Dialog Interpretasi dalam Fusi Horizon Hans Georg Gadamer
Tokoh hermeneutik bernama Hans-Georg Gadamer lahir di Marburg pada 1900. Gadamer dibesarkan dari keluarga kelas menengah Jerman. Pemikiran hermeneutiknya dipengaruhi bimbingan dari seorang yang terkenal dengan konsep dasein yaitu Heidegger.
Meski Gadamer bergelut dalam dunia filsafat, ayahnya tidak berhap ia belajar studi filsafat. Ayahnya adalah seorang profesor bidang kimia yang memuja ilmu-ilmu alam, hingga ayah Gadamer menyebut para professor ilmu humaniora dengan schwatzproffessoren (professor tukang gosip). Dengan tetap menekuni dunia filsafat, membuat karier akademis Gadamer melejit, hingga dirinya menulis karya yang fenomenal dalam dunia hermeneutik yaitu Wahrheit und Methode.[1]
Pada karya Wahrheit und Methode, Gadamer mengevaluasi hermeneutik sebagai kunst (seni) dan metode yang dibangun oleh kedua pendahulunya. Dalam gagasan Schleiermacher, untuk memahami sejarah, seseorang perlu menggunakan penafsiran gramatikal bahasa untuk memastikan maksud author melalui kata-kata yang dipakai, dan interpretasi psikologi untuk menelusuri latar belakang sebuah karya yang ditulis sehingga mencapai pemaknaan sendiri bagi reader sesuai dengan maksud si author.
Dari sisi hermeneutik yang digagas oleh Dilthey, erlebnis menggambarkan tentang penghayatan hidup secara subjektif dalam kenyataan hidup yang dialami. Pemahaman seorang terhadap hidup dibentuk dari pengalaman khusus, hingga memperoleh makna individu yang berkesan sesuai perjalanan hidup dan cakrawala (pengetahuan).
Gadamer berpandangan bahwa konsep penafsiran gramatikal bahasa dan psikologi dapat dipakai ketika isi sebuah tulisan maknanya tidak bisa ditangkap dengan jelas (sulit dipahami), salah satu jalannya adalah mengetahui maksud dari author. Namun, menurut Gadamer, tidak berlaku pada semua jenis teks. Gadamer berpendapat reproduksi makna oleh reader yang berasal dari klaim-klaim author bukanlah hal final/absolut (sudah selesai).
Sedangkan konsep erlebnis menurut Gadamer bukan suatu representasi pengalaman atau penghayatan secara umum (erlebbar), melainkan, pengalaman adalah hal yang belum pernah dialami seseorang (erlebt). Artinya pengalaman seseorang bukan suatu rujukan, tetapi masing-masing individual mempunyai pengalaman dan pengkhayatan sendiri atau tidak dapat terjadi secara berulang lewat orang lain.[2] Dari kritik Gadamer atas pendahulunya itu, hermeneutiknya memiliki tiga pokok ide: vorurteil, wirkungsgeschichte, dan fusion of horizons.
- Vorurteil dalam Memahamai Sejarah
Konsep pra-pemahaman menurut Gadamer adalah mengkonfirmasi makna yang sudah ada sebelumnya yang digerakkan menuju pemahaman penafsir di zaman sekarang. Hal ini disebut sebagai pra-pemahaman. Konotasi tentang vorurteil selalu merujuk pada penilaian dan pengambilan kesimpulan secara terburu-buru.
Gadamer berpandangan pra-pemahaman memiliki kontribusi tradisi dan otoritas pada diri penafsir. Singkatnya, terdapat pengaruh tradisi cara berpikir dan rancangan kebenaran dari interpretasi masa lampau.
Kontribusi otoritas dan tradisi dalam pra-pemahaman berasal dari cara pandang pencerahan dan romantisme. Ide romantisme untuk menangkap makna bisa dilakukan dengan penelusuran terhadap mitos, cerita rakyat dan adat istiadat kuno yang implisit dari teks sejarah. Sedangkan pencerahan memandang makna dapat diperoleh dari sumber informasi yang benar yaitu akal. Dengan melepaskan perangkat tradisi dan otoritas di setiap zamannya.
Prespektif vorurteil dalam memahami sejarah memunculkan dua jenis pra-pemahaman. Pertama, pra-pemahaman legitim. Dalam bentuk ini, otoritas menjadi sumber kebenaran. Peran otoritas dalam pemahaman penafsir untuk menemukan sebuah kebenaran makna lewat rancangan kebenaran masa lampau disusun oleh seorang pakar atau guru. Otoritas tidak selalu berkaitan dengan kepatuhan buta, karena dalam otoritas intelektual seorang penafsir memerlukan guru yang sudah mendapat pengakuan publik untuk menemukan makna secara rasional dan sistematik.
Kedua, pra-pemahaman ilegitim. Tradisi selalu dideskreditkan sebagai pembatasan nalar dan kebebasan, tetapi manusia untuk menuju versthen (memahami) tidak dapat dilepaskan dari sebuah tradisi keilmuan yang berlaku. Penangkapan makna sejarah disebabkan proyeksi tradisi kaidah keilmuan masing-masing disetiap zamannya.[3]
Pada proses penafsiran terdapat peran otoritas sebagai sumber kebenaran dalam pra-pemahaman, bertujuan untuk mengkonfirmasi rancangan pemaknaan dari masa lampau yang dikerjakan oleh seorang pakar dan makna akan dikembangkan penafsir di masa sekarang yang disesuaikan oleh kebutuhan ekonomi, politik, dan sosial melalui tradisi kaidah keilmuan yang diwariskan turun temurun.
Tahap vorurteil dalam hermeneutik Gadamer memiliki tujuan untuk menghindari kebenaran yang bersifat relatif, yang mana kebenaran digantungkan pada penarikan kesimpulan seorang penafsir dalam interpretasinya, tanpa menelusuri dimensi ontologis sebuah makna.
- Kesadaran Terpengaruh Sejarah (Wirkungsgeschichte)
Beranjak ke tahap hermeneutik Gadamer selanjutnya, yaitu wirkungsgeschichte. Penangkapan makna sejarah mempunyai keterlibatan pengalaman yang dirasakan oleh penafsir. Menurut Gadamer, pengalaman memiliki relasi yang dialektis, karena keterbukaan pengalaman lahir dalam setiap individualnya. Artinya, pengalaman bukan hanya sebagai pengetahuan yang bersifat informatif, namun keterbukaan yang bertemu antara pengalaman dan pengetahuan.
Dapat dicontohkan: seorang ilmuwan yang belajar tentang sains yang diharapkan dapat mengetahui arah kualitas hidup bagi manusia di masa depan, tetapi dalam tahap pembelajaran menemukan sebuah kegagalan/putus asa. Akhirnya muncul koneksi pemahaman sains dan pengalaman belajar yang menemukan batas dari eksistensi seorang pakar untuk menggapai kesempurnaan, atau biasa disebut dengan pengalaman keterbatasan.[4]
Melalui hal itu, seorang dapat mengetahui manusia bukan penguasa waktu dan perlu terhubung pada masa selanjutnya untuk keterbukaan bagi pengalaman baru yang menghasilkan pemaknaan continue. Kesadaran terpengaruh sejarah didasari oleh rencana masa lampau yang belum selesai, kemudian rancangan interpretasi digerakan ke masa sekarang oleh penafsir yang disesuaikan kebutuhan ekonomi, ideologi, dan kultural.
Interpretasi continue dapat digambarkan terhadap penelitian sejarah. Penguraian peristiwa sejarah oleh para peneliti bukan terletak pada deskripsi/gambaran peristiwa yang ada dalam teks, namun ada keterlibatan penangkapan makna yang dipengaruhi jejaring masa kekinian peneliti.
- Fusi Horizon-Horizon untuk Interpretasi
Horizon adalah suatu jangkuan penglihatan yang meliputi segala sesuatu dibatasi dari sudut pandang tertentu. Dalam dimensi pemikiran horizon membahas keterbatasan pengetahuan serta cara pandang, dengan uraian pada lingkup yang paling dekat dirinya. Untuk mendeteksi sebuah horizon terdapat dua ciri. Pertama, tidak terisolasi, melainkan tebuka. Gadamer tidak setuju dengan tranposisi makna yang dilakukan oleh romantik yang hanya membawa interpretasi pengarang dari masa lampau. Kedua, tidak statis melainkan dinamis. Ciri ini mengisyaratkan bahwa cara pandang dari masa silam bukan sesuatu yang final dan ditinggalkan dibelakang, tetapi dibentuk oleh cara pandang kekinian dari horizon masa silam.
Peleburan interpretasi dari setiap masa adalah sebuah perjumpaan horizon teks dan horizon pembaca yang meliputi tradisi serta otoritas. Kesalah pahaman makna yang terjadi akan menimbulkan dialektis, bukan sebagai pemisah. Tugas interpretasi dalam fusi horizon-horizon ialah memproyeksi cara pandang masa lampau dari sebuah teks yang diinterseksi dengan kondisi kekinian penafsir. Peleburan yang dimaksud bukan sebagai penggambaran kondisi masa silam atau reproduksi, tetapi membiarkan kekinian untuk menafsirkan makna baru.[5]
Relevansi Hermeneutik Gadamer Terhadap Evolusi Media Sosial
Fusi horizon-horizon adalah pokok dari metode hermenutik yang digagas oleh Gadamer untuk memahami alur perkembangan makna dari generasi ke generasi. Media sosial pada era digital dijadikan alat bantu bagi manusia dalam bertukar dan berbagi gagasan dari jarak jauh. Dialog interpretasi dalam menggunakan media sosial sebagai wadah akses informasi memiliki perkembangan fungsi yang dapat ditelusuri dari sejarah hingga masa kekinian.
Penemuan telegraf oleh Samuel Finley Breese Morse pada 1837 di era pra-internet. Alat komunikasi ini, awalnya menggunakan serangkaian titik serta garis elektronik untuk menyampaikan pesan yang nanti akan diterjemahkan ke narasi teks.
Pesan berbentuk[6] kode yang ditemukan Samuel Morse pada 1844 berhasil dikembangkan dengan jangkaun jarak lebih jauh, efisiensi pengembangan telegraf diuji dari gedung pemerintahan Amerika serikat di Washington DC ke daerah Maryland, kota Baltimore. Kemudian fungsi telegraf sebagai pengantar pesan digunakan untuk menyampaikan informasi tentang kondisi medan perang dalam peristiwa perang saudara oleh pemerintah Amerika Serikat pada masa keipemimpinan Abraham Lincoln.[7]
Memasuki era internet, telegraf akhirnya digantikan oleh komputer dengan menggunakan sistem jaringan virtual. Transisi pengiriman informasi tenaga listrik ke jaringan virtual ditandai munculnya ARPANET (Advanced Research Projec Agency) yang dibuat oleh departemen pertahanan Amerika.
Perkembangan teknologi informasi ini, digunakan untuk terhubungnya ilmuwan dari 4 universitas tahun 1969. Platform Six Degrees muncul sebagai layanan pengunggahan profil di ranah media sosial publik. Selanjutnya layanan media sosial bukan hanya sebagai pengunggah profil saja, My Space tahun 2008 menawarkan layanan berbagi musik di beranda profil user.[8]
Pada abad ke-21 media sosial berubah menjadi wadah interaksi bagi manusia melalui unggahan vidio. Intensnya peran media sosial memiliki fungsi baru sebagai edukasi, branding person sampai gerakan sosial. Kelompok umur Generasi Z memaknai media sosial sebagai sense of self yang mempengaruhi cara pandang terhadap suatu peristiwa. Konten-konten edukasi dan aktivisme yang didapat akan direfleksikan oleh individu dan kelompok dengan mencocokan pada realita hidup, hingga memunculkan rasa empati dan simpati.[9]
Di sisi lain, konten tutorial yang tersaji di platform media sosial berdurasi pendek menguraikan berbagai cara mengeksplorasi hal baru. Para pengguna platform cenderung mengikuti vidio tutorial untuk membentuk kreativitas dan pengembangan minat. Secara ekonomi, media sosial juga berperan aktif dalam pemasaran berbagai macam produk.[10]
Perkembangan dari era pra-internet, era internet, sampai era digital menandakan manusia untuk menuju versthen (memahami), perlu adanya vorurteil (pra-memahami) untuk memaknai fungsi media sosial. Kelompok Generasi Z pengetahuan tentang platform media sosial sebagai wadah interaksi bersumber dari penelusuran sumber terkait.
Kemudian penggunaan teknologi informasi ini, tanpa disadari dipengaruhi oleh wirkungsgeschichte yang dibawa dari era pra-internet dan era awal kemunculan internet. Fusion of horizons pengetahuan antara masa lampau dan kekinian membuat Generasi Z memaknai platform media sosial sebagai tempat komunikasi, edukasi dan pencarian jati diri secara virtual.
Referensi:
Firamadhina, Fadhlizha Izzati Rinanda, “Prilaku Generasi Z terhadap Penggunan Media Sosial Tiktok: TikTok Sebagai Media Edukasi dan Aktivisme", Social Work Jurnal, No. 2, Vol. 10. 2020.
Hardiman, F. Budi, 2015, Seni Memahami, Yogyakarta: Kanisius.
Mahardika, Sunggiale Vina, dkk, "Faktor-Faktor Penyebab Tingginya Minat Generasi Post Millenial Indonesia Terhadap Penggunaan Aplikasi Tik-Tok", Jurnal: SOSEARCH, No. 2, Vol. 1. 2021.
Namara, Robert MC, “Abraham Lincoln and The Telegraph”, dalam https://www.thoughtco.com/abraham-lincoln-and-the-telegraph-1773568, diakses 28 Desember 2024.
Palmer, Richard E., 2016, Hermeneutika: Teori Baru Mengenai Interpretasi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Pathak, Poornesh, “History of Morse Code”, dalam https://internationaljournalofresearch.com/2020/07/15/history-of-morse-code-2/, diakses 28 Desember 2024.
Warnke, Georgia, 2021, Gadamer: Hermeneutika,Tradisi, dan Akal Budi, terj. Ahmad Sahidah, Yogyakarta: IRCiSoD.
[1] F. Budi Hardiman, Seni Memahami, (Yogyakarta: Kanisius, 2015), hlm. 156-158.
[2] Geoegia Warnke, Gadamer: Hermeneutika,Tradisi, dan Akal Budi, terj. Ahmad Sahidah, (Yogyakarta: IRCiSoD, 2021), hlm. 39-69.
[3] F. Budi Hardiman, Seni Memahami, hlm. 171-175.
[4] Richard E. Palmer, Hermeneutika: Teori Baru Mengenai Interpretasi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2016), hlm. 232-238.
[5] F. Budi Hardiman, Seni Memahami, hlm. 180-185.
[6] Poornesh Pathak, “History of Morse Code”, dalam https://internationaljournalofresearch.com/2020/07/15/history-of-morse-code-2/, diakses 28 Desember 2024.
[7] Robert MC Namara, “Abraham Lincoln and The Telegraph”, dalam https://www.thoughtco.com/abraham-lincoln-and-the-telegraph-1773568, diakses 28 Desember 2024.
[8] Robert MC Namara, “Abraham Lincoln and The Telegraph”, dalam https://www.thoughtco.com/abraham-lincoln-and-the-telegraph-1773568, diakses 28 Desember 2024.
[9] Fadhlizha Izzati Rinanda Firamadhina, “Prilaku Generasi Z terhadap Penggunan Media Sosial Tiktok: TikTok Sebagai Media Edukasi dan Aktivisme", Social Work Jurnal, No. 2, Vol. 10, 2020, hlm. 206.
[10] Sunggiale Vina Mahardika,dkk, "Faktor-Faktor Penyebab Tingginya Minat Generasi Post Millenial Indonesia Terhadap Penggunaan Aplikasi Tik-Tok", Jurnal: SOSEARCH, No. 2, Vol. 1, 2021, hlm. 47-48.
Category : filsafat
SHARE THIS POST