Dongeng Penuh Warna Bersama Si Jlitheng

slider
15 Oktober 2020
|
1646

Judul: Si Jlitheng Dongeng Bocah Abasa Jawa | Penulis: Impian Nopitasari | Gambar: Nai Rinaket | Penerbit: Babon, 2020 | Tebal: iv + 52 halaman warna | ISBN: 978-6237-7212-1-5

Kali pertama aku membaca buku dongeng anak ketika masih duduk di bangsu Sekolah Dasar kelas lima. Waktu itu, aku mendapat buku kumpulan dongeng anak se-Nusantara dari ayahku, tetapi ilustrasi gambar masih hitam putih, tidak berwarna. Kalaupun ada buku cerita anak yang bergambar, itu komik-komik ataupun manga, gambarnya pun masih hitam putih. Sementara buku cerita anak yang berwarna sering didapati pada buku anak dongeng luar negeri, seperti Winnie the Pooh, kisah-kisah karangan Hans Christian Andersen, ataupun gubahan Hansel dan Gretel bersaudara.

Membaca buku dongeng Si Jlitheng ini bagiku merupakan pengalaman baru, mengingat buku dongeng yang kubaca sebelumnya kebanyakan berbahasa Indonesia. Kisah-kisah dalam Si Jlitheng ditulis oleh Impian Nopitasari dalam bahasa Jawa. Setiap dongeng dalam tiap lembar halamannya digambar berwarna oleh Nai Rinaket. Dengan gambar berwarna tentu akan lebih menarik anak-anak dalam memahami isi cerita.

Si Jlitheng yang menjadi judul utama buku, merupakan judul cerita dan juga nama tokoh utama dalam kumpulan dongeng bocah abasa Jawa ini. Si Jlitheng bercerita tentang seekor semut yang berwarna hitam, yang dalam bahasa Jawa, warna hitam disebut jlitheng.

Jlitheng dijauhi teman-temannya karena kerap tidak berdaya sewaktu mengangkat barang-barang, dan karena perawakannya yang kecil. Akibat perlakuan yang menimpanya, membuat Jlitheng menyingkir dan menyendiri, berkeluh kesah kepada Sang Pencipta.

Suatu waktu, Jlitheng menemukan telur Merpati yang akan menetas, tanpa dijaga oleh sang induk. Jlitheng mengendap-ngendap sampai dekat telur Merpati dan beristirahat di sana. Tiba-tiba tanpa disadar, ada Ular yang diam-diam merayap ingin memangsa telur-telur Merpati.

Sang induk telur berteriak minta tolong, lantas Jlitheng tersadar dari istirahatnya, dan tanpa pikir lama hinggap di atas Ular. Jlitheng tanpa ampun menggigit Ular. Karena badannya yang kecil, Ular tidak sadar siapa yang menggigit sampai membuatnya terjatuh dari sarang Merpati. Akhinya telur Merpati selamat dari mangsa Ular.

Kemudian ada dongeng yang berjudul Dongenge Pitik karo Bebek (Dongengnya Ayam dan Bebek). Dongeng ini berkisah mengenai si Blorok, sang induk ayam yang mengerami telur-telurnya. Telur-telur yang dierami akhirnya menetas, akan tetapi ada satu telur yang belum menetas. Akhirnya telur terakhir itu menetas juga dan keluarlah anak ayam, namun ada tapinya.

Anak ayam yang terakhir menetas ini penampilannya beda dengan anak-anaknya yang lain. Anak-anak si Blorok tidak mau bersaudara dengan anak ayam yang satu ini, karena mereka menganggap dirinya jelek, dan oleh karenanya ia dipanggil si Jelek.

Pada suatu siang, anak-anak si Blorok sedang bermain, namun tiba-tiba terdengar suara minta tolong. Ternyata, anak si Blorok ada yang kleleb, tenggelam! Si Jelek dengan sigap langsung berenang menolong anak ayam yang tenggelam itu. Anak ayam berhasil diselamatkan. Sementara anak-anak ayam si Blorok keheranan. Si Blorok sebagai induk bisa menenangkan dan memenangkan hati anak-anak ayamnya untuk menerima si Jelek sebagai saudara mereka.

Ada pula kisah Kodok dan Bekicot. Kodok dan Bekicot sudah bersahabat sangat lama. Namun, Bekicot terkadang mengeluh dan iri dengan Kodok, karena Bekicot kalau berjalan harus membawa rumah dan melata, sedangkan Kodok meloncat sangat cepat dan lincah.

Kodok seringkali menasihati Bekicot agar selalu bersyukur kepada Sang Pencipta, karena dibalik itu semua pasti ada hikmahnya.

Suatu saat ada teriakan minta tolong dari induk ayam yang anaknya tenggelam di kolam. Kodok dengan lincah langsung menolong si anak ayam itu. Sebetulnya Bekicot berniat ingin menolong anak ayam itu, tapi Kodok lebih sigap darinya.

Sejak kejadian itu, beberapa hari Bekicot tidak mau berbicara dengan Kodok. Kodok pun kebingungan melihat ulah aneh temannya itu. Tiba-tiba ada seekor Elang menukik cepat menyambar Bekicot. Bekicot dengan cepat langsung berlindung di balik rumahnya, menyelamatkan diri dari bahaya. Elang pun mencari mangsa lain, lalu Elang menyambar Kodok, mencabik-cabik si Kodok tanpa disadari Bekicot.

Dongeng selanjutnya berjudul Ndara Anyar (Majikan Baru). Berkisah mengenai seekor kucing bernama Mimi yang dititipkan majikannnya, Bu Esthi, di rumah mantan pembantunya bernama Mbok Triman.

Mimi selama dititipkan mempunyai teman baru kucing-kucing desa yang dipelihara Pak dan Mbok Triman. Namanya Imas dan Cemplon. Selama berteman dengan Imas dan Cemplon, Mimi diajak makan ikan pindang. Tapi Mimi cuek dan ogah makan bareng mereka, karena terbiasa makan dalam kemasan pet shop.

Suatu hari, rumah Mbok Triman sepi, Mimi mengeong-ngeong kelaparan. Karena sudah tidak lagi mampu menahan lapar, Mimi meloncat ke atas meja dan memakan semua ikan pindang Mbok Triman.

Sepulang dari sawah, Pak dan Mbok Triman terkejut melihat Mimi meloncat ketakutan, tetapi mereka tidak memarahi Mimi dan malah bersyukur Mimi sudah mau makan seperti Imas dan Cemplon.

Waktu berlalu, Bu Esthi datang menjemput Mimi, sembari memberikan oleh-oleh dari Tanah Suci. Imas dan Cemplon ndusel-ndusel di bawah kaki Bu Esthi, seolah tidak rela berpisah dengan Mimi. Mimi juga mengeong-ngeong ketika dibawa Bu Esthi pulang kembali ke rumahnya.

Dari keempat dongeng yang diceritakan sekilas di atas, terlihat setiap dongeng merupakan kisah yang berdiri sendiri, tidak terikat satu sama lain, sehingga pembaca memiliki kebebasan mau membaca dongeng dari yang mana saja. Selain itu, setiap dongeng sarat makna, tergandung juga pengajaran pekerti bagi anak-anak ketika membayangkan cerita dalam kenyataan.

Semua dongeng mempunyai ilustrasi yang menarik, berwarna dan memikat mata. Kertas pada buku ini juga tebal dan enak dipegang, serta sampul belakang dan depan yang enak dilihat. Namun ada beberapa kosakata dalam bahasa Jawa yang bagiku pribadi masih asing, semisal kata “mongkog” pada bagian Atur Pambagya, kata “ngeyeyet” dalam dongeng Si Jlitheng.

Akhir kata, buku ini patut menjadi koleksi buku anak yang bisa dibaca tanpa merasa bosan, selain juga menarik ilustrasi yang mengiringi isi cerita di dalamnya.


Category : resensi

SHARE THIS POST


ABOUT THE AUTHOR

Wan Muhammad Fajar Shidieq

Pemuda tanggung yang kesehariannya membantu orangtua di rumah. Aktif berkegiatan di Kolektif Hysteria sebagai Deputi Moving Image. Hobi menonton film, membaca buku, dan melamun. Alumnus Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang.