Cheng Beng, Buku dan Laut
28 Juli 2018
|
1410
Suatu waktu bertemu dengan seseorang. Seluruh rambutnya nampak tak ada yang hitam, semua putih yang menandakan umur. Perawakannya tinggi dan masih bergerak gesit. Penglihatan dan pendengarannya masih jelas. Raut wajahnya seperti sudah terbentuk lama dengan kontruksi yang selalu senyum gembira. Senyum tawa yang ditunjukkan selama perbincangan. Sambil berdiri tanpa menyender ke dinding, kami berbincang. Baginya, napas dan membuka mata tiap bangun pagi adalah bonus tambahan umur. Umur yang semakin senja membuat beliau semakin berefleksi tentang apapun yang telah dilalui. Setiap permasalahan seperti sudah biasa untuk ditertawakan. Namun entah mengapa, tiba-tiba beliau bercerita tentang kematian dan seketika itu suasana sedikit berubah. Beliau bercerita tentang beberapa waktu yang lalu selalu didatangi oleh kedua orangtuanya yang sudah meninggal melalui mimpi. Entah apakah itu seperti pertanda kerinduan yang begitu kuat kepada orangtuanya atau orangtuanya yang juga merindukannya untuk kembali bersama di dunia yang tentunya berbeda. Bagi beliau, mimpi itu seperti isyarat untuk bersiap diri untuk menyiapkan jalan pulang. Takdir buku dan Cheng Beng Beliau bercerita tentang kecintaan orangtuanya pada buku. Ketika orangtuanya meninggal, buku-buku kecintaannya itupun masuk peti dalam kubur. Buku-buku itu sangat banyak. Takdir buku-buku itupun ikut menemani orangtuanya. Ketika mendengar itu, saya sempat menyanyangkan dan kenapa tidak diwariskan agar bisa dibaca oleh banyak orang. Namun, kembali lagi bahwa buku pun memiliki takdirnya masing-masing. Orangtuanya pasti bahagia ditemani buku-buku selama hidup dan meninggalnya, di dunia dan di alam sana. Begitu juga buku-buku itu tetap setia bersama mengurai kembali dalam tanah. Setiap buku memiliki takdirnya masing-masing. Seberapa kuat menginginkannya kalau memang belum sebagai pembaca yang tepat, buku itu bisa tidak hadir atau beralih ke yang lain. Begitu juga buku yang sudah dimiliki bisa begitu saja hilang tanpa jejak atau berpindah kepemilikan. Begitulah, setiap buku memiliki kaki dan mencari pembacanya sendiri. Setiap buku memiliki takdirnya masing-masing. Saya percaya itu. Ada satu yang membuat beliau khawatir yaitu tanggungjawabnya untuk mengurus pusara atau makam kedua orangtuanya. Beliau tak pernah lupa untuk melakukan Cheng Beng (ziarah kubur) sekaligus membersihkan makan. Lalu bagaimana kalau beliau meninggal? Siapa yang akan mengurus makam orang tuanya dan makam beliau nanti? Pertanyaan itu yang membuatnya khawatir. Mengenal jiwa melalui Bun Pwee Beliau terpikirkan untuk mengkremasi orangtuanya. Namun sebelum itu ada yang perlu dilakukannya yaitu menanyakan kepada leluhur dan para dewa dengan medium yang bernama Bun Pwee. Bun Pwee berbentuk dua potongan kayu yang masing-masing merupa seperti biji mangga. Bun Pwee biasanya terdapat di klenteng, tepatnya di atas meja altar leluhur dan dewa. Ritual Bun Pwee dilakukan ketika mengalami keraguan akan suatu pilihan. Jawaban persetujuan adalah ketika satu kayu telungkup dan satu kayunya terbuka. Ketika kedua-duanya telungkup atau terbuka semuanya, maka itu tandanya ditolak oleh dewa. Ada kesempatan tiga kali untuk melemparkan Bun Pwee di atas meja altar untuk melihat jawaban dewa. Kata seorang teman Tionghoa beberapa tahun yang lalu mengatakan kalau Bun Pwee bisa dijelaskan secara rasional. Bun Pwee itu seperti memadukan intuisi dengan meditasi. Suara jiwa biasanya akan tahu mana yang baik dan benar dan itulah energi yang sebenarnya menggerakkan Bun Pwee. Bun Pwee seperti medium untuk menengok ke dalam diri yang tersembunyi. Cara untuk berdialog dan mengenal diri sendiri. Bukankah kita sering berdialog dengan orang lain tetapi lupa untuk berdialog pada diri sendiri? Memaafkan orang lain tetapi lupa memaafkan diri sendiri? Mengenal orang lain tapi tidak mengenali diri sendiri? Laut yang menenangkan jiwa Setelah melalui Bun Pwee, beliau akhirnya mendapatkan keteguhan untuk mengkremasi orangtuanya termasuk didalamnya yang berisi buku-buku. Akhirnya abu dari kremasi itu dilarung ke laut yang tak jauh dari rumahnya. Kalau tidak dikremasi, beliau khawatir setelahnya nanti tidak ada yang melakukan Cheng Beng (ziarah kubur) ke makam orangtuanya. Tidak ada yang membersihkan makam, tidak terawat dan rawan akan diinjak-injak atau dirusak. Kalau dilarung ke laut, abu itu akan dipeluk dan dirawat oleh kedalaman laut. Tidak takut lagi bakal diinjak atau dirusak. Melarung abu jenazah ke laut baginya lebih menenangkan. Ketika pada akhirnya beliau nanti meninggal, satu pesan terakhirnya yaitu izinkan jenazahnya dikremasi dan dilarung ke laut.
Category : kolom
SHARE THIS POST