Dialektika Pencerahan: Kritik Adorno dan Horkheimer terhadap Rasionalitas Modern
Theodor Adorno dan Max Horkheimer, dua pemikir utama Mazhab Frankfurt, menyoroti dampak negatif rasionalitas modern terhadap masyarakat dalam karya mereka yang berjudul Dialektik der Aufklärung (Dialektika Pencerahan). Buku ini ditulis pada periode 1944-1947 ketika kedua filsuf tersebut berada dalam pengasingan di Amerika Serikat. Kala itu, mereka sedang melarikan diri dari rezim Nazi Jerman. Kilas historis ini sangat penting untuk memahami keprihatinan mereka terhadap potensi destruktif dari rasionalitas modern, yang mereka lihat telah mencapai puncaknya dalam bentuk fasisme dan totalitarianisme.
Mazhab Frankfurt sendiri merupakan kelompok intelektual yang berdiri pada tahun 1923 di Institut für Sozialforschung (Institut Penelitian Sosial) di Frankfurt, Jerman. Pemikiran mereka menggabungkan teori kritis Marxis dengan psikoanalisis Freudian dan filsafat Jerman untuk menganalisis masyarakat modern. Dialektik der Aufklärung menjadi salah satu karya paling berpengaruh dalam mazhab ini karena mengkritisi proyek Pencerahan yang telah mendominasi pemikiran Barat selama berabad-abad.
Konsep Pencerahan
Pencerahan didefinisikan sebagai suatu proyek pemikiran yang bertujuan untuk membebaskan manusia dari ketakutan dan menjadikannya penguasa atas alam. Horkheimer dan Adorno menulis bahwa program Pencerahan adalah “disenchantment of the world”—yakni usaha untuk menghapus mitos dan menggantikannya dengan pengetahuan rasional.
Pencerahan, yang dimulai sekitar abad ke-17 dan ke-18 di Eropa, bertujuan untuk membebaskan manusia dari otoritas irasional, seperti agama dogmatis dan takhayul. Para pemikir Pencerahan seperti Descartes, dan Bacon, mempromosikan akal budi dan metode ilmiah sebagai satu-satunya cara yang sah untuk memahami dunia. Mereka percaya bahwa dengan pengetahuan rasional, manusia dapat mengendalikan alam dan membangun masyarakat yang lebih baik.
Pencerahan melahirkan cara pandang positivistik, yaitu pendekatan yang mengutamakan fakta empiris dan metode ilmiah. Dunia dipahami hanya sejauh ia dapat dihitung dan diukur. Dalam pandangan ini, tidak ada ruang bagi unsur-unsur irasional atau spekulatif. Misalnya, matematisasi alam dalam pemikiran Galileo telah mengubah cara manusia memahami realitas, di mana dunia menjadi sesuatu yang harus dirumuskan dalam bentuk sistematis dan formal.
Mitos dan Pencerahan
Sebelum munculnya rasionalitas modern, manusia melihat dirinya sebagai bagian dari alam dan hidup dalam hubungan yang lebih simbolis dengan dunia di sekitarnya. Alam tidak dipandang sebagai sesuatu yang bisa dikendalikan atau dimanfaatkan secara teknis, melainkan sebagai kekuatan yang harus dihormati dan diharmonisasikan melalui mitos dan ritus. Dalam masyarakat tradisional, mitos memainkan peran sentral untuk menjelaskan fenomena alam dan sosial, memberikan makna terhadap pengalaman manusia, dan menciptakan keteraturan dalam kehidupan sosial.
Bagi Adorno dan Horkheimer, manusia menggunakan mitos sebagai cara untuk memahami dunia yang penuh ketidakpastian. Mitos bukan sekadar cerita irasional, melainkan sistem makna yang menjelaskan realitas melalui entitas supranatural seperti dewa dan roh. Mitos juga adalah bentuk awal dari rasionalitas, di mana manusia berusaha memahami dan mengendalikan dunia dengan cara simbolis. Mitos dan ritus mencerminkan upaya manusia untuk menanggulangi ketidakpastian dan membangun sistem sosial yang stabil.
Pencerahan menghapus konsep animisme dan pandangan bahwa alam memiliki sifat hidup atau makna spiritual. Pada awalnya, manusia memandang alam sebagai entitas yang bernyawa dan sarat makna, tetapi dengan berkembangnya rasionalitas, alam direduksi menjadi objek yang dapat dikendalikan dan dimanipulasi. Pemikiran ini sejalan dengan gagasan Francis Bacon yang menempatkan ilmu pengetahuan sebagai alat untuk menaklukkan alam demi kepentingan manusia.
Adorno dan Horkheimer mengidentifikasi suatu dialektika fundamental: Pencerahan, yang bertujuan mengatasi mitos, pada akhirnya menghasilkan bentuk mitos baru. Mereka menunjukkan bahwa mitos maupun sains pada dasarnya adalah cara manusia memahami dunia. Jika masyarakat tradisional menggunakan ritus untuk menafsirkan realitas, ilmu pengetahuan modern melakukan hal serupa melalui prosedur matematis yang dianggap objektif dengan mengikuti standar ilmiah tertentu. Pola ini mencerminkan bagaimana rasio modern tetap tunduk pada aturan yang kaku dan berulang, layaknya ritus dalam kepercayaan kuno yang tidak kritis terhadap sistemnya sendiri.
Reduksi Manusia
Pencerahan menciptakan pemisahan tegas antara subjek dan objek, di mana dunia eksternal dipahami hanya dalam kerangka fungsional dan teknis. Hal ini semakin menjauhkan manusia dari alam, yang tidak lagi dipandang memiliki nilai intrinsik, tetapi sekadar sumber daya yang dapat dieksploitasi oleh teknologi.
Pola pikir penaklukkan alam ini membentuk cara berpikir yang mengutamakan kontrol, efisiensi, dan prediktabilitas. Pencerahan menekankan bahwa segala sesuatu yang ada di dunia dapat dipahami melalui prinsip sebab-akibat dan hukum alam. Dengan demikian, ia berusaha menghilangkan segala bentuk ketidakpastian dan menggantikannya dengan kepastian ilmiah.
Akibatnya, manusia pun direduksi menjadi objek yang dapat diatur dan dikendalikan. Dalam sistem ini, individu kehilangan kebebasannya karena dipandang hanya sebagai bagian dari mekanisme yang lebih besar, baik sistem ekonomi maupun kehidupan sosial. Manusia tidak lagi dihargai sebagai subjek yang memiliki nilai intrinsik, tetapi dinilai berdasarkan fungsi dan manfaatnya dalam sistem.
Dengan cara pikir ini, pertanyaan-pertanyaan mendasar tentang makna hidup, keadilan, atau kebahagiaan dianggap tidak relevan. Apa yang menjadi prioritas bukan lagi kebenaran atau keadilan, melainkan bagaimana sesuatu dapat dimanfaatkan untuk mencapai tujuan tertentu, tanpa mempertimbangkan dampak moral atau etisnya.
Kapitalisme modern beroperasi dengan logika rasionalitas instrumental—setiap individu bukan lagi subjek bebas, tetapi hanya bagian dari mekanisme produksi dan konsumsi. Sistem ekonomi kapitalis menekankan efisiensi, produktivitas, dan keuntungan, mengubah manusia menjadi komoditas yang nilainya ditentukan oleh kontribusinya terhadap produksi dan kapasitasnya sebagai konsumen.
Contoh ekstrem dari konsekuensi rasio instrumental terlihat dalam sistem totalitarianisme, seperti Nazi Jerman, di mana sains dan teknologi digunakan untuk menciptakan mekanisme pembunuhan massal yang sangat efisien. Adorno dan Horkheimer menilai bahwa kondisi ini bukanlah penyimpangan dari Pencerahan, melainkan konsekuensi logis dari cara berpikir yang dikembangkannya. Rasio instrumental yang ditekankan oleh Pencerahan justru berpotensi melahirkan sistem politik yang represif.
Pencerahan sebagai Mitos Baru
Adorno dan Horkheimer menunjukkan paradoks bahwa Pencerahan, yang awalnya bertujuan membebaskan manusia dari mitos, pada akhirnya berubah menjadi mitos baru itu sendiri. Mereka melihat bahwa rasionalitas modern tidak benar-benar membebaskan manusia dari mitos. Sebaliknya, rasionalitas itu justru menciptakan mitos baru dalam bentuk positivisme dan ilmu pengetahuan.
Menurut mereka, ketika ilmu pengetahuan dan teknologi dianggap sebagai satu-satunya cara yang sah untuk memahami dunia, mereka menjadi dogma yang tak bisa dipertanyakan—persis seperti mitos yang ingin mereka hapuskan. Ilmu pengetahuan modern dan teknologi telah menjadi ideologi baru yang mendominasi cara berpikir dan bertindak manusia modern, tanpa membuka ruang bagi pemikiran alternatif.
Positivisme, sebagai filsafat, hanya mengakui fakta empiris dan menolak metafisika, spekulasi filosofis, dan pemikiran kritis yang tidak berbasis data empiris. Pencerahan membuatnya menjadi sistem tertutup, seperti mitos, di mana hanya hal-hal yang dapat dibuktikan secara ilmiah yang dianggap "nyata" atau "bermakna". Dengan kata lain, positivisme menciptakan mitos bahwa sains dan teknologi adalah satu-satunya jalan menuju kebenaran, dan segala bentuk pemikiran lain dianggap tidak valid.
Pencerahan sebagai Kritik Diri
Bagi Horkheimer dan Adorno, Pencerahan tidak harus sepenuhnya ditolak. Jika ingin tetap relevan sebagai kekuatan pembebasan, Pencerahan harus mampu mengkritik dirinya sendiri. Ia tidak boleh menjadi doktrin yang kaku dan tak tersentuh oleh pertanyaan-pertanyaan kritis, tetapi harus terus berproses sebagai refleksi yang terbuka terhadap perubahan.
Mereka juga mengembangkan bentuk refleksi kritis yang mengidentifikasi kontradiksi dalam pemikiran dominan dan membuka ruang alternatif. Pencerahan yang sejati adalah yang selalu siap mempertanyakan dirinya sendiri, agar tidak jatuh menjadi alat legitimasi bagi dominasi dan ketidakadilan.
Adorno dan Horkheimer menekankan pentingnya pemikiran dialektis yang dapat melihat ketegangan dan kontradiksi dalam realitas sosial. Dengan pendekatan dialektis, kita dapat memahami bagaimana sesuatu dapat berubah menjadi kebalikannya—bagaimana upaya pembebasan dapat berubah menjadi bentuk dominasi baru. Pemikiran dialektis ini membuka kemungkinan untuk menemukan alternatif terhadap rasionalitas instrumental yang dominan.
Pemikiran mereka mengingatkan kita untuk selalu kritis terhadap kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan, untuk mempertanyakan tidak hanya bagaimana kita dapat melakukan sesuatu, tetapi juga apakah kita seharusnya melakukannya. Mereka mengajak kita untuk mempertimbangkan dimensi etis dari pengetahuan dan teknologi, serta mencari bentuk rasionalitas yang lebih komprehensif yang tidak mereduksi manusia menjadi objek manipulasi.
Melalui Dialektik der Aufklärung, Adorno dan Horkheimer tidak hanya memberikan kritik tajam terhadap masyarakat modern, tetapi juga menawarkan landasan untuk pemikiran kritis yang dapat membantu kita merefleksikan dan mengubah kondisi sosial yang ada. Dialektika Pencerahan mereka mengajarkan kita untuk waspada terhadap bagaimana upaya pembebasan dapat berbalik menjadi bentuk dominasi baru, dan untuk terus mencari bentuk-bentuk emansipasi yang autentik dalam dunia yang semakin dikendalikan oleh logika instrumental.
Category : filsafat
SHARE THIS POST