Belenggu Ilmu Pengetahuan dan Ilmuwan oleh Negara
Judul: Belenggu Ilmuwan dan Pengetahuan dari Hindia Belanda sampai Orde Baru | Penulis: Andrew Goss | Penerjemah: Agung Sedayu dan Tasha Agrippina | Penerbit: Komunitas Bambu, 2014 | Tebal: xviii + 344 halaman | ISBN: 978-602-9402-32-3
Dalam buku Sapiens: A Brief History of Humankind (2011), Yuval Noah Harari mengungkapkan bahwa ilmu pengetahuan digerakan oleh mesin kapitalisme. Tanpanya, riset tidak akan muncul dan bergerak. Pendanaan kapital mendorong ilmu pengetahuan terus bergerak menghasilkan temuan-temuan, demi tujuan menghasilkan lebih banyak kapital.
Negara, sebagai salah satu pusat kapital di dunia, ikut andil mendorong perkembangan ilmu pengetahuan. Apa yang membedakan negara-negara Barat dan Timur pada abad ke-15 dan abad ke-16, misalkan, adalah keinginan Barat untuk melakukan investasi dalam ilmu pengetahuan. Mereka tahu, investasi pengetahuan akan menghasilkan keuntungan, sehingga memberanikan diri untuk mendanai berbagai perjalanan riskan menemukan Pulau Rempah.
Sebagai sebuah negara merdeka, Indonesia juga ikut andil dalam upaya mendorong ilmu pengetahuan. Dewasa ini, negara Indonesia dapat dikatakan sebagai patron ilmu pengetahuan, dari ilmu pengetahuan alam hingga sosial. Melalui Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), ilmu pengetahuan dikomunikasikan kepada masyarakat, melalui berbagai seminar dan webinar yang diselenggarakan.
Kondisi ilmu pengetahuan di Indonesia dewasa ini apakah memiliki sejarahnya? Apakah akar-akar kendali negara terhadap perkembangan ilmu pengetahuan telah terjadi pada masa silam? Kedua pertanyaan tersebut berusaha ditelusuri oleh Andrew Goss, Profesor Ilmu Sejarah dan Ketua Departemen Sejarah, Antropologi, dan Filsafat Georgia Regents University, melalui buku Belenggu Ilmuwan dan Pengetahuan dari Hindia Belanda sampai Orde Baru. Buku tersebut merupakan terjemahan disertasi Goss, yang berjudul The Floracrats: State-Sponsored Science and the Failure of the Enlightenment in Indonesia.
Buku ini diawali dari kisah penekun ilmu pengetahuan pada akhir abad ke-18 dan awal abad ke-19. Mereka yang dijuluki sebagai apostel pencerahan oleh Goss, berusaha menyebarkan ide bahwa masyarakat koloni perlu dimajukan melalui ilmu pengetahuan. Dengan usaha amatir, dalam arti di luar kerangka dan kontrol negara, mereka melaksanakan riset terhadap ilmu pengetahuan, sesuai dengan bidang keahlian mereka.
Hasil puncak para apostel pencerahan adalah Pameran Batavia pada 1853. Pameran tersebut, menurut Goss, merupakan bukti tertinggi usaha para apostel pencerahan untuk mencerahkan masyarakat koloni dengan kendaraan ilmu pengetahuan. Dengan berbagai upaya, mereka menciptakan kesan bahwa Pameran Batavia tersebut akan menghasilkan impact besar untuk menciptakan koloni Hindia Belanda yang tercerahkan.
Namun, disayangkan, hasil Pameran Batavia tenggelam seiring waktu. Barang-barang yang dipamerkan berakhir tersimpan di gudang penyimpanan, tidak pernah ditampilkan lagi. Tidak ada masyarakat yang mengingat bahwa sebuah pameran ilmu pengetahuan mengenai Hindia Belanda pernah dilakukan di Batavia pada 1853. Bahkan, upaya untuk mencerahkan koloni dengan ilmu pengetahuan juga jalan di tempat.
Meski usaha para apostel pencerahan berakhir nihil, Pameran Batavia meninggalkan satu hal penting, bahwa ilmu pengetahuan akan menjadi senjata yang penting untuk memajukan keberlangsungan koloni. Namun, pandangan tersebut tidak berasal dari masyarakat. Ia justru datang dari negara. Mereka melihat Pameran Batavia 1853 sebagai bukti, bahwa ilmu pengetahuan dapat menghasilkan keuntungan bagi koloni.
Dengan cepat, negara mulai mendorong pengembangan Kebun Raya di Buitenzorg (sekarang Bogor). Ahli biologi Belanda didatangkan dari Belanda untuk bekerja di koloni. Salah satu dari mereka, Franz Junghuhn, menjadi penggerak awal keberlangsungan Kebun Raya.
Bekerja sama dengan Gubernur Jenderal C. F. Pahud, Junghuhn memberdayakan tanaman kina di Hindia Belanda. Selama beberapa tahun, ia mengembangkan tanaman kina khusus, Chincona pahudiana, dinamakan mengikuti Pahud, patronnya, untuk menghasilkan quinine yang tinggi dan bernilai ekspor. Namun, hingga Pahud meninggalkan koloni, C. pahudiana tidak menghasilkan apa pun.
Kehilangan patron, Junghuhn menghadapi hujan kritik di Belanda. Mereka mempertanyakan mengapa Junghuhn terlalu terobsesi dengan C. pahudiana, dan tidak memfokuskan diri untuk menanam tanaman kina dari spesies lain. Kritik tersebut dibalas oleh Pahud dan Junghunh dengan mengatakan bahwa tanaman kina baru akan menghasilkan setelah berusia minimal lima tahun. Singkat kata, tanaman kina membutuhkan waktu.
Sepeninggal Junghuhn, proyek kina negara koloni dilanjutkan kembali. Mereka mengganti C. pahudiana dengan tanaman kina yang dibeli dari seorang pedagang Inggris, dikenal ebagai Chincona ledger. Dengan mengandalkan C. ledger, alih-alih C. pahudiana, tanaman kina dengan tingkat quinine dapat dihasilkan. Bahkan, Hindia Belanda menjadi negara penting dalam produksi kina dunia.
Keberhasilan proyek kina, meski bukan oleh seorang Junghuhn dan C. pahudiana, membuat Kebun Raya mengembangkan lembaga riset tambahan. Bekerja sama dengan pemilik perkebunan ekspor dan negara, mereka melakukan riset terhadap tanaman ekspor koloni. Salah satu pelopor utama dalam riset tersebut adalah Melchior Treub.
Tangan besi Treub tidak hanya menjadikan Kebun Raya Buitenzorg sebagai lembaga riset yang menghubungkan negara dan industri perkebunan. Ia juga menjadi lembaga riset yang sangat disegani di dunia. Banyah ahli biologi dunia menyempatkan diri mengunjungi Kebun Raya untuk melakukan riset terhadap tanaman tropis.
Sepeninggal Treub, riset di Kebun Raya tetap dilanjutkan. Namun yang membedakan, mereka telah nyaman sebagai lembaga yang diperintah langsung oleh negara. Ketika negara menghadapi krisis ekonomi dan politik pada awal abad ke-20, kesulitan memberikan dana, riset menjadi terkatung-katung. Tidak banyak kabar mengenai Kebun Raya hingga 1950-an awal.
Pada periode tersebut, seorang H. J. van Mook, yang kemudian dikenal sebagai orang penting dalam NICA pada masa Revolusi Indonesia, meletakan dasar terhadap riset yang dilakukan Kebun Raya. Menurutnya, Kebun Raya harus terintegrasi dengan negara, sehingga riset dapat diarahkan untuk kepentingan masyarakat. Peninggalan van Mook pada masa Indonesia merdeka akan diteruskan oleh floracrat, istilah bagi peneliti yang berada dalam kontrol pemerintah.
Pada periode 1950-an awal, generasi baru floracrat hadir. Negara menghendaki riset untuk menciptakan kesejahteraan bagi masyarakat. Kontrol negara, terutama sejak Demokrasi Terpimpin Soekarno dan Orde Baru Soeharto, membuat Kebun Raya Bogor kehilangan independensi. Semua riset diarahkan untuk negara, revolusi pada masa Soekarno, dan pembangunan pada Soeharto.
Madjelis Ilmu Pengetahuan Indonesia, kemudian menjadi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (sekarang menjadi BRIN), kehilangan kontrol terhadap ilmu pengetahuan. Mereka menyadari, tanpa kehadiran negara, riset tidak akan berkembang. Namun, jika terus mengandalkan kontrol negara, riset tidak akan menyentuh masyarakat.
Pada akhirnya, ilmuwan pada masa Indonesia, terutama generasi Ciawi, berubah menjadi ilmuwan meja tulis. Mereka harus menjadi klien negara, lembaga pengetahuan nasional dan internasional, instansi dan universitas, dan masyarakat. Riset diserahkan untuk negara, yang kemudian mengerjakan untuk menciptakan kebijakan menyejahterakan masyarakat.
Ketika hasil riset digunakan negara, masyarakat tidak pernah mengetahui keberadaan mereka. Riset ilmu pengetahuan gagal untuk melompati pagar universitas dan instansi ilmu pengetahuan. Ide untuk menciptakan masyarakat madani melalui ilmu pengetahuan, seperti yang digerakan para apostel pencerahan, gagal terwujud di Indonesia.
Kali pertama penulis membaca buku Belenggu Ilmuwan dan Pengetahuan pada 2021, sedikit mengalami kesulitan dalam memahami tesis Goss. Mungkin karena tidak familiar dengan setting yang disajikan Goss dalam buku ini, membuat pembaca awam seperti penulis kehilangan pegangan dan kesulitan memahami isi buku.
Dalam pembacaan kedua pada Januari 2024, terutama setelah membaca kembali Sapiens, pembacaan menjadi lebih mudah. Apa yang disampaikan Goss dapat dengan mudah masuk ke kepala. Dengan lumayan mudah, dapat membayangkan relasi antara ilmu pengetahuan dan negara, terutama bagaimana kapital menggerakan ilmu pengetahuan untuk menghasilkan lebih banyak kapital bagi negara.
Andrew Goss menyajikan buku Belenggu Ilmuwan dan Pengetahuan dengan sangat menarik. Namun, satu catatan yang perlu digarisbawahi, yakni pada bagian kesimpulan tiap-tiap bab. Alih-alih mengulangi isi buku sehingga pembaca tidak kehilangan jejak, Goss memilih untuk menyajikan kelanjutan isi bab. Menurut hemat penulis, mengatakan sebagai kesimpulan bukan hal yang tepat, jika ia masih merupakan kelanjutan dari bab yang ingin disimpulkan.
Terlepas dari catatan tersebut, buku ini menyadarkan penulis, bahwa profesi dosen di Indonesia benar-benar profesi yang menyiksa diri. Selain harus mengabdi kepada negara, lembaga pengetahuan, akademisi nasional dan internasional, universitas, mahasiswa, dan masyarakat, produktivitas mereka diukur berdasarkan kuantitas. Mereka, dengan kondisi yang serba terbebani, hanya berfokus untuk menghasilkan riset memenuhi kuantitas, alih-alih sesuatu yang bernilai dalam ilmu pengetahuan. Tidak heran, tidak ada peneliti di Indonesia, terutama para ilmuwan meja tulis, yang bersinar di luar negeri.
Buku Belenggu Ilmuwan dan Pengetahuan, sesuai dengan judulnya, menyajikan belenggu. Negara mengontrol ketat apa yang harus dilakukan dan dihasilkan ilmu pengetahuan dan ilmuwan, demi kepentingan negara. Ilmuwan berubah menjadi ilmuwan meja tulis, dan ilmu pengetahuan hanya diproduksi untuk kepentingan pembangunan. Tidak ada ilmu pengetahuan yang tercipta untuk pengembangan lebih lanjut ilmu pengetahuan itu sendiri.
Terakhir, buku Belenggu Ilmuwan dan Pengetahuan sangat boleh dibaca oleh mereka yang peduli terhadap kondisi ilmu pengetahuan di Indonesia. Pendekatan historis yang disajikan Goss diharapkan dapat menyadarkan pembaca, bahwa ilmu pengetahuan dan ilmuwan di Indonesia masih belum lepas dari kuasa negara. Penciptaan masyarakat madani yang tercerahkan melalui ilmu pengetahuan, jika kondisi ini masih terus berlanjut, mungkin tidak akan pernah terwujud di Indonesia.
Category : resensi
SHARE THIS POST