Berhati-hati dengan Penampakan

slider
slider
18 Oktober 2019
|
1108

Beberapa hari ini saya begitu gamang merenungi perubahan dalam diri, terutama pada sikap dan fisik yang tak setangguh saat awal-awal usia 20-an lalu. Kerap merasa daya tahan tubuh menurun, sikap yang cenderung berbeda. Padahal jika mau menilik lebih jauh, kita sebagai manusia yang berwujud (yang ada) sejatinya tidak ada yang berubah. Tetap sama. Memang usia boleh bergulir, namun kita sejatinya tetap yang dulu. Hanya saja barangkali belum terbiasa menyesuaikan diri di jatah hidup saat ini. Efek kejut, istilahnya. Terjerat pada apa yang tampak oleh mata. Hingga lahirlah pertanyaan; “Kenapa saya berubah begitu cepat?”

Pernahkah Anda bertanya yang demikian pada diri sendiri? Atau barangkali rata-rata manusia akan mempertanyakan hal tersebut. Jika pernah, berarti kita sama. Sama-sama tertipu oleh penampakan (yang tampak). Sebuah tamparan keras dari gurunda, Bapak Fahruddin Faiz, semalam (Rabu, 16 Oktober 2019). Ngaji Filsafat yang rutin diadakan Rabu malam Kamis tiap satu pekan sekali itu mengkaji salah seorang filosof asal Yunani: Parmenides. Parmenides lahir sekira tahun 515 Sebelum Masehi (SM), dan meninggal tahun 470 SM. Pak Faiz—begitu beliau akrab disapa—mengawali materi kajian filsafat dengan sangat menawan. Santri yang duduk bersama di dalam masjid maupun di halaman seolah dibawa kepada peristiwa atau kejadian yang secara langsung kita jumpai. Bedanya bukan pada masa lampau melainkan kejadian sehari-hari.

Dalam kajiannya, beliau memaparkan pandangan Parmenides bahwa segala sesuatu “yang ada itu tidak berubah” dan “yang ada” itu merupakan suatu kebenaran. Hal ini sekaligus menjawab segudang perenungan selama beberapa waktu belakangan. Hal yang kita tentu sadari sejak kecil, bahwa setiap dari kita pasti akan mengalami perubahan, entah pada sikap, tutur kata, maupun pola pikir, hingga ke fisik. Sikap, seiring bergulirnya waktu yang menaikkan jam terbang kita akan kejadian-kejadian yang menempah diri, dipercaya mampu mengubah.

Pun tutur kata, apabila kita beberapa hari saja bersama seorang Batak, Padang, Palembang, Betawi, Jawa, Banjarmasin, Manado, atau Papua, secara otomatis kita pun akan mengikutinya. Minimal pada logat maupun cara bicara dan dialeknya. Sebagaimana pepatah lama mengatakan, apabila kau berteman dengan penjual minyak wangi, maka kau pun akan kecipratan wanginya. Lalu satu hal lagi yang tidak bisa ditinggalkan, tentang apa yang kita konsumsi. Selain makanan, tentu asupan otak juga memengaruhi kita dalam berpikir, buku salah satunya.

Semakin sering seseorang membaca buku, semakin banyak referensi yang ia serap, semakin beragam informasi yang masuk ke otaknya, tentu hal tersebut kita percaya dapat memengaruhi sudut pandang. Sama halnya ketika kita yang terlahir dari lingkungan seragam, kemudian berpindah ke tempat yang beragam—meskipun hakikatnya semu dan sesungguhnya “satu”—akan ada banyak hal baru yang membuat kita berpikir lebih baik, bahkan tak jarang tercermin ke penampilan fisik. Lebih mudah bertoleransi dan menghormati sesama, memandang mereka sebagai manusia bukan karena ‘embel-embel’ alias identitasnya. Bahkan kondisi politik sekalipun, seolah mampu mengubah seseorang.

Namun pendapat itu semua dibantah oleh Parmenides. “Sesungguhnya tidak ada yang berubah dari diri kita. Semuanya tetap sama.” Perubahan yang kita rasakan atau lihat, hanyalah sekilas pandangan mata atau penampakan. Berhati-hatilah dengan penampakan, sebab dia tidak bisa mengukur keseluruhan seseorang. Parmenides melalui Pak Faiz mengingatkan, jangan tertipu dengan penampakan (apa yang dilihat mata). Kita tetaplah sama sebagaimana kita yang dahulu, hanya saja cara yang ditempuh barangkali lebih luas, namun tujuannya sama. Cobalah lihat jauh ke dalam dengan hati dan pikiran yang jernih. Jangan pula buru-buru menilai atau menyimpulkan hanya dari apa yang tampak.

Perihal penampakan, di zaman yang serba “diviralkan” ini, kita cenderung mudah tergoda untuk nyinyir dengan penampakan. Tanpa mau berdiskusi, tanpa menggali sumber dan referensi bacaan, apalagi tanpa peduli klarifikasi, dengan mudahnya diri mengklaim tentang benar dan salah. Bisa jadi, yang keluar itu bukan benar-benar yang dilihat mata hati melainkan nafsu diri. Jika demikian, maka kata-kata Parmenides pun mulai berlaku: “Jangan berhenti pada apa yang tampak (penampakannya) saja.” Selain nurani, akal pun perlu kita benahi. Di sini filsafat berfungsi. Sudah semestinya kita tidak manut saja dengan ajaran-pendirian sehari-hari yang tertanam sejak dini. Mari renungkan kembali, apakah hal itu relevan dengan keadaan saat ini? Ajaran-pendirian sehari-hari berasal dari cara pandang dan pendapat orang-orang terdahulu yang tidak bersumber dari Al-Quran. Sebab itulah ia masih bisa kita sesuaikan.

Bila kita masih saja belum sanggup menemukan hal yang mampu mendamaikan pikir kita atas perbedaan tersebut, maka berpijak sajalah dengan kesamaan yang kita miliki. Jangan hanya karena berbeda sedikit, kemudian memasang batasan, garis pemisah, dan mulai menjauhi. Jangan hanya sebab seseorang melakukan kesalahan kecil yang manusiawi, kemudian kita membenci sehingga menutupi kebaikan-kebaikan lain yang pernah ia lakukan. Jangan pula hanya karena berbeda pandangan politik, berbeda kelompok, lalu membedakan perlakuan. Bukankah Islam mengajarkan indahnya toleransi dan kedamaian? Hidup berdampingan antarsesama, sebab memang kita semua sama, sementara yang membedakan hanyalah amalnya di mata Allah SWT. Bukan “di mata tetangga” apalagi kubu A ataupun kubu Z.

Dalam konsep pemikiran Parmenides, kita tak perlu saling melihat perbedaan, toh kita masih sama manusia-nya. Sudahlah, tak perlu lagi kita membangga-banggakan identitas ketika duduk bersama sesama. Tak perlu memandang perbedaan sebagai hal yang mengkhawatirkan sampai-sampai dianggap mengancam masa depan surga dan neraka seseorang. Melabeli dan menyudutkan mereka yang memiliki pandangan berbeda. Sebagaimana seorang kawan berkata: “Perihal benar dan salah hanya boleh kita perbincangkan ketika duduk bersama Tuhan ataupun malaikat-malaikat-Nya.” Mengapa? Sebab, jika kita mengukur “benar dan salah” dari sisi manusia, maka kita sesungguhnya lebih banyak berada dalam keterjebakan yang nyata. Terjebak pada pendapat dan penampakan. Sebagaimana Parmenides pernah melakukan kritik terhadap mitologi Yunani Kuno pada masanya, yang menjelaskan tentang proses penciptaan alam. Parmenides menilai penjelasan itu hanya terjebak pada pendapat dan penampakan, serta jauh dari kebenaran dan lupa atas apa yang sesungguhnya nyata dan benar.

Perihal perbedaan dan benar-salah, sepatutnya kita kembalikan kepada Yang Maha Benar, Yang Maha Tahu, karena kita kerap terlena pada penampakan sehingga melupakan hakikat, bahwa kita satu. Pun, di dunia ini tidak ada kebenaran yang mutlak di mata manusia karena kebenaran mutlak itu hanya milik-Nya, dan perbedaan merupakan rahmat.

*Buletin Jumat Masjid Jendral Sudirman, Edisi-05 Jumat, 18 Oktober 2019/19 Syafar 1441 H


Category : buletin

SHARE THIS POST


ABOUT THE AUTHOR

Endang Fitriani

Pembelajar, penikmat kopi, malam, kadang-kadang menulis dan menyunting