Cinta dan Derita Manusia

slider
17 September 2020
|
1376

Judul: Perempuan Bersepatu Kulit Ikan | Penulis: Astuti Parengkuh, dkk | Penerbit : Buletin Sastra Pawon, 2019 | Tebal: 124 halaman | ISBN: 978-6237-258-193

Dalam perjalanan hidupnya, manusia sering mendapati relasi cinta dan derita yang saling berkelindan. Keduanya kadang hadir hampir secara bersamaan. Tetapi kadang juga yang satu bisa menjadi sebab munculnya yang lain. Empedocles, filosof generasi awal Yunani yang dikutip oleh Fahruddin Faiz dalam bukunya bertajuk Dunia Cinta Filosofis Kahlil Gibran (2019), pernah memberi wejangan bahwa dunia dan seisinya merupakan proses silih berganti antara cinta dan derita. Saat cinta mendominasi, maka unsur-unsur yang melahirkan ragam derita seperti konflik, pertikaian, nestapa, dan kekacauan akan lenyap. Begitupun sebaliknya. Empedocles menyebut itu dengan konsep Idea of Cycles.

Ihwal cinta dan derita ini sedikit banyak juga menjadi bahan dasar dan tambahan dalam menyusun cerita fiktif. Salah satu prototipenya bisa didapati di kumpulan cerpen bertajuk Perempuan Bersepatu Kulit Ikan. Kumpulan cerpen ini ditulis secara keroyokan dengan melibatkan nama-nama yang mungkin jarang bersua langsung, tetapi pemikirannya saling terhubung.

Buku kumpulan cerpen setebal 124 halaman ini sekilas seperti ingin menerjemahkan cinta dan derita dalam cerita yang sederhana. Bahasanya tidak muluk-muluk. Pun begitu alur yang dibuat juga tidak membingungkan penikmat cerpen, sekalipun masih awam. Meski setiap penulisnya memiliki gaya cerita berbeda, namun hal ini masih bisa dimafhumi. Sebab mengingat setiap penulis memiliki latar belakang luka, pengalaman asmara, daya baca literatur, dan kecenderungannya yang tidak sama.

Cerpen Lay yang ditulis oleh Astuti Perngkuh misalnya. Cerpen pembuka yang berkutat soal mitos masa lalu dengan balutan konflik pembangunan ini relevan dengan konteks hari ini. Pembangunan dengan dalih kemajuan meminta tumbal sejumlah makam dan sekian tempat keramat untuk dipindahkan.

Tarik ulur antara warga desa dengan perusahaan Layla berjalan cukup alot dalam cerita. Sebab tanah kuburan yang akan dibangun gedung menjulang itu merupakan tempat peristirahatan terakhir nenek moyang pendiri desa. Di sisi lain, mitos soal bala yang menimpa orang di cerpen itu dengan laku sembarangan di makam keramat masih keras bersuara. Meski mencapai kata sepakat, makam dipindah, dan di atasnya dibangun gedung olahraga, namun putri semata wayangnya harus dikorbankan masuk rumah sakit.

Cerpen dengan alur serupa dapat dijumpai pada Merengkuh Bibir karangan Izzat Abidi. Upaya Wak Lemah dan Heru agar suraunya tidak digusur karena tanahnya akan dialihfungsikan menjadi tempat pembangkit listrik harus berakhir tragis. Padahal, surau tersebut sudah menjadi pusat untuk menunaikan ibadah dan rutinitas sosial warga setempat sejak masa silam. Akhirnya keduanya berinisiatif melakukan mediasi ke kantor pemerintah dengan harap bisa dibatalkan atau setidaknya suraunya tidak digusur. Alih-alih disilakan berpendapat, keduanya malah tidak pernah dijumpai lagi sepulang dari kantor pemerintahan.

Membaca cerita itu, pikiran kita melesat pada sejarah kelam bangsa ini. Tahun-tahun yang tidak bersahabat bagi sejumlah aktivis, pejuang hak asasi manusia, dan masyarakat sadar kebebasan. Sebut saja Wiji Thukul, Munir, Marsinah, dan ratusan bahkan ribuan aktivis yang dihilangkan dan kasusnya sampai hari ini entah bagaimana kelanjutannya. Mereka dituduh pengganggu oleh pemerintah, karena berani menyuarakan kritik dan pendapat yang berseberangan.

Selain dua cerita di atas, masih ada cerpen berjudul 13 Tamu Sang Jenderal Tua milik Yudhi Heriwibowo dan Opera untuk Nenek yang ditulis Yunanto Sutyastomo. Secara garis besar, kedua cerpen ini memberi terang pada derita yang dialami oleh manusia karena melawan musuh besar yang tidak bisa dimenangkan hanya dengan beradu jotos apalagi duduk diam.

Berbeda dengan cerpen Qadar untuk Nawra karya Liswindio Apendicaesar. Derita yang diusung ialah polemik dua manusia dengan kapasitas dan kelayakan setara. Karena sama-sama merasa berhak, keduanya pun bersiteru berebut kekuasaan. Dan bisa ditebak, rakyatnya menjadi korban yang tidak diuntungkan. Hampir mirip-mirip dengan gelaran pilkada atau pemilu yang berlangsung di negeri ini.

Berbeda dengan kelima cerpen di atas, cerpen dengan tajuk Pertemuan Kembali Perempuan dengan Mantan Kekasihnya karya Thea Arnaiz Le ini menyoal cinta yang keterlaluan. Cinta mendalam di masa silam, disudahi, kemudian bertemu kembali dengan kondisi yang tidak ada celah untuk bersatu memang terasa pilu. Alih-alih menyemai rindu, yang terjadi malah ajang balas dendam, karena luka yang diterima tidak sepadan dengan pengorbanan dan perjuangan cintanya.

Cerpen ini boleh dituduh sebagai representasi cinta tipe transaksi. “Saya berkorban seperti ini, harusnya memanen itu. Saya berbuat apa terhadapmu, kamu sebaiknya juga memberiku apresiasi dengan tidak mengecewakanku”. Cerpen dengan alur serupa juga dijumpai pada Kali Larung milik Impian Nopitasari. Cerpen ini bercerita tentang tempat yang diperuntukkan untuk membuang segala hal-hal sedih, duka nestapa, dan perbuatan salah manusia.

Sedangkan cerpen Perempuan Bersepatu Kulit Ikan karya Puitri Hati Ningsih yang sekaligus menjadi judul buku ini juga berbicara cinta tetapi dengan arah, rasa, dan corak yang berbeda dengan kedua cerpen di atas. Di cerpen ini, cinta menjelma semacam imajinasi yang berlebihan. Dalam taraf sederhana bisa diterjemahkan dalam laku memilih pakaian, mencari makanan, menentukan warna favorit, dan seterusnya didasarkan atas kecenderungan pada kesukaan orang yang dicintainya. Ia lebih khawatir pada penilaian pasangannya ketimbang kenyamanannya sendiri.

Adapun dua cerpen lainnya, Pamit milik Indah Darmastuti dan Jamus dan Sinikara milik Yessita Dewi malah boleh dicap sebagai cinta sejati. Sebab hanya dua cerpen ini yang mengamini bahwa cinta memang harus hidup bersama, meski maut berbeda tempo dalam menjemputnya. Tetapi itu tidak menjadi persoalan ketika keduanya memiliki banyak persamaan. Seorang suami yang menemani istrinya menari sebelum ajal menjemput atau sepasang sejoli yang suka berkanibal, keduanya sama-sama bersuka ria menerima cinta.

Terakhir, buku kumpulan cerpen ini tidak harus dibaca saat dalam keadaan dimabuk cinta atau dirundung duka. Sebab derita dan cinta dalam hidup manusia, datang dengan waktu yang tidak dipastikan. Buku ini hanya cerita kecil soal keduanya. Selebihnya, kita menjadi pemeran utama cinta atau malah menjadi korban derita di kehidupan nyata.


Category : resensi

SHARE THIS POST


ABOUT THE AUTHOR

Ahmad Sugeng Riady

Masyarakat biasa merangkap menjadi marbot di Masjid Jendral Sudirman Yogyakarta