan dengan rumahnya. Jalanan kampung yang lebarnya hanya dua meter adalah jarak antara rumah Mak Sa dan rumahnya.

Tak hanya sekali atau dua kali Matngali mengalami sikap Mak Sa yang culas sepert itu, tapi setiap kali Matngali keluar rumah dan setiap kali itu pula Matngali berusaha bermerah bibir. Matngali yang terkenal humoris, kerap berseloroh saat Mak Sa mencuci piring di samping rumahnya, sementara Matngali menjemur baju membantu istrinya. Tapi ya begitu, saat tetangga-tetangga yang lain sudah terkekeh-kekeh tidak tahan karena begitu jenakanya Matngali, Mak Sa semakin cepat menggosokkan abu pada pantat pancinya yang hitam. Diikuti bunyi klontang-klontang yang tampak sekali disengaja: suatu hal yang bercokol di dalam dadanya kepada Matngali. Hal itu ditangkap jelas oleh ruang batin Matngali dan istrinya. Juga beberapa tetangga yang memiliki daya tangkap batin yang kuat. Yang jiwanya telah terlatih dalam menangkap semacam sasmita.

Matngali juga kerap berteriak dari dalam rumahnya untuk menawari makan saat dia tahu Mak Sa, tetangganya itu, membuka pintu rumahnya sementara Matngali bersama anak dan istrinya tengah makan bersama di dalam rumahnya pula. Ya… meski Matngali tahu, tidak akan keluar satu kata pun dari mulut Mak Sa. Apalagi mengharap kedua bola mata perempuan dengan sanggul besar di kepalanya itu akan jatuh pada tiap mata keluarga Matngali.

Apa yang dilakukan Matngali adalah demi cia-citanya untuk sebuah hubungan bertetangga yang harmonis, hubungan yang rukun warga dan rukun tetangga sebagaimana yang didengarnya dari Pak RT saat sambutan di acara tahlilan malam kamisan. Apalagi, Matngali adalah orang Madura yang ta’at beragama. Matngali ingat, kiai di kampung halamannya sana pernah mengatakan bahwa mukmin itu bukan orang yang tidak menyapa saudaranya lebih dari tiga hari.

***

Sudah lima tahun belakangan, Matngali menjalani drama ini. Di luar rumah, lelaki Madura dengan kumis di atas bibirnya ini selalu menampakkan keceriaan dan kehangatan kepada Mak Sa. Dan di dalam rumah, ia bersama istrinya terus saling mendukung untuk senantiasa bersabar dan melapangkan dada. Matngali setidaknya sudah bisa legowo, kini istrinya sudah kuat dan pandai melakukan drama seperti dirinya, tidak merengek dan menangis terus sambil sesenggukan minta pindah rumah karena tidak tahan dengan sindiran dan cemoohan Mak Sa. Ya, meski kemampuannya masih sebatas aktris pendukung. Belum memiliki karakter kuat seperti Matngali, suaminya.

“Lapangkan dadamu, hanya tuannya yang membuat dada itu menjadi luas atau sempit,” kata Matngali suatu kali sambil menyentuh pundak istrinya. “Jangan terlalu serius menjalani kehidupan karena kehidupan ini sudah diselimuti ketidak-adilan yang ditimpakan oleh sebagian manusia,” suara Matngali terdengar ringan di telinga istrinya dan terasa membawa kesejukan lalu memenuhi dada istrinya, tentrem dan ayem. “Ayo, kuajari bermain drama. Kan hidup ini sejatinya sandiwara, Dik!”

Bau sampah dari kali Brantas menyeruak sampai ke daratan, ke rumah penduduk kampung. Sebuah kampung dimana Matngali bersama para tetangganya yang lain bertempat tinggal. Kampung penduduk dengan ekonomi sangat kekurangan. Karena permasalahan ekonomi dan lain hal itu jugalah, Mak Sa, yang suaminya tukang becak begitu menyimpan benci-dendam kepada Matngali.

Memang, perlu memiliki dada seluas milik Matngali supaya tidak menjadi sakit seperti Mak Sa. Siapalah Mak Sa, seorang perempuan yang menjalani rutinitas sehari-harinya sebagai seorang istri dan ibu. Menjalani rutinitas kehidupan tanpa ‘kesadaran’ sebagaimana umumnya manusia yang hidup di hampir seluruh permukaan tanah planet bumi ini. Mak Sa hanya lelah. Mak Sa hanya korban ketidakadilan tangan-tangan manusia yang melindasnya. Melindas seluruh penduduk kekurangan di kampung Matngali. Begitu juga Matngali, dia menjadi korban dari manusia-manusia bertopeng jubah kebaikan.

***

Dua lelaki dengan seragam itu datang kepadanya di suatu siang yang terik, saat Matngali mengayah pasir di pinggir kali Brantas. Dua lelaki yang selama ini terlihat sebagai manusia saleh karena tutur katanya yang selalu membawa istilah-istilah agama, juga perilakunya yang apik nan santun. Apalagi Matngali menyadari dua lelaki itu begitu tak berjarak dengannya yang hanya seorang buruh pasir bangunan. Matngali melihat, di sanalah jantung agama yang dianutnya.

Matngali terhempas, dikutuk maki tetangga kampungnya karena dua lelaki--teman Matngali yang telah ditaruhnya kepercayaan kepada mereka tentang kebaikannya-- membawa kabur uang mereka, tiga tetangga Matngali. Mereka yang atas dasar kepercayaan kepada Matngali pula percaya bahwa dua teman Matngali itu akan membantunya bekerja di luar negeri. Segala upaya telah Matngali lakukan untuk mencari dua manusia setengah binatang itu. Bahkan sampai ke rumah yang selama ini dijadikan sebagai kantor, pusat segala pengurusan calon TKI akan diberangkatkan.

Istri Matngali menangis. Matngali sendiri berada di ujung tipisnya iman. Kala itu ia sempat berfikir untuk terjun saja ke kali Brantas jikalau tidak mengingat ajaran kiainya juga istri dan anak-anaknya. Matngali dituding sekongkol. Matngali ditunjuk mendapatkan kompensasi.

Rusli, suami Mak Sa ditemukan sekarat dengan mulut berbusa di samping sumur rumahnya. Syamsiyah, anak perawan Mak Sa satunya-satunya menjerit. Beruntung, bergotong-royong dan sigap penduduk lekas melarikannya ke puskesmas terdekat. Lelaki malang, yang kehilangan uang tiga juta rupiah, yang dikumpulkannya selama tiga tahun sebagai tukang becak dan diberikannya kepada teman Matngali untuk memberangkatkan Syamsiyah sebagai TKI.

Suatu malam Syamsiyah menangis di pangkuan istri Matngali. Suaranya terdengar berat, menceritakan proses medical cek-up sebagai prasyarat berangkat keluar negeri. Matngali seperti dihantam-hantam dadanya ketika istrinya mengulang cerita Syamsiyah. Saat Syamsiyah diminta telanjang bulat. Saat Syamsiyah menangis di antara derai tawa kedua petugas imigrasi bodong teman Matngali. Saat Syamsiyah… ah!!! Matngali sudah tidak kuasa.

Perlu waktu yang lama bagi Matngali untuk berdamai dengan dirinya sendiri. Niat baiknya yang sungguh tulus untuk para tetangga sepenanggungan berbuah kelam. Matngali menjadi sering menyendiri di tepian kali Brantas, bercakap-cakap sendiri dengan dirinya. Sampai akal budi dan nuraninya menjadi tajam. Dan mulai saat itulah, Matngali bertekad menggelar drama, dengan kehidupan menjadi panggungnya. Setiap kali Matngali bangun dari tidurnya di pagi hari, dia bangun dengan ‘kesadaran utuh’ sebagai seorang aktor drama kehidupan dalam jangka waktu satu hari. Dan Matngali tahu, apa yang akan dilakukannya.

Malang, 05 September 2016


Category : cerpen

SHARE THIS POST


ABOUT THE AUTHOR

Halimah Garnasih