Belajar Berislam dari Harmoni Biola Cinta
Ajahn Brahm dalam buku fenomenalnya: Si Cacing dan Kotoran Kesayangannya (2005), pernah mengisahkan tentang sebuah biola. Alkisah, seorang tua yang tak berpendidikan tengah mengunjungi sebuah kota besar untuk pertama kalinya. Ia dibesarkan di sebuah dusun di pegunungan terpencil sembari bekerja keras membesarkan anak-anaknya. Kini, ia sedang menikmati kunjungan perdanannya ke rumah anak-anaknya yang lebih bagus dan mapan.
Suatu hari, sewaktu dibawa keliling kota, orang tua itu mendengar suara yang menyakitkan telinga. Belum pernah ia mendengar suara yang sedemikian tidak enak di dusunnya yang sunyi. Ia mencari sumber suara yang sumbang itu, sampai tiba di sebuah ruangan di belakang sebuah rumah.
Ia melihat ada seorang anak kecil sedang belajar bermain biola. Ngiiik! Ngoook!, nada sumbang berasal dari biola itu. Saat sosok tua itu mengetahui dari putranya bahwa itulah yang dinamakan ‘biola’, ia lantas memutuskan untuk tidak akan pernah mau mendengar suaranya yang mengerikan itu lagi.
Hari berikutnya, di bagian lain kota itu, orang tua ini mendengar sebuah suara yang membelai-belai telinga tuanya. Belum pernah melodi seindah itu terdengar di lembah gunungnya. Ia mencoba mencari sumber suara tersebut. Sampai tiba di ruangan depan sebuah rumah, seorang perempuan tua, seorang maestro, sedang memainkan sonata dengan biolanya.
Seketika, si orang tua itu menyadari kekeliruannya. Suara tidak mengenakkan yang didengarnya kemarin bukanlah kesalahan dari biola. Bukan pula salah si anak. Itu hanyalah proses belajar seorang anak yang belum bisa memainkan biolanya dengan baik.
Dengan kebijaksanaan polosnya, orang tua itu berpikir, mungkin demikian juga halnya dengan agama. Ketika kita bertemu dengan seseorang yang menggebu-gebu dengan kepercayaannya, tidaklah benar untuk menyalahkan agamanya. Itu mungkin hanyalah seorang pemula yang belum bisa memainkan agamanya dengan baik. Ketika kita bertemu dengan seorang bijak, seorang maestro, agamanya itu merupakan pertemuan indah yang menginspirasi, apapun kepercayaan mereka.
Namun ini bukan akhir cerita. Hari ketiga, di bagian lain kota, si orang tua mendengar suara lain yang bahkan melebihi kemerduan dan kejernihan suara sang maestro biola. Suara apa gerangan?
Suara itu melebihi indahnya suara aliran air di pegunungan pada musim semi. Melebihi indahnya suara angin musim gugur di sebuah hutan. Melebihi merdunya suara burung-burung pegunungan yang berkicau setelah hujan lebat. Bahkan melebihi keindahan hening pegunungan sunyi pada suatu malam di musim salju. Suara apa gerangan yang menggerakkan hati orang tua itu melebihi apapun?
Itu suara sebuah orkestra besar yang memainkan simfoni. Bagi orang tua itu, hasil gesekan orkestra disebutnya sebagai suara terindah di dunia. Karena setiap anggota orkestra merupakan maestro alat musiknya masing-masing. Lalu mereka telah belajar lebih jauh lagi untuk bisa bermain bersama-sama dalam harmoni.
“Mungkin ini sama dengan agama,” pikir si orang tua itu.
“Marilah kita semua mempelajari hakikat kelembutan agama kita melalui pelajaran-pelajaran kehidupan. Mari kita semua menjadi maestro cinta dan kasih sayang dari agama kita masing-masing. Setelah mempelajari agama kita lebih baik dan lebih jauh lagi, mari kita belajar untuk bermain seperti halnya para anggota sebuah orkestra, bersama-sama dengan agama lain menciptakan harmoni dunia”. Itulah suara paling indah.
***
Setelah membaca tamsil yang dikemukakan oleh Ajahn Brahm tersebut, setuju atau tidak, tentunya kembali pada pribadi kita masing-masing. Yang pasti, beragama itu berproses, terus dan terus belajar lebih dalam lagi agar bisa menggapai inti dari pesan ajarannya yang dinamis. Brahm mengajak kita untuk menjadi maestro cinta dan kasih sayang sebagai perwujudan dari pengamalan agama kita.
Cinta dan kasih sayang adalah napas kehidupan. Cinta membuat hidup menjadi lebih indah dan mengubah yang tak mungkin menjadi mungkin. Tanpa cinta, kehidupan akan porak-poranda. Kanjeng Nabi Muhammad sendiri hatinya penuh dengan cinta. Tak ada dendam dan kebencian. Itulah pintu kebahagiaan. Beliau menganjurkan supaya pengamalan ajaran Islam diliputi dengan semangat cinta.
Cinta adalah roh dari kehidupan beragama. Orkestra dengan permainan simfoni cinta yang indah adalah perwujudan dari ajaran Islam yang rahmatan lil-‘alamin. Keyakinan itu harus kita olah, tanpa memandang semua agama mesti sama. Karena masing-masing dari kita memiliki keyakinan dan kebenaran atas agama yang kita percayai.
Sekali lagi, Kanjeng Nabi adalah sang maestro cinta tanpa tandingan. Tak ada sebersit rasa dendam dan benci dalam lubuk nuraninya. Serasa kalbunya telah dipenuhi dengan rasa cinta dan kasih sayang. Bahkan beliau menjadikan cinta dan kasih sayang sebagai tolak ukur keimanan seseorang. “Tidak beriman di antara kalian sampai kalian mencintai saudaranya seperti mencintai dirinya sendiri”, begitu bunyi sabdanya sekali waktu.
Lebih hebat lagi, Kanjeng Nabi tidak hanya membuat pernyataan kecuali telah melakukannya. Artinya, beliau tampil sebagai teladan atau uswah hasanah terlebih dahulu. Keseluruhan kisah hidupnya adalah kisah perjalanan manusia yang penuh dengan cinta dan kasih sayang.
Nah, lantas bagaimana dengan kita?
Wallahula’lam.
Category : buletin
SHARE THIS POST