Berkibarlah!
Mendengar berkibar, seharusnya, bayanganku mengarah ke sang saka Merah Putih. Bendera yang dijahit tidak sekadar dengan benang sutra oleh tangan lembut Fatmawati, melainkan juga oleh tangan-tangan yang turut bergelayutan merelakan berdarah-darah memerahkan warna Indonesia. Merelakan, mengikhlaskan segenap jiwa raga, berjihad untuk memutihkan putihnya yang benama ‘Nuwantara’. Keikhlasan, semangat juang yang tak cukup hanya dikenang dalam pelajaran sejarah lantas diujikan sebagai standar kelulusan khas sekolah. Gelora perjuangan yang tidak cukup ditembangkan dalam upacara kemerdekan. Ya, perjuangan yang seharusnya menyatu dalam trah manusia Nusantara ini, menyatu dalam kalbu dan selalu menitis dalam setiap tetesan sperma kemudian mengukir dalam gerak langkah ovum dan menuju ke rahim.
Mendengar berkibar, seharusnya, mulutku mulai berkomat-kamit. Aliran listrik dalam benakku bergerak cepat untuk mengingat irama lagu “Berkibarlah benderaku.. Merah Putih gagah perwira... Kau tetap pujaan bangsa.” Lagu yang harus ku hafal dan nyanyikan sebelum masuk ruang kelas nol kecil, zaman TK-ku dahulu. Lagu yang membangkitkan rasa memiliki bendera sebagai tajallinya kekayaan bangsa, yang tidak sekadar diklasifikasikan menjadi sumber daya manusia dan sumber daya alam. Pasalnya, klasifikasi terakhir tersebut lebih berbau dengan pabrik, kapitalisme. Padahal, Nusantara bukanlah pabrik, orangnya pun bukan sekumpulan mesin yang mekanistik.
Kenyataannya sekarang apakah kita masih melihat kibaran sang Merah Putih? Tak perlu melihatnya “gagah perwira” berkibar di seluruh Nusantara, tetapi apakah masih ada sang Merah Putih berkibar disepanjang jalan yang kita lalui? Apakah jalan-jalan itu masih tersedia tempat untuk memancangkan bendera? Apakah masih ada lembaga-lembaga, pasar, mall, sekolahan, tempat ibadah yang di halamannya sang Merah Putih yang melambai-lambai, seindah nyanyian nyiur melambai? Tak ada, kawan! Merah Putih telah kita simpan dan kunci rapat-rapat di lemari bersama tumpukan baju dan celana dalam. Bisa jadi.
Namun yang kita saksikan sekarang, jalan-jalan itu sudah sesak oleh jejalan spanduk, baliho, dan semacamnya. Setiap sentinya sudah tidak menyediakan ruang untuk berkibarnya sang Merah Putih. Kita sendiri sudah enggan untuk itu, untuk menegakkan saka (tiang) bendera. Telah kita sewakan setiap jengkal tanah kita untuk iklan yang membujuk rayu itu. Untuk menarik uang sebanyak mungkin dari yang namanya iklan. Pinggir trotoar sudah sesak dengan tiang-tiang baliho, spanduk iklan. Itu sebabnya aku marah, semarah marahnya. Bukan lantaran tidak ada kibaran sang Merah Putih di sana, melainkan tak ada lagi ruang gerak untuk kaki ini menikmati setiap langkahnya. Aku harus turun ke jalan raya. Lagi-lagi tidak ada rasa nyaman di jalan yang dibangun dengan hasil penarikan pajak. Aku hampir di-srempet motor-mobil, bertarung dengan asap kendaraan, menghindari jeglogan, genangan air yang mirip dengan kolam mujair itu. Benar-benar wong cilik yang di-cilik-kan dan terpinggirkan. Sayang, pinggirannya pun sudah tak ada. Saya tergenjet.
Setali tiga uang, di halaman gedung-gedung penting pun tidak ada sang Merah Putih. Benar-benar kita simpan rapi bendera itu. Di halaman mall yang ada tak lain, lagi-lagi, hanya spanduk baliho iklan. Mulai iklan diskon barang-barang elektronik, makanan, dan segala macam barang yang menarik nafsu konsumeristik. Iklan menjadi nyanyaian riang di negeri ini. Belum lagi ruang-ruang yang lain, yang kita sewakan sebagai tempat parkir. Semua ruang itu yang sejujurnya ingin menyuguhkan pemandangan “Ini lho orang Indonesia” yang doyan dengan lomba kemewahan, ketidak-nrimo-an, hilir mudik memperkaya diri. Kemudian menceritakaan kekayaan di tengah-tengah arisan, memamerkan pekerjaan sang suami/istri, menceritkan dari mana perhiasan ini-itu di datangkan. Ah... persetan dengan cerita-cerita mereka.
Sekarang, ayo coba hitung, berapa masjid yang menyedikan halamannya untuk berkibarnya Merah Putih. Papan pengumumannya yang ada gambar merah putihnya. Sedikit sekali. Mungkin hanya masjid pemerintahan atau masjid yang takmirnya masih mempercayai Merah Putih bukan sekadar kain dwi warna.
Papan penguman pada masjid-masjid itu, lagi-lagi, banyak berisi iklan. Ujung-ujungnya duit. Hanya modusnya yang rapi, menyesuaikan dengan tempat suci. Mulai dari iklan tawaran privat baca kitab, sampai seminar dan training keagamaan. Parahnya, ada juga pamflet yang isinya hanya pembukaan warung makan saja, dengan pelegalan kata “Halal.” Seolah-olah kata “Halal” menjadi juru kunci untuk membuka mind set umat Islam.
Padahal, tempat-tempat ibadah pun dapat menjadi yang paling depan untuk gerakan penyadaran kebangsaan, yang menjadi inspirasi bagi segenap pengunjungnya untuk mencintai negaranya. Apakah mengibarkan bendera di halaman tempat ibadah perbuatan yang dilarang? Yang menjurus ke-bid’ah-an? Masuk pada kekafiran? Lebih bid’ah mana dengan mereka yang menjual agama lewat beragam selebaran pamflet islami itu? Bukankah mencintai negara, membela bangsa ini, merupakan sebagain bukti iman kita?
Ya, Merah Putih berkibar hanya waktu upacara bendera hari Senin. Itupun kalau pihak sekolahan menganjurkan upacara bendera. Pasalnya ada juga yang tidak melaksanakan upacara bendera. Entahlah, apakah upacara hanya rutinitas yang tak bermanfaat sekali. Lebih bermanfaat jika para siswanya diajari falsafah ‘A’, mendengarkan ketokohan ‘B’, menyanyikan lagu mars partai ‘Z’, dan teserusnya masih banyak lagi. Jadi jangan salah, bila terjadi kemerosotan nasionalisme karena dunia pendidikan: wegah mengajarkan falsafah, nilai-nilai luhur bangsa Indonesia. Dunia pendidikan lebih suka melirik falsafah impor, cerita heroik pahlawan luar negeri.
Selain tersebab hari Senin upacara bendera, kibaran Merah Putih hanya dapat kita nikmati menjelang hari kemerdekaan. Atas instruksi Pak RT, kita ramai-ramai mengeluarkan bendera dan memasangnya. Tapi habis bulan Agustus, bendera itu kembali ngendon di lemari bersama-sama dengan tumpukan baju dan celana dalam lagi. Dan terngianglah nyanyian: “Berkibarlah spandukku... Gagah dengan isi dan diskonnya. Di tepi jalan, halaman sana masih luas untuk kita sewakan”. Dan sang Merah Putih pun berkata, “Apakah kamu masih sedia serentak membela jika aku diturunkan?”
Dirgahayu Republik Indonesia.
Category : kolom
SHARE THIS POST