Berislam dengan Santai

slider
31 Oktober 2019
|
1379

Sebagai penjaga tempat cuci mobil, seringkali saya berhadapkan dengan orang-orang baru dan tidak tahu asal-usulnya. Penuh kejutan. Pernah beberapa kali diajak mengobrol seseorang dengan pakaian necis, cerita ke sana ke mari, hingga akhirnya ia menceritakan kebusukan salah satu pejabat top di kota ini. Saya tak perlu ambil pusing apakah cerita itu benar atau tidak. Tugas saya adalah menjadi penjaga yang ramah dan sopan serta merespon baik dalam setiap berinteraksi dengan pelanggan. Setidaknya itulah SOP yang diajarkan saat training.

Saya kebetulan berjenggot. Ya, berjenggot. Saya harus mengatakan demikian karena inilah awal mula pemantik percakapan yang hendak saya ceritakan ini.

“Muslim, kan, mas?” Antara terkejut dan tidak. Tidak, karena menurut pengamatan bahwa masyarakat bangsa kita hari-hari ini sedang hobi menanyakan soal agama orang lain apa. Terkejut, dikarenakan tidak menyangka saya akan mendapati pertanyaan semacam itu. Dengan sedikit tidak siap lantaran pertanyaan semacam itu, dengan cukup menganggukkan kepala sembari senyum saya menjawabnya. Setelah mendapati jawaban, bapak pelanggan yang bertanya tersenyum sembari menggerakkan tangannya ke bawah dagu seolah ia membelai jenggotnya, padahal dagunya mulus-mulus saja dari bulu.

Taksiran saya, bapak pelanggan melakukan itu guna mengkonfirmasi pendapat yang ia anut adalah benar, bahwa setiap orang Indonesia yang berjenggot pastilah seorang muslim. Duh, sungguh asumsi yang tidak penting-penting amat bagi saya. Awalnya saya menaruh curiga, apakah akan ada serangan cepat atau jurus lain yang mengharuskan saya menjawab dengan hati-hati? Bukan apa-apa, takut salah saja. Soalnya saya sudah diasosiakan dan sebagai wujud representasi seorang muslim saat percakapan ini terjadi. Beban berat tentu saja.

Obrolan berlanjut dengan pertanyaan dasar seperti nama, pendidikan terakhir, dan alamat rumah. Singkat cerita, ternyata bapak pelanggan yang bertanya itu tadi adalah non-muslim. Tidak sesuai dugaan ternyata. Ya, memang, sejak awal saya tidak pernah menduga-duga orang si A agamanya apa dan Tuhan yang ia sembah. Ranah privat yang sebaiknya kita tidak perlu ikut campur. Apalagi orang yang baru kita kenal.

Cucian mobil cukup sepi, hanya ada saya dan bapak tadi. Awalnya bapak ini hanya menanyakan oli apa yang cocok untuk mobilnya. Namun, arah pembicaraan menjurus ke hal-hal yang berbau agama dan sudut pandang yang dirasakan oleh non-muslim dari media sosial serta kejadian akhir-akhir ini di Indonesia ke umat Islam.

Saya ringkaskan beberapa pertanyaan bapak tadi tentang Islam, apa yang ia pahami, kemudian ia konfirmasi dan apa yang ia dapat dari hiruk pikuk informasi yang diperoleh dari internet. Beberapa saya jawab dengan hati-hati, lebih banyak tidak terjawab dengan baik karena harus saya konfirmasi ke guru saya terlebih dahulu. Maksud tulisan ini tidak lebih agar semoga bapak pelanggan itu membaca tulisan ini dan mendapatkan jawaban dengan sudut pandang lebih baik serta jernih.

Menurut si bapak pelanggan—sedapat dari informasi yang berserakan dan seringkali ditemui di internet—wajah Islam kenapa begitu kaku dan cenderung konservatif? Apakah itu Islam yang sesungguhnya? Yang terlihat adalah ibadah terus, apa-apa soal halal haram, tidak fleksibel, tidak open minded, dan sulitnya menemukan tokoh-tokoh Islam yang terbuka dalam menyikapi suatu hal. Dan lebih banyak ditemui ahli-ahli Islam yang konservatif.

Saya tidak menjawab banyak, hanya bahwa Islam yang saya pahami adalah Islam yang menjadikan segala lini kehidupan ini ibadah. Dalam bentuk apa pun, seperti bekerja, bahkan tidur pun dinilai ibadah terutama saat berpuasa.

Namun masalahnya saat ini adalah ada kecenderungan bahwa ibadah itu ya hanya salat, puasa, zakat, dan haji. Padahal ibadah mu'amalah, berhubungan baik dengan sesama manusia dan alam juga sangatlah penting. Dalam salah satu hadis qudsi, Nabi Musa awalnya menyangka bahwa semua ibadahnya termasuk salat dll itu diperuntukkan untuk Allah. Dengan tegas Allah mengatakan ibadah tersebut untukmu bukan untuk Allah. Lalu, Nabi Musa menanyakan ibadah apa yang benar-benar diperuntukkan untuk Allah? Yaitu memasukkan rasa senang, bahagia di hati orang lain.

Kenapa saat seorang muslim melakukan dosa kepada Allah, dia dicukupkan untuk melakukan taubat, persoalan akan ‘selesai’? Sedangkan jika kita memiliki persoalan serta masalah dengan orang lain, untuk menebusnya tidak hanya cukup untuk minta maaf kepada Allah, tapi juga harus meminta maaf kepada yang bersangkutan? Ini menjadikan kita harus selalu baik terhadap sesama. Sebagaimana yang dikatakan Sayyidina Ali bin Abi Thalib, “jikalau orang tersebut bukan termasuk saudaramu dalam agama, maka ia adalah saudaramu dalam kemanusiaan.”

Banyak orang salah paham, dan cenderung mengabaikan, bahwa dalam Al-Quran persentase ayat yang membahas hukum tidak lebih dari 10% saja. Selebihnya berkaitan dengan akhlak, yaitu hubungan sesama manusia dan rahmat, yaitu menebar cinta serta kebaikan di bumi. Dan hukum-hukum dalam Islam selalu berbasis pada nilai-nilai kebaikan sesama manusia. Contohnya dalam salat, sekalipun rajin salat tapi korupsi, jahat dengan tetangga serta melakukan perbuatan keji dan mungkar, maka salatnya tidaklah dianggap. Pun dengan sedekah, saat membantu orang lain muncul perasaan ingin dilihat, riya, merasa lebih dari yang diberi, secara otomatis pahalanya pun akan hangus.

“Informasi sebaik ini, kenapa luput dari akses media-media mainstream”, kata si bapak. “Kenapa Islam yang sampai pada kita-kita ini lebih cenderung kerasnya saja yang terlihat?”, imbuhnya.

Menyerukan kebaikan dengan cara yang baik pula

Pemahaman tentang hukum Islam—hitam putih—kini dominan tersaji dalam kajian-kajian kekinian maupun di layar televisi. Durasi waktu yang terbatas bisa jadi pemahasan malah tidak jadi tuntas. Walhasil, pemahaman hanya sejengkal, kemudian karena itu keburu menjadi garang dan galak kepada orang-orang yang melanggar hukum secara ibadah ritual, tetapi longgar terhadap hukum yang berdasarkan pada kepentingan sosial sesama manusia. Bila didapati dalam tatanan sosial masyarakat, ada di antara mereka yang melakukan hubungan di luar nikah, minum-minuman keras, dengan gampangnya resah dan marah. Akan tetapi saat ada ketua partai berlabel Islam korupsi, dana haji disalahgunakan dan sebagainya, meresponnya tidak akan seheboh menghadapi orang maksiat tadi. Padahal dosanya korupsi berlipat-lipat lebih besar.

Saya teringat saat kejadian konser musik di pesisir pantai ujung barat Jawa, yang di saat bersamaan terjadi bencana. Orang-orang banyak yang menyalahkan pada konser musiknya. Ramai di media sosial saling mengajukan pendapat disertai dalil-dalil atas kejadian tersebut, tetapi mengabaikan bagaimana perasaan keluarga korban. Lain itu, kita juga mengabaikan pesan dari bencana yang terjadi untuk semakin menjaga lingkungan, membuang sampah pada tempatnya dan mencintai alam. Padahal ini juga ajaran agama. Sayangnya, seolah-olah sudah menjadi mindset kita, apa pun bencana yang terjadi, yang selalu disalahkan adalah orang yang bermaksiat.

Menyusul pertanyaan lanjutan, kenapa orang-orang yang berisik tentang hukum-hukum tadi terlampau sering berseliweran di media sosial? Padahal seorang yang beriman itu harusnya bicara hal-hal yang baik. Bila apa yang dibicarakan itu tidak ada manfaatnya, sebaiknya diam. Itulah yang diajarkan Baginda Nabi Muhammad Saw. Semakin beriman seseorang, seharusnya ia paham betul bahwa Islam mengajarkan rendah hati, tidak merasa paling suci, sadar kekurangan diri, dan ketika saat ini dipandang baik oleh orang karena aibnya sedang ditutup rapat oleh Allah. Tidak ada alasan untuk berkoar-koar, sekalipun dalam dakwah. Dakwah yang baik, adalah dengan lemah lembut sebagaimana tergambar dalam Al-Quran saat Nabi Musa hendak bertemu dengan Fir'aun. Kedatangan Nabi Musa harus dengan rahmat, penuh pertimbangan, sekalipun yang ditemui adalah orang yang mengaku tuhan. Karena pada dasarnya kewajiban kita hanya menyampaikan dengan lemah lembut tanpa paksaan.

Pun dengan konsep amar ma'ruf nahi munkar. Beberapa kalangan yang seringkali diliput media, melaksanakan konsep tersebut malah dengan paksaan dan kekerasan. Padahal niatnya adalah menegakkan kebaikan, namun justru malah dengan keburukan, dan menganggu kestabilan sosial. Seperti semena-mena menutup warung yang masih buka saat Ramadhan, persekusi, dan masih banyak lagi.

Mengajak kebaikan dan mencegah keburukan keduanya diharuskan dengan cara yang baik. Harus sangat baik. Teringat apa yang disampaikan oleh Gus Mus. Saat kita berdakwah, mengajak orang melakukan kebaikan jangan sampai kalah dengan kernet bus. Kernet bus pandai sekali merayu, membujuk seseorang agar sudi naik busnya. Kernet saja bisa sangat kreatif mengajak orang naik bus, kok, ya, kita yang mengajak kebaikan malah kalah. Semua agama tentu mengajarkan cara berpikir mendalam (radikal). Artinya kita meyakini masing-masing memeluk agama paling benar. Tetapi harus lembut dan toleran dalam bersikap ke sesama.

Nabi Muhammad Saw sangatlah pribadi yang lemah lembut, dengan tutur kata yang santun. Sebisa mungkin jangan menyakiti orang lain. Karena agama adalah perkara hati, dan tentu saja tidak ada paksaan. Mendingan, berislam dengan santuy, dan tentunya mengikuti keteladanan Rasulullah Muhammad Saw.


Category : keislaman

SHARE THIS POST


ABOUT THE AUTHOR

Shidqi Niam

Santri lawas Ngaji Filsafat, sedang bercita-cita mensejahterakan petani di kampung halaman