Berliterasi, Berbahasa, Berbudaya
Dahulu saya sempat beranggapan, bahwa menulis adalah suatu paksaan. Bukan hanya tidak suka, tapi membencinya. Menulis sinonim dengan buang-buang umur. Alih-alih mendapat pengetahuan baru sebagaimana membaca, menulis justru menyita waktu dan mengulangi apa yang sudah kita tahu. Setidaknya itu sederet pikiran yang cukup rasional untuk tidak bercita-cita sebagai penulis.
Padahal jika mau direnungi, kata “kalam” (berbicara) begitu mirip dengan “qalam” (pena). Ibarat nasehat tertang harmoni hidup yang baik adalah menyeimbangkan keduanya: tulisan yang dilisankan, dan lisan yang dituliskan. Padahal jika mau direnungi, manusia yang saya kagumi semisal Imam al-Ghazali dan Imam ar-Razi adalah pemegang pena yang rajin berliterasi melalui tabularasa pada masanya, hingga menghasilkan segunung kitab yang sulit dihabiskan dalam waktu singkat.
Pun jika kita mau merenungi kemerdekaan Republik Indonesia, Resolusi Jihad, Sumpah Pemuda, seluruhnya adalah ekspresi gelora dan semangat dalam bahasa dan kuatnya tradisi literasi. Itu semua adalah literatur tanpa tapi, keindahan tak terperi, semua itu debar jantung nyala api bagi kemanusian dan keindonesiaan yang mulai kehilangan orientasi. Maka menjadi penting rasanya menyoal dan memaknai bahasa, budaya dan menggali kreatifitas dalam bingkai literasi.
Lazim kita tahu bahwa perubahan dan peradaban dunia dimulai dari bahasa, dari literatur para leluhur, para ilmuwan yang memiliki ketekunan tinggi, dan menjadikan aktivitas literasi sebagai budaya. Sehingga mengabaikan kreatifitas literasi, bahasa, dan juga budaya berarti merencanakan kemunduran peradaban.
Syaikh Syarafuddin al Imrithi memberi wejangan dalam kumpulan puisi, “wan nahwu awla awwalan anyu’lama # idzil kalamu dunahu lanyufhama” (Tata bahasa lebih utama untuk dipelajari, karena teks tidak akan dipahami tanpa itu). Agama adalah kalam (literatur), masyarakat adalah literatur, negara adalah literatur, pendidikan adalah literatur, generasi milenial adalah literatur dan seterusnya.
Persoalan Berbahasa-Berbudaya
Hanya saja perlu diingat bahwa bahasa tidak independen dari fakta sosialnya. Kendati demikian ada beberapa opsi yang cukup rasional untuk menolak pernyataan tersebut. Seperti misalnya pendapat Wardhaugh, tokoh sosiolinguistik yang menyusun empat proposisi linguistik sosial, tiga di antaranya diterima dan satu lainnya ditolak.
Empat proposisi itu yakni, 1). Bahasa mempengaruhi budaya; 2). Budaya mempengaruhi bahasa; 3). Bahasa dan budaya saling mempengaruhi; dan 4). Bahasa dan budaya tidak saling mempengaruhi. Para tongkoh linguistik sosial semacam Holmes, Meyerhoff, Mesthrie dan yang tergabung dengan kelompok mereka menolak proposisi ke empat. Padahal sebelumnya, proposisi keempat ini dibangun secara mengagumkan oleh Chomsky dalam bingkai syntacticstructure atau lebih dikenal transformational grammar.
Dari keempat proposisi yang ditawarkan Wardhaugh kita bisa memilih opsi ketiga dan menyaksikan romantisme yang terjadi antara bahasa dan budaya. Literasi yang kreatif akan membawa pada tingkatan berbahasa dan berbudaya yang baik, atau sebaliknya, berbahasa dan berbudaya kreatif akan melahirkan literasi yang baik.
Bagi saya pribadi tidaklah berlebihan jika dalam beberapa literatur dikatakan bahwa, Indonesia sebagai bangsa dan negara yang lahir dari bahasa dan lantas berdaulat karena bahasa. Buktinya? Sumpah Pemuda. Sumpah Pemuda adalah satu tonggak utama dalam sejarah pergerakan kemerdekaan Indonesia. Ikrar bahasa ini sangat layak dianggap sebagai kristalisasi daya juang dan endapan gelora untuk menegaskan cita-cita berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Keputusan Kongres Pemuda yang diselenggarakan pada 27-28 Oktober 1928 di Batavia (Jakarta) ini mensyiarkan sebuah syair perihal cita-cita akan tanah air Indonesia, bangsa Indonesia, dan bahasa Indonesia. Padahal, kita tahu ‘bangsa Indonesia’ saat itu belum ada. Ia murni imajinasi di dalam Sumpah Pemuda. Bahasa Indonesia juga belum lahir, sebab linguafranca adalah bahasa Melayu, setelah bahasa Kawi dan Jawa Kuno yang mulai direduksi oleh politik kolonial.
Tetapi memang salah satu ciri bangsa beradab adalah memiliki bahasa pemersatu. Tentu saja budaya pemersatu itu yang kemudian dipancar-siarkan dengan kretifitas dan skill berliterasi dalam berbagai surat kabar sekaligus dibacakan di muka rapat perkumpulan-perkumpulan. Hal itu dicerminkan dalam media baru. Majalah-majalah terbitan kelompok pemuda Jong Java (1915), Jong Sumatranen Bond (1917), termasuk Pandji Poestaka (mulai 1930) dan Timboel (1932).
Teori Toksonomi Herbert George Wells
Untuk melihat lebih jelas dan ciamik hubungan antara literasi, bahasa dan budaya, saya ingin menambahkan dengan beberapa gagasan yang ditulis oleh Herbert George Wells yang diterbitkan oleh Jurnal Interchange tentang belajar (apprenticeship) literasi. Artikel ini memiliki banyak pengaruh, termasuk dalam lini pendidikan di Indonesia. Apa yang menarik dari gagasan G Wells adalah definisi literasi sebagai sebuah skill alias keterampilan. Dengan kata lain, keterampilan bernama literasi ini perlu dilatih dan ditekuni oleh seseorang agar ia menjadi seseorang yang literat.
Pada saat seseorang sudah menjadi literat, pada saat itulah literasi menjadi suatu watak (bahasa dan budaya) seseorang. Literasi menjadi suatu disposition. Hal lain yang patut diapresiasi dari gagasan G Wells adalah taksonominya. G Wells membagi literasi menjadi empat level:
(1). Level performatif, yakni saat seseorang bisa mengucapkan kode-kode bahasa atau menuliskan kode-kode itu ke dalam tulisan. Singkatnya, level ini serupa dengan istilah yang kita pakai: ‘melek aksara’. Orang yang tidak memiliki skill literasi di level ini biasanya kita sebut ‘buta aksara’.
(2). Level fungsional, yakni kemampuan seseorang untuk mengoperasikan bahasa dalam konteks tertentu. Sejauh tentang membaca dan menulis, orang yang berkemampuan literasi fungsional berarti punya kemampuan membaca koran, bisa menulis surat secara sopan, mampu mengikuti instruksi tekstual tentang cara menggunakan komputer, sanggup menyelesaikan formulir resmi tertentu, atau lain-lainnya.
(3). Level informasional, yaitu kemampuan menyerap ‘pengetahuan’ dari teks tertentu atau menyampaikan ‘pengetahuan’ itu melalui tuturan atau tulisan. Kata ‘pengetahuan’ perlu jelas di sini, sebab ia berbeda jauh dengan sekadar ‘informasi’ atau ‘opini’. Pengetahuan yang dimaksud di sini adalah pengetahuan berbasis disiplin ilmu tertentu. Literasi di level ini berarti kemampuan seseorang untuk mempelajari suatu ilmu pengetahuan melalui teks, entah dengan membaca ataupun dengan menulis.
(4). Level epistemik, yakni skill literasi yang melampaui sekadar mode komunikasi, sebagaimana terlihat dalam ketiga level sebelumnya. Dengan literasi epistemik, seseorang sanggup menemukan cara-cara mengubah dirinya dan mengubah masyarakat di mana ia hidup. Singkat kata, skill literasi epistemik adalah gabungan antara mode komunikasi dan cara berpikir. Sikap yang didorong oleh skill ini adalah kreativitas, eksplorasi, dan evaluasi kritis. Pada tahap ini literasi sudah menjadi semacam budaya (literat).
Dari empat level literasi di atas, kita jadi terseret pada satu ide menarik lain dari G Wells. Menurutnya, kemampuan literasi seseorang perlu didorong untuk sampai pada level tertinggi, yaitu level epistemik. The fourth level representingc the most adequate answer to the question, “What is literacy?”, katanya. Dengan kata lain, sebelum mencapai level literasi keempat, seseorang belum bisa dikatakan memiliki skill literasi yang hakiki.
Lantas …
Tapi hanya saja, zaman ini masih minim pihak yang mempromosikan literasi hingga level keempat. Sejauh ini para pengambil kebijakan di negeri kita menetapkan bahwa pembelajaran literasi di tingkat SMP sederajat diarahkan ke level fungsional, sedangkan di tingkat SMA sederajat diarahkan ke level informasional.
Meskipun juga bukan hal yang tidak mungkin jika di tingkat SMA sederajat, atau bahkan di tingkat SMP sederajat, pendidik akan menemukan anak didiknya sudah punya skill literasi level epistemik. Kendati itu hanya terjadi dalam kasus-kasus partikular semata.
Saya rasa keterampilan berliterasi, berbahasa dan berbudaya menjadi penting, terutama bagi generasi milenial. Siapa saja dapat mengembangkan imajinasi dari ketiganya sehingga memungkinkan kreatifitas sekaligus memberi nilai lebih dari sekadar membangun identitas personal atau kelompok.
Kita bisa belajar pada apa yang telah dicontohkan Joyce. Bahasa itu adalah kekuatan karena kata-kata tidak saja dapat membuat orang menjadi paham, akan tetapi juga dapat menggerakkan, memengaruhi, menggiring dan menghipnotis. Ada banyak cara dalam memanfaatkan kekuatan bahasa.
Kalau Joyce menggunakan neologi di dalam berbagai novelnya hingga membuat novelnya begitu imajinatif. Jacques Derrida dengan skill bahasanya, Pierre Bourdieu dengan kekuatan kalimatnya yang panjang.
Atau dalam hal budaya, kita juga bisa belajar pada Sunan Kalijaga dalam kejeniusannya menjadikan budaya sebagai alternatif dakwah yang efektif. Dan yang terakhir, tentu saja literasi. Selain menjadi komponen tak terpisahkan dalam menciptakan kreatifitas berbahasa dan berbudaya, literasi menjadi alutsista bagi generasi milenial di era yang konon memberi kemajuan peradaban.
Sumber Pustaka
Piliang, Amir Yasraf. 2004. Dunia Yang Dilipat: Tamasya Melampaui Batas-batas Kebudayaan. Jalasutra .
Ria Yuliati, Frida Unsiah. 2018. Pengantar Ilmu linguistik. Malang: Universitas Brawijaya Press
Wells, George Herbert. 1987. Jurnal Interchange. Apprenticeship in Literacy.
Category : kebudayaan
SHARE THIS POST