Bersekolah Adalah Berbahagia
Judul : Ibnu Miskawaih, Pendidikan Pencerdasan Spiritual (Terjemahan dari Miskawayh) | Penulis : Dr. Nadia Jamal al-Din | Penerjemah : Fatih Abdulbari | Penerbit : Penerbit Diomedia | Cetakan : I, Desember 2020 | Tebal : 102 halaman | ISBN : 978-623-7880-38-7
Sejak dulu, pertanyaan jebakan tentang tujuan menyekolahkan seorang anak telah menjadi perdebatan sepanjang zaman tak berkesudahan. Beberapa orang tua masih sering terjebak dalam tujuan dilematis antara membahagiakan seorang anak atau memintarkannya.
Artinya, ketika orang tua menyekolahkan anaknya, apa harapan mereka untuk sang anak dari pendidikannya? Berharap sang anak menjadi siswa yang pintar, meskipun batinnya menderita atau berharap sang anak menjadi siswa yang bahagia meskipun nggak pintar-pintar amat?
Di tengah badai kebingungan inilah, Dr. Nadia Jamal al-Din memberikan sebuah pencerahan lewat karyanya tentang pemikiran Ibnu Miskawaih dalam melaksanakan pendidikan berbasis pencerdasan spiritual.
Tulisan Dr. Nadia Jamal al-Din yang berjudul Miskawayh ini sejatinya telah diterbitkan kali pertama oleh Jurnal Prospects Vol. 24 No. 1/2 pada 1994, yang diterbitkan ulang oleh Biro Pendidikan Internasional UNESCO pada 2001. Upaya UNESCO untuk menerbitkan ulang tulisan Dr. Nadia Jamal al-Din tentang gagasan Ibnu Miskawaih, mengisyaratkan urgensi pandangan Ibnu Miskawaih untuk pendidikan anak-anak di seluruh dunia.
Sistem pendidikan sekolah di seluruh dunia diharapkan mau mempertimbangkan usulan Ibnu Miskawaih yang lebih menekankan pemerolehan kebahagiaan daripada pencapaian kepintaran. Oleh sebab itu, kiranya hal ini yang membuat penerbit Diomedia memutuskan untuk menerjemahkan tulisan Dr. Nadia Jamal al-Din pada Desember 2020.
Pemikiran Ibnu Miskawaih tentang Pendidikan
Ibnu Miskawaih adalah seorang filsuf muslim yang memiliki nama asli Abu ‘Ali Ahmad bin Muhammad bin Ya’qub Miskawaih. Ia dilahirkan pada abad ke-4 Hijriah atau abad ke-10 dalam hitungan Masehi di Rayy, Persia.
Miskawaih bekerja sebagai seorang pustakawan untuk beberapa perpustakaan dan dari beberapa wazir Dinasti Buwaihi selama pemerintahan Abbasiyah (hlm. 2). Sebab pekerjaan sebagai seorang pustakawan inilah yang membantu keluasan wawasannya tentang pendidikan sekaligus tentang filsafat-filsafat Yunani.
Miskawaih mendasari pemikirannya dengan tidak membatasi semua hal hanya berdasarkan kitab suci, tetapi juga memanfaatkan kuasa pemikiran manusia untuk melakukan pengamatan yang cermat sekaligus tetap memegang teguh nilai-nilai religiositas. Oleh sebab itu, Miskawaih tetap memberikan ruang bagi rasio dan wahyu (hlm. xiv).
Bagi Miskawaih, tujuan utama pendidikan anak adalah untuk kebahagiaan, kesejahteraan batin, dan kecerdasan spiritual (hlm. xvi). Sepintar apa pun seseorang, tetapi jika tidak berbanding lurus dengan kesejahteraan rohaninya, maka bagi Miskawaih, ia telah gagal dalam menjalani pendidikan. Bahkan dengan tegas Miskawaih mengungkapkan tujuan pelatihan (pendidikan) bagi anak-anak secara keseluruhan adalah mencapai kebahagiaan tertinggi (hlm. 19).
Di dalam filsafat tidak ada surga, neraka, pahala, maupun dosa, sebab filsafat bukan agama. Filsafat adalah cara hidup berbahagia. Oleh sebab itu, Miskawaih tak henti-hentinya mengulang-dengan pengertian yang sama, meskipun dengan redaksi yang berbeda-tentang kebahagiaan tidak diperoleh dari pengetahuan tentang kebajikan, tetapi dari tindakan yang sesuai dengannya.
Satu di antara anjuran dari Miskawaih ketika mendidik anak adalah memastikan bahwa anak memiliki waktu untuk bermain (hlm. 59). Pemahaman yang perlu diluruskan menurut Miskawaih adalah pandangan tentang seorang anak lebih baik tak usah bermain karena akan mengganggu konsentrasi belajar.
Padahal bermain membuat anak lebih rileks dari kelelahan serta kebosanan belajar. Hal ini telah dibuktikan Finlandia yang memperoleh nilai tertinggi dalam Programme for International Student Assesment pada Desember 2001 dengan model pembelajaran memperbanyak jam istirahat agar anak-anak belajar dengan kondisi hati yang riang.
Dunia anak adalah bermain sehingga melarang atau membatasi mereka dari permainan sama saja dengan merampas hak mereka.
Selain memastikan anak-anak memiliki waktu untuk bermain, Miskawaih juga mengusulkan tahapan pembelajaran untuk anak-anak (hlm. 69). Tahap pertama sekaligus yang paling mendasar adalah menanamkan aturan syariat agar sang anak terbiasa menjalankan kewajiban sejak belajar memaknai dunia dan seisinya.
Setelah terbiasa menjalankan kewajiban, dilanjutkan dengan mempelajari buku-buku atau pengetahuan tentang etika hingga sang anak dapat bertindak dan bersikap sesuai dengan norma yang berlaku dalam masyarakat. Sikap dan tindakan tersebut diharapkan telah tertanam di dalam jiwa sang anak.
Barulah selanjutnya sang anak mulai mempelajari aritmetika dan geometri agar terbiasa berbicara berdasarkan penyajian yang sesuai dengan fakta.
Lebih-Kurang di Fisik Buku
Buku ini dapat dikategorikan sebagai buku yang enjoyable karena dapat dibawa ke mana-mana dengan mudah. Dimensi ukuran buku yang sebesar 11x17 cm serta ‘hanya’ berjumlah 102 halaman, membuat buku ini terasa nyaman dan ringan untuk dinikmati dalam segala kondisi.
Pembaca juga tak perlu khawatir ihwal kesan membosankan dalam menikmati karya nonfiksi, karena buku ini dicetak dengan struktur paragraf yang tidak terlalu rapat, serta desain tiap halaman yang tidak monoton. Tidak sekadar halaman yang diisi kata-kata, tetapi juga dihiasi dengan tambahan gambar yang menarik.
Sementara kekurangan dari buku ini adalah ketaksesuaian penggunaan kata depan di dalam beberapa kata. Sebut saja seperti [dimana] yang seharusnya [di mana] pada halaman 3, 11, 20, dan 33. Juga kesalahan ketik pada bagian kalimat [munculs ecara] yang seharusnya [muncul secara] pada halaman 45.
Kekurangan ini sejatinya menyadarkan manusia bahwa setiap manusia membutuhkan kekeliruan agar tidak berhenti belajar dan senantiasa terbuka terhadap kritikan.
Category : resensi
SHARE THIS POST