Bulan Rajab dan Keutamaannya: Belajar dari Syekh Abdul Qadir Al-Jilani

slider
06 Januari 2025
|
940

Bulan Rajab merupakan salah satu bulan suci dalam Islam. Dalam sebuah riwayat, dikatakan bulan Rajab merupakan salah satu dari bulan haram selain Dzulqa’dah, Dzulhijah, dan Muharram yang di dalamnya Allah mengharamkan umat muslim untuk berperang. Alhamdulllah, sekarang kita telah dipertemukan kembali dengan bulan Rajab. Umumnya, kita mengetahui bahwa di bulan Rajab terdapat beberapa amalan sunnah seperti berpuasa, shalat, dan lain sebagainya dari para ustadz dan kyai untuk melaksanakan amalan tersebut. Mengapa bulan Rajab istimewa sehingga di dalamnya terdapat amalan yang disunnahkan?

Mari kita memahami keistimewaan bulan Rajab melalui uraian Syekh Abdul Qadir al-Jilani. Syekh Abdul Qadir merupakan sufi besar yang di setiap tawasul saat tahlilan, ziarah, dan lain sebagainya selalu disebutkan namanya untuk dikirimi surah Al-Fatihah. Posisi Syekh Abdul Qadir turut dikenal sebagai “Sultanul Auliya” yang artinya adalah “Rajanya Para Wali.

Maksud dari Adanya Bulan Rajab

Dalam menguraikan keistimewaan bulan Rajab, Syekh Abdul Qadir menjelaskan terlebih dahulu arti kata dari Rajab yang tersusun dari tiga huruf: “Ra-Jim-Ba”. Syekh Abdul Qadir menjelaskan, kata “Rajab” berasal dari “at-tarjib”, sebuah kata untuk menggambarkan bentuk penghromatan/pengagungan terhadap sesuatu dalam istilah Arab.[1]

Tiga huruf pembentuk kata Rajab memiliki makna yang dalam bagi Syekh Abdul Qadir. Syekh Abdul Qadir menjelaskan, huruf “Ra” bermakna “kasih sayang Allah” (rahmatullah), huruf “Jim” bermakna “kemurahan Allah” (juudullah), dan huruf “Ba’” bermakna “kebaikan Allah” (birrullah). Makna-makna huruf yang membentuk kata “Rajab” tersebut menunjukkan bahwa Allah memberikan tiga perkara kepada hamba-Nya, yaitu kasih sayang tanpa azab, kemurahan tanpa kikir, dan kebaikan tanpa pengabaian.[2]

Syekh Abdul Qadir melanjutkan, Rajab adalah bulan pertaubatan, penghormatan, ibadah, dan pelipatgandaan segala kebaikan oleh Allah. Rajab juga merupakan bulan orang-orang yang utama (as-sabiquun) serta bulan yang dapat mengantarkan setiap muslim agar mencapai kesempuranaan hingga dua bulan selanjutnya, yaitu Syakban dan Ramadhan nanti. Di bulan inilah segala amal kebaikan ditanam (yuzra’), di bulan Syakban amal tersebut akan tumbuh dan berbuah (yanbut wa yatsmur), dan di bulan Ramadhan akan dipanen (yuhshad).[3]

Beberapa Ibadah yang dianjurkan di Bulan Rajab

Syekh Abdul Qadir menjelaskan, pada bulan Rajab, banyak amalan sunnah yang memiliki berbagai keutamaan bagi yang menjalankannya. Pertama, di bulan Rajab ada beberapa shalat sunnah yang apabila dilakukan oleh seseorang, Allah akan mengaruniai balasan yang istimewa, yaitu diampuni dosanya dan dicatat sebagai hamba yang berpuasa penuh di bulan Rajab. Dalam shalat sunnah pada bulan Rajab, bacaan yang dianjurkan setiap pada setiap rakaat selepas surah Al-Fatihah adalah surah Al-Ikhlas sebanyak tiga kali dan surah Al-Kafirun sebanyak tiga kali juga.[4]

Kedua, di bulan Rajab juga disunnahkan untuk berpuasa pada hari-hari tertentu. Barang siapa yang berpuasa pada hari Kamis minggu pertama bulan Rajab, maka segala hajatnya akan dikabulkan oleh Allah.[5] Begitu juga barang siapa yang berupasa pada hari ke duapuluh tujuh, maka akan diberi pahala oleh-Nya sebanyak beribadah selama enampuluh bulan. Mengingat pada hari tersebut jugalah peristiwa agung Isra Mikraj Nabi Muhammad berlangsung.[6]

Memaknai Lebih Dalam Makna Shalat dan Puasa

Setelah memahami uraian Syekh Abdul Qadir tentang makna dari bulan Rajab beserta amalan sunnah di dalamnya, hendaknya lebih lanjut kita juga turut memahami, apa makna dari shalat dan puasa menurut Syekh Abdul Qadir?

Syekh Abdul Qadir menjelaskan, shalat merupakan ibadah yang dijalankan dengan rukun-rukun khusus. Ada dua jenis shalat yaitu shalat syariat dan tarekat. Shalat syariat adalah shalatnya anggota tubuh seperti mengangkat tangan ketika takbir, melakukan rukuk, hingga menghadapkan wajah saat salam pada tahiyat akhir.

Sedangkan shalat tarekat adalah shalatnya hati (al-qalb) dari segala yang melalaikan fokus kepada Allah dan inilah inti dari shalat yang sebenarnya. Banyak orang tubuhnya terlihat beribadah padahal hatinya lalai terhadap-Nya. Oleh karena itu, jika hati lalai dalam berhubungan dengan Allah, maka rusaklah segala ibadah lainnya.[7]

Selanjutnya, shalat syariat ditunaikan pada waktu-waktu (muwaqqah) tertentu seperti shalat fardu misalnya yang dijalankan sebanyak lima waktu dalam sehari. Shalat syariat juga harus menghadap ke kiblat (Ka’bah) dan mengikuti imam jika berjamaah. Sedangkan shalat tarekat harus ditunaikan setiap saat, tidak terikat dengan waktu (muabbadah), tempat sujudnya adalah hati, jamaahnya adalah segala kondisi batin, dan kiblatnya adalah kesadaran akan kemahaesaan Allah.

Shalat tarekat harus terus berjalan meskipun seseorang sedang tertidur karena hati tidak demikian, hati selalu hidup. Dengan demikian, perlu untuk mengamalkan ibadah ini dengan sungguh-sungguh, menjalankan shalat syariat yang merupakan gerakan fisik disertai shalat tarekat yang merupakan fokusnya hati terhadap Allah. Inilah yang disebut shalat “yang sempurna” menurut Syekh Abdul Qadir.[8]

Adapun puasa, Syekh Abdul Qadir menjelaskan ada tiga jenisnya, yaitu puasa syariat, puasa tarekat, dan puasa hakikat. Puasa syariat merupakan ibadah puasa seperti pada umumnya, seseorang menahan diri dari makan, minum, dan bersetubuh di siang hari. Puasa syariat bersifat temporal, dimulai dari terbit fajar dan diakhiri ketika terbenamnya matahari.[9]

Puasa tarekat adalah puasa yang dilakukan seseorang dengan menahan hal-hal negatif, yaitu segala yang diharamkan, dilarang, serta potensi buruk yang terdapat dalam diri, seperti kikir, sombong, dan lain sebagainya secara zahir dan batin. Jika seseorang yang sedang menjalankan puasa tarekat gagal menahan hal-hal di atas maka batallah puasanya. Puasa tarekat sifatnya seumur hidup sampai seseorang tersebut wafat.[10]

Adapun puasa hakikat adalah jenis puasa tertinggi. Puasa ini dilakukan dengan menahan hati untuk tidak mencintai kecuali hanya Allah. Tidak ada kecondongan lain dalam diri seseorang yang menjalani puasa hakikat kecuali Allah dan ia tidak akan membutuhkan apalagi mencintai segala hal yang ada di dunia hingga akhirat kecuali Allah saja.

Jika dalam hati seseorang yang sedang menjalankan puasa hakikat terjadi perubahan orientasi dari kecintaan kepada Allah kepada selain-Nya, maka batallah puasanya. Jika batal, ia harus mengulang lagi dari awal dengan kembali melatih diri untuk berfokus kepada Allah. Balasan bagi siapa pun yang berhasil menjalankan puasa hakikat dengan sungguh-sungguh hanya satu, berjumpa Allah di akhirat kelak.[11]

Setelah memahami keutamaan bulan Rajab beserta amaliah di dalamnya seperti shalat dan puasa, begitu pula makna shalat dan puasa lebih dalam dari Syekh Abdul Qadir, sudah sepantasnya kita merenungi penjelasan beliau untuk menambah kualitas ibadah kita. Di mulai dari bulan Rajab ini, semoga kedepannya kita selalu mendapatkan kesempatan untuk terus menambah pengetahuan sekaligus mengamalkannya guna menggapai kecintaan sepenuhnya kepada Allah. Allahumma barik lana fi rajaba wa sya’bana wa balligna ramadana, amin.

Referensi:

‘Abd al-Qādir al-Jīlānī. 1997. Al-Gunyah li Ṭālibī Ṭarīq al-Haqq ‘Azzawajalla. Vol. I. Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah.

———. Sir al-Asrār. 1993. Damaskus: Dār as-Sanābil.


[1] ‘Abd al-Qādir al-Jīlānī, Al-Gunyah li Ṭālibī Ṭarīq al-Haqq ‘Azzawajalla, vol. I (Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1997), 318.

[2] ‘Abd al-Qādir al-Jīlānī, I:319.

[3] ‘Abd al-Qādir al-Jīlānī, I:326.

[4] ‘Abd al-Qādir al-Jīlānī, I:329–30.

[5] ‘Abd al-Qādir al-Jīlānī, I:331.

[6] ‘Abd al-Qādir al-Jīlānī, I:332.

[7] ‘Abd al-Qādir al-Jīlānī, Sir al-Asrār (Damaskus: Dār as-Sanābil, 1993), 104–5.

[8] ‘Abd al-Qādir al-Jīlānī, 106–7.

[9] ‘Abd al-Qādir al-Jīlānī, 112.

[10] ‘Abd al-Qādir al-Jīlānī, 112.

[11] ‘Abd al-Qādir al-Jīlānī, 113.


Category : keislaman

SHARE THIS POST


ABOUT THE AUTHOR

Muhammad Ihza Fazrian

Mahasiswa program studi Akidah dan Filsafat Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Pegiat diskusi forum Balai Sunyi. Minatnya berkutat seputar isu-isu keislaman, filsafat, dan tasawuf.