Di Balik Keterbatasan
… and we suffer more in imagination than in reality–Epictetus
Alhamdulillah. Hari kemenangan akan segera tiba. Kita yang berpuasa semoga selalu dilancarkan dalam segala urusan. Segala amalan serta ibadah selama bulan Ramadhan semoga selalu mendapatkan keridaan dari Allah, Tuhan sang pemilik ruang dan waktu, meskipun Ramadhan tahun ini sangat berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya.
Bagi umat muslim, setidaknya ada dua tindakan yang mesti dilakukan saat pandemik, yakni berpuasa dan isolasi mandiri. Berpuasa selain memang kewajiban juga merupakan tindakan kesalihan, sedangkan isolasi mandiri sebagai bentuk tindakan patuh dalam rangka menghindari mafsadat. Bagi sebagian orang mungkin akan menjadi beban karena keduanya membuat keseharian dalam hidup menjadi terbatas ruang geraknya.
Berpuasa merupakan bentuk terbatasnya tindakan untuk melayani nafsu seperti makan dan minum. Bahkan lebih jauh berpuasa menuntut agar kita tidak sesuka hati melayani beragam dorongan hawa nafsu. Sedangkan kebijakan untuk mengisolasi mandiri atau jaga jarak atau social distancing tiada lain sebagai usaha bagi bermaslahat bersama.
Berkumpul, bertemu, dan kebersamaan kita sebagai mahkluk sosial kini harus terpaksa menemukan jedanya pada masa pandemi. Baik itu menyangkut pekerjaan, hobi, kekerabatan, asmara bahkan ibadah berjamaah sekalipun dilakukan di rumah. Kondisi saat ini membuat kita harus beradaptasi dalam segala urusan.
Bagi kita yang sulit menahan diri, akan terasa berat menjalani kehidupan sehari-hari. Apalagi bergantungnya pada hawa nafsu dan yang terbiasa meraih kebahagiaan dari luar dirinya. Pasalnya puasa dan pandemi ini benar-benar merusak kebahagiaan kita untuk senantiasa bertindak bebas.
Masa pandemi saat ini, apabila kita enggan berdamai dengan keterbatasan, bisa jadi sepanjang hari yang kita rasakan hanyalah beban penderitaan. Tidak sedikit orang di sekitar kita menjadi uring-uringan, marah-marah di media sosial, bahkan berdebat saling menyalahkan. Lebih jauh lagi berdebat menyoal teori konspirasi, sampai yang sinis dan arogan dalam menggunakan akal pikirannya.
Baiknya kita perlu merubah cara pandang dan tata perilaku yang biasa kita lakukan dengan tidak terlalu bergantung pada apa yang di luar diri kita. Serta sebisa mungkin berdamai dengan keterbatasan yang ada. Kita harus mampu menyiasati keadaan agar keterbatasan yang terjadi tidak merenggut apa pun dari kita.
Tentunya bahwa tidak ada satu pun di dunia ini yang sia-sia. Tentulah ada hikmah untuk setiap peristiwa yang terjadi, bahkan tragedi sekalipun. Jika berpuasa dan pandemi ini dipandang hanya memberikan keterbatasan, di balik itu semua justru kesempatan besar bagi kita untuk melatih diri agar tidak terbiasa melayani hasrat dan latihan teguh dalam segala kondisi, bahkan akan lebih baik jika mampu memaksimalkan potensi diri dari segala kekurangan.
Kita tidak senantiasa hidup dalam kegembiraan bukan? Tidak melulu hidup dalam keberlimangan harta. Hidup tidak selamanya dijalani dengan suka cita. Berpuasa secara tidak langsung mengajarkan tentang bagaimana menikmati hidup jika suatu saat kita dihadapkan dengan keterbatasan. Berpuasa mencoba membuang pandangan kita bahwa kebahagiaan hanya berasal dari luar diri kita.
Berpuasa justru modal utama untuk mengendalikan hasrat. Apa yang terjadi jika kita tidak terbiasa menahan hasrat, kita akan lebih sering menjadi orang yang emosional, mudah meledak-ledak saat marah, berlebihan dalam mengekspresikan sesuatu dan condong menjadi pengeluh. Karena itu, berpuasa sebetulnya menuntun kita agar mampu mengendalikan hasrat dalam diri agar kita terhindar dari perilaku semacam itu.
Selain berpuasa, situasi pandemi ini juga menjadi peluang pemenuhan diri. Keterbatasan untuk berjumpa dan bepergian baik berkerja atau sekadar rekreasi adalah masalah semua orang. Berdiam di rumah mungkin membosankan. Tetapi perlu kita pertimbangkan bahwa ada kesempatan besar yang positif untuk kita lakukan saat di rumah.
Selain tidak ada satu pun yang sia-sia, hal yang paling mewah di dunia ini adalah waktu. Waktu yang ada kini seakan-akan menjadi milik kita seutuhnya. Terkesan bahwa segala macam urusan dan kesibukan manusia dihentikan sekadar untuk memberikan keberlimpahan waktu untuk bertafakur.
Bagi kita yang masih bisa bertahan hidup, keberlimpahan waktu baik untuk mengevaluasi diri lebih dalam, membenahi kekurangan dan mengasah kemampuan, yang di saat sebelumnya kita kerap beralasan tidak tersedianya waktu untuk memulainya, kini waktunya. Justru menjadi kesempatan besar di balik waktu pandemik, dengan begitu kehadiran pandemi tidak semata menyisakan derita.
Kini dengan banyaknya waktu yang kita miliki, kita bisa memanfaatkannya untuk mengenal diri lebih jeli dengan cara menggali potensi diri. Kemampuan lain yang belum kita kuasai atau perlu ditingkatkan, seperti berbahasa asing, penalaran, bermusik, menulis, dan apa pun hal-hal bermanfaat yang dirasa perlu bagi kita untuk melangkah ke depan semakin baik.
Intinya kita harus belajar dan belajar! Daripada keberlimpahan waktu kita habiskan dengan berdebat teori konspirasi yang proposisinya selalu menyalahkan orang lain. Penderitaan hanya akan menjadi penderitaan jika kapabilitas kita sebagai insan seutuhnya digunakan untuk penyesalan dan menyalahkan.
Ketika pada waktunya pandemi ini berakhir, dunia tidak akan lagi sama. Butuh tenaga ekstra untuk memperbaiki keadaan dunia ini menjadi lebih baik ketimbang menggantikannya. Industri dan persaingan akan lebih tajam.
Mesin-mesin akan berkerja lebih kencang. Alam tidak lebih senyap dari sekarang. Sebelum kita kembali ke rutinitas, atau normal baru pada waktunya, ada baiknya kita sudah dengan pribadi yang berbeda. Menjadi pribadi yang berkemampuan meningkat di banding kemarin.
Kewajiban berpuasa dan tanggung jawab dari datangnya mafsadat pada masa pandemi ini adalah semacam ujian yang semoga akan kita lewati. Keterbatasan yang ada akan menguji kita atas kedirian kita.
Di samping itu, perlunya kesadaran untuk pandai dalam mentransformasikan keterbatasan menjadi pembelajaran. Di balik keterbatasan yang hadir niscaya ada pelajaran yang mampu membuat kita semakin kuat dalam menghadapi rintangan.
Boleh dikatakan bahwa yang benar-benar membantu kondisi menjadi baik adalah diri kita sendiri yang mau berubah. Diri kita sendirilah satu-satunya sesuatu yang bisa kita kendalikan secara penuh. Baik ketangguhan dan kebahagiaan, keduanya tumbuh dari diri kita. Dan segenap peristiwa hanyalah tentang bagaimana kita mempersepsi.
Kita harus jauh lebih kuat dari yang kita bayangkan, dan kenyataan itu tidaklah lebih berat daripada yang kita pikirkan. Dengan begitu, tidak ada satu pun di dunia ini yang mampu merenggut kita dari kebahagiaan, kecuali itu dari Allah sang pemilik nyawa, raga, dan segalanya.
Salam, mohon maaf lahir dan batin.
Category : kolom
SHARE THIS POST