Disposition of Mind
Saat menulis ini, al-katib sedang berada di salah satu masjid besar di kota Kuningan, Jawa Barat. Menunggu istri yang sedang mengajar pada suatu sore yang mulai digelayuti mendung, dan temanku saat ini adalah Leo Tolstoy yang sedang asyik berkisah tentang Hadji Murat. Papan waktu menunjukkan pukul 16.05 WIB, itu tanda bahwa sekitar 70 menit lagi aku harus menunggu. Sehari sebelumnya aku duduk berhimpitan kursi di dalam gerbong kereta Bengawan dengan jurusan akhir Jakarta-Pasar Senen, kereta yang harganya sangat terjangkau dibanding daftar nama kereta-kereta lain yang berangkat ke Jakarta. Aku naik dari Lempuyangan dan rencananya akan turun di stasiun Prujakan, Cirebon.
Di dalam kereta itu, aku memutar audio rekaman ngaji Guru Faiz yang kerap mencerahkan dan menyejukkan, bahkan saking sejuknya kerap kali aku tersadar bahwa puluhan menit telah berlalu dengan ketidaksadaran di alam mimpi. Semoga hanya aku yang begitu. Tapi pas kali itu ada satu hal yang masih membuatku jadi berpikir, lalu ku coba tuangkan ke dalam tulisan singkat ini.
Guru bertutur tentang G.W.F. Hegel dalam tema besar ngaji filsafat sejarah. Di antara kalam-kalam sang filsuf yang didedah adalah tentang disposition of mind. Salah satu elemen penting dari sejarah adalah pikiran, katanya. Setiap gerak sejarah senantiasa dihadiri oleh pikiran yang berjongkok dibalik covernya. Pikiran yang bisa menghadirkan antitesis terhadap arus tesis sejarah yang ada untuk melahirkan sintesis berikutnya sebagaimana rumusan dialektikanya yang masyhur itu: tesis-antitesis-sintesis.
Bagi Tuan Hegel, disposition of mind adalah salah satu buah pikir yang diperasnya untuk melihat geliat sejarah. Akan tetapi Guru Faiz mengetengahkan kata-kata itu dengan pen-syarah-an yang meluwas dan meluwes. Sampel yang diambil adalah perihal kemiskinan. Dengan kalam yang terdengar renyah, dikatakan bahwa kemiskinan apakah itu sebagai sesuatu yang meruwetkan atau tidak adalah bergantung pada pikiran kita. Faktanya memang ada orang yang memberontakÔÇômenghujat nasib gegara kemiskinan, tapi ada juga yang bersimpul senyum, berlapang dada, meski ia terlihat hidup dalam keadaan yang miskin.
Disposition of mind bisa dipakai sebagai senjata pelipur duka dalam aktualisasi yang meluas. Tatkala seorang kekasih memilih pergi meninggalkan atau lebih memilih menikah dengan orang lain, bisa kita berpikir bahwa masih ada someone lain yang barangkali dengannya kebahagiaan bisa turun berlebih-lebih. Ketika mahasiswa tingkat akhir yang tak segera lulus diderita rasa gerah yang hampir berujung pada keadaan yang hampir frustasi penuh, dengan kekuatan disposition of mind dia bisa melahirkan pikiran bahwa masih banyak juga mahasiswa tingkat akhir lain yang belum selesai dengan tumpukan dan timpukan tugas akhirnya. Plus bonus pikiran positif berikutnya bahwa ini tidak lain merupakan kado teologis bahwa Tuhan memberi kelonggaran waktu agar ia bisa lebih banyak belajar lagi.
Dalam refleksi internal al-katib dari kalam-kalam itu, tanpa ke-naif-an sebagaimana manusia biasa pada umumnya kerap muncul rasa kurang dalam perkara nominal duniawi, di tengah kebutuhan hidup yang selalu muncul tiba-tiba dan menyebarkan rasa takut bak genderuwo. Akan tetapi kekuatan disposition of mind yang tersuntikkan pada jaringan otakku memanggil suatu antitesis yang berkata-kata bahwa seharusnya diri ini bersyukur ada nominal bulanan yang turun untuk membeli kardusan raktogen dan mamah pokok, sebab di luar sana masih banyak orang yang susah-susah mencari pekerjaan. Syukurlah aku masih punya istri yang baik meski terpaksa berada di lintangan dan bujuran garis bumi yang berbeda. Kekuatan yang dihadirkan dari disposition of mind yang demikian tampaknya mampu kembali menggulirkan gerak dialektika sejarah. Mampu menyelamatkan sejarah dari kemacetan, lebih-lebih hidup seseorang dari kebinasaan. "Sebab setiap orang di dunia ini ingin dukanya berkurang", begitulah kata Shah Rukh Khan kepada Anushka Sharma dalam Rabne Bana Di Jodi.
Di samping itu, ada mahfuzhat yang kerap kali populer saat ujian di kampus atau sekolah hendak berlangsung, "posisi menentukan prestasi", katanya. Aduh, sayangnya waktuku sudah hampir lepas 70 menit. Setelah shalat Magrib ditunaikan, aku menjemput istri yang telah selesai mengajar di salah satu lembaga privat yang ada di jalan Siliwangi, Kuningan. Setelah itu kami melanjutkan perjalanan ke kota angin, Majalengka. Sekian dulu, barangkali lain waktu akan ku tambah sulam lagi.
Category : catatan santri
SHARE THIS POST