Dari Tauhid Menuju Islam Damai

slider
23 Maret 2020
|
1189

Sulit dimungkiri doktrin takfirisme telah menyebar ke kalangan generasi muda yang baru tumbuh dan siap berkembang. Hal ini tidak terlepas dari masuknya doktrin takfirisme ke dalam lembaga-lembaga pendidikan baik formal maupun non-formal. Sehingga memberikan ruang bagi kelompok yang membawanya masuk dan menyebarkan pemahamannya secara berangsur-angusur, terpetakan, dan teratur.

Tentunya dampak dari perkembangan doktrin takfirisme sangat mencemaskan. Hal ini dikarenakan pada konsep ajaran keimanannya berisi pembelajaran yang memberikan pemahaman yang membolehkan menilai sesama umat muslim dalam hal keimanan. Lalu timbul polemik, permusuhan, perdebatan, kekacauan, bahkan kerusuhan yang tidak memberikan cerminan wajah Islam yang santun melainkan sebaliknya memberikan wajah yang tidak harmonis, keras.

Merambatnya pemahaman konsep takfirisme boleh jadi karena lemahnya pembelajaran yang mengkhususkan keilmuan tauhid. Terlebih pada generasi muda dan kalangan yang baru belajar mengenal Islam dan keislaman secara kurang mendalam. Selain itu, dampak negatif dari tersebarnya doktrin takfirisme dengan pemahamannya yang radikal, berpengaruh pada sudut pandang seseorang dalam hal keislaman maupun pandangannya melihat keberagamaan orang lain. Dari sini mengemuka dua hal yang terkait, yakni subjek penilai dan objek penilaian.

Seseorang yang sudah terpapar doktrin takfirisme menjadi bibit masalah yang susah untuk diajak diskusi etis terkait permasalahan agama, karena terintervensi pada pemahaman yang merubahnya menjadi individu yang kaku, kolot, dan tidak menerima atas suatu perbedaan. Menjadikan individu hanya ikut-ikutan saja dalam beragama, tidak memberikan ruang untuk mengembangkan rasionalitas dengan memadukan teks-teks agama, melainkan diajarkan hanya untuk mempelajari ijtihad kelompok dan dipaksa untuk membenarkan secara mutlak dan menyalahkan kepada siapa pun yang tidak sepaham.

Menyeka dari doktrin takfirisme, para generasi muda seharusnya diberikan ruang penuh pada pembelajaran ilmu, baik di pendidikan Islam dalam lembaga-lembaga pendidikan formal maupun dalam pendidikan Islam non-formal seperti majelis taklim yang memfokuskan materinya pada ilmu tauhid dengan sandaran yang jelas berupa teks-teks agama dan rasional. Sehingga akan terbuka keluasan wawasan, pengetahuan di kalangan muda dalam memahami Islam.

Perdebatan mengenai takfirisme terletak pada kefanatikan yang berlebih pada golongan beserta pemahamannya, sehingga menganggap kebenaran hanya terletak pada ijtihad kelompok dan yang tidak sepaham dengan kelompoknya adalah salah, sampai pada taraf mengklaim sesat, kafir, bahkan sampai menghalalkan darah sesama muslim.

Meminimalisir taklid buta

Meminimalisir doktrin radikal seperti fenomena keagamaan berupa takfirisme bukan perkara yang mudah, jika masyarakat atau generasi muda yang menjadi sasaran masih belum beranjak atau masih malas untuk mengeksekusi rasionalitas dalam pemikirannya untuk menemukan argumen yang sekiranya dapat menjadi prinsip hidup menyelaraskan dengan Islam.

Rasionalitas merupakan salah satu cara yang ampuh dalam menolak doktrin, sehingga terjauhkan dari taklid buta akan suatu perkara. Peningkatan kesadaran pada berpikir logis dalam keberagamaan perlu dibangkitkan sebagai usaha untuk semakin mendalam memahami Islam, mengoptimalkan diri dalam bersosial budaya sesuai dengan ajaran dalam Islam yang moderat. Rasionalitas akan memberikan dampak positif berupa kokohnya suatu prinsip berdasar pada argumen logis, sehingga tidak mudah takluk menerima konsep takfirisme.

Selaras dengan hal itu, pendidikan Islam nonformal seperti majelis taklim sebagai halakah ilmu, dapat dimanfaatkan dalam mendalami pemahaman tentang Islam dari berbagai sudut pandang. Fokus pembelajarannya pun tidak hanya terbatas pada teks-teks keagamaan melainkan juga pada kontrol cara berpikir yang akan mampu mengikis taklid buta.

Majelis taklim sebagai halakah ilmu sedapatnya sebagai sarana pembinaan umat. Keberadaannya dibutuhkan dalam kehidupan bermasyarakat dan beragama. Agama Islam bukan hanya sekadar konsep ajaran yang dogmatis, melainkan ajaran yang disampaikan Tuhan melalui malaikat kepada Rasul yang harus dibumikan pada umatnya. Untuk membumikan ajaran tersebut diperlukan wadah yang dapat mengkoordinir umat Islam khususnya. Majelis taklim merupakan pendidikan nonformal yang di dalamnya berisi kajian keislaman seperti tauhid, fikih, tasawuf, ataupun ilmu lainnya.

Internalisasi tauhid dan moderasi

Tauhid sebagi ilmu dipelajari setiap muslim dewasa yang telah menjalankan hukum agama (mukalaf) berisi dasar dan pokok sebagai landasan bangunan Islam. Dalam rukun Islam yang menjadi bagian awal seorang yang terkena beban beragama ialah memahami dengan benar makan dua kalimat syahadat. Dua kalimat syahadat, yakni penyaksian seorang hamba atas keberadaan Allah Yang Esa dan Nabi Muhammad Saw sebagai utusan pembawa risalah Islam. Penyaksian seorang hamba bukanlah hasil dari ucapan seorang ulama yang kemudian diikuti tanpa pemahaman, bukti alias taklid, melainkan dari proses nalar kritis atas keesaan Allah dengan disertai dalil pembuktian berupa argumen yang kuat.

Dalam hal ini, seorang muslim harus memaksimalkan nalar logisnya dalam mempelajari dan memahami tauhid. Penyaksian atas Muhammad Saw sebagai rasul yang menerima tugas menyampaikan risalah Islam, baik berupa keimanan, keislaman, dan keihsanan dengan mengunakan nalar logis yang dipandu dalam bimbingan Al-Qur’an.

Seorang muslim yang telah memahami tauhid Islam dengan benar, akan menemukan bahwa kebenaran yang mutlak hanya miliki Allah. Melahirkan juga sikap Islam yang rahmatan lil alamiin dengan kesadaran penuh dan logis. Dari hal ini, para pendakwah yang menyebarkan Islam dengan membawa sekaligus mengenalkan wajah Islam yang dibawa Nabi dengan penuh kedamaian dan menjadi solusi bagi setiap perkara. Kebijaksanaan dalam pemahaman terkait tauhid lazimnya dikenal dengan moderasi Islam.

Moderasi Islam merupakan suatu paradigma yang berupaya berada di antara dua pandangan atau sikap yang berlawanan, sehingga tidak terpengaruh oleh salah satunya dan berlebihan pada salah satu di antaranya. Moderasi berarti memberikan sesuatu sesuai dengan kebutuhannya. Dalam pengertian yang sederhana, moderasi yakni sikap atau paradigma yang mengambil jalan tengah.

Dalam Al-Qur’an disebutkan moderasi sebagai karakter dari Islam untuk bersikap moderat, sehingga segala persoalan tidak semakin kacau, akan tetapi makin jelas titik tengahnya yang solutif. Selain itu, Islam mengajarkan umatnya untuk memahami karakter Islam yang bersifat menyeluruh dan dinamis. Maksudnya meskipun dalam perkembangan zaman terdapat berbagai persoalan yang baru dan semakin maju, Islam tidak menghindarinya, melainkan bertahan dan menjawab persoalan-persoalan.

Pemahaman terkait esensi Islam tidak bisa dilepas dengan eksistensi dua kalimat syahadat. Pemahaman dua kalimat Syahadat merupakan salah satu cara untuk mengetahui dan memahami karakter Islam. Sehingga, dari pemahaman tersebut akan lahir generasi baru yang memahami Islam secara mendalam, tidak kaku melainkan dinamis dengan keramahan dan kesantunan ajarannya. Dari pemahaman tauhid yang demikian dapat berkontribusi terhadap sikap individu dan menampilkan wajah Islam santun, humanis, ramah, dan damai.


Category : kolom

SHARE THIS POST


ABOUT THE AUTHOR

M. Khusnun Niam

Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta