Bangun dari Ketidaksadaran
Hayy bin Yaqdzan (hidup bin bangun). Begitu judul novel, sekaligus nama tokohnya, karya Ibnu Thufail yang Pak Fahruddin Faiz bahas saat Ngaji Filsafat, pada 22 Mei 2024, edisi tentang “Kesadaran.” Makna sederhana dari judul itu, sebagaimana penjelasan Pak Faiz, orang hidup disuruh bangun. Jadi, manusia yang hidup perlu bangun. Bangun bagian dari kesadaran.
Dalam Al-Qur’an surah Al-Muddatstsir ayat 1-2, Allah menyeruh, “Hai orang yang berselimut (yang tidur/yang tidak sadar), bangunlah... (sadarlah).” Jadi, ada yang hidup, sekadar hidup tanpa sadar akan hidupnya: ibarat orang yang masih berselimut (tidur), maka perlu bangun dari ketidaksadarannya.
Berdasarkan pandangan Tasha Eurich dalam The Four Self Awareness Archetypes terdapat empat kondisi manusia, yaitu, seeker, pleaser, introspector, dan aware. Seeker merupakan kondisi manusia yang belum sadar tentang dirinya. Pleaser adalah tipe manusia yang terlalu sibuk berupaya tampil sesuai apa kata orang lain, sehingga malah lupa akan diri sendiri. Dua kondisi ini, seeker dan pleasure, dapat kita kategorikan dalam kondisi orang yang masih tidur, belum sadar atas diri dan hidupnya.
Introspector merupakan manusia yang sudah kenal dirinya. Pada tahap ini, manusia sudah bangun, tetapi masih setengah sadar. Sebab, orang yang introspector mungkin sudah tahu diri, namun belum sadar akan realitas sekitarnya. Belum sepenuhnya sadar seperti apa seharusnya hidup manusia. Jadi, kesadarannya masih setengah.
Aware merupakan kondisi manusia mengenali dirinya, dan sadar akan realitas sekitarnya. Ini keadaan manusia sudah benar-benar bangun dari tidurnya. Ia sadar akan dirinya, dan sadar seperti apa lingkungan sekitarnya. Jadi, kondisi manusia yang sudah bangun yang sudah mempunyai kesadaran atas diri dan hidupnya.
Sudah Sadar, Bergeraklah
Manusia tidak hanya sampai pada keadaan bangun dari tidur (sadar akan diri dan realitas luar diri) namun juga harus bergerak dari tempat tidur. Sekadar sadar saja, rasanya masih kurang, harus bergerak dengan kesadaran. Oleh karena itu, kita perlu untuk “... belajar sadar yang lebih berkualitas. Sadar yang tidak sekadar sadar, tetapi sadar yang lebih mendalam.” Jadi, jika kita sudah menjadi orang yang bangun, maka selanjutnya adalah bergerak dari tempat tidur.
Friedrich Hegel dalam Phenomenology of Spirit (1807) memberikan pandangan tentang evolusi kesadaran manusia. Pertama, kesadaran langsung (immediate consciousness); manusia baru menyadari objek di luar diri tanpa merefleksikannya. Kedua, kesadaran reflektif (self-consciousness); manusia mulai menyadari dirinya dan mampu merefleksi diri sebagai subjek. Ketiga, kesadaran ilmiah (scientific consciousness); manusia menggunakan akal budi dan konsep-konsep abstrak untuk memahami dunia.
Keadaan sadar bangun dari tidur menuju bergerak dari tempat tidur dapat dilakukan dengan mengembangkan kesadaran. Ya, bila bangun dari tidur dan kesadaran masih mengawang, sekadar sadar dengan diri dan objek sekitar namun tidak tahu harus berbuat apa (immediate consciousness), jatuhnya rebahan. Ketika kesadaran itu ditingkatkan, mencoba merefleksi diri sebagai subjek (self-consciousness) dan berupaya memahami untuk apa hidup di dunia ini (scientific consciousness), maka kita dapat sadar harus berbuat apa. Setelah sadar selanjutnya adalah bergerak dengan kesadaran.
Semisal, kita sadar diri adalah manusia, maka kita merefleksi diri sebagai manusia, dan mencoba memahami sepantasnya hidup sebagai manusia seperti apa dan bagaimana. Sehingga, melalui kesadaran entitas diri sebagai manusia, kita bergerak menjalani kehidupan berdasarkan pada kemanusiaan, bukan kebinatangan, apalagi kesetanan.
Antara Sadar dan Tidak Sadar
Apakah manusia selalu bergerak dengan kesadaran? Berdasarkan penjelasan Pak Faiz, dalam Ngaji Filsafat, gerakan manusia juga diwarnai oleh ketidaksadaran. Untuk memahami pandangan ini perlu mengetahui apa itu concious, sub-concious, dan un-concious.
Concious (kesadaran) adalah keadaan manusia yang sadar dan mampu berpikir tentang dirinya; pikirannya, perasaannya, dan lingkungan hidupnya. Sebagaimana yang telah dibahas sebelumnya, kondisi ini sama halnya dengan aware, yaitu manusia yang telah bangun dari tidurnya. Manusia yang sadar diri dan hidupnya.
Selain concius, ternyata juga ada keadaan sub-concious (bawah sadar) dan un-concious (tidak sadar). Sebagaimana concius, dua hal ini juga dapat menggerakkan manusia.
Sub-concious adalah informasi yang tidak berada dalam kesadaran kita saat ini, tetapi dapat diakses melalui memori atau dipicu oleh rangsangan. Gerakan sub-concious merupakan proses otomatis dan ditandakan dengan kebiasaan. Sedangkan un-concious adalah gerakan melalui informasi yang tidak dapat diakses oleh pikiran sadar. Un-concious merupakan gerakan yang tidak lepas dari pengaruh tekanan dan terjadi tanpa sadar.
Gerakan un-concious banyak berhubungan dengan tekanan keyakinan, ketakutan, dan naluri yang mendalam. Berbeda dengan concius sebagai gerakan yang benar-benar dari kesadaran manusia, yaitu gerak sadar yang berhubungan dengan aspek kekuatan kehendak, memori jangka pendek, berpikir logis, dan berpikir kritis. Adapun sub-concious adalah gerak manusia yang tidak lepas dari pengaruh keyakinan, emosi, kebiasaan, nilai-nilai yang diyakini, reaksi perlindungan, memori jangka panjang, intuisi, dan imajinasi.
Sub-concious banyak memengaruhi gerak manusia. Bahkan, pengaruh sub-concious atas gerakan manusia mencapai 90%, dan sisanya adalah dorongan concious (jangan lupakan juga masih ada aspek un-concious). Jadi, ketidaksadaran justru dapat menjadi pendorong besar pergerakan manusia dalam menjalani hidupnya.
Oleh karena ada keadaan tanpa sadar yang dapat memengaruhi gerakan manusia, maka kita perlu memperkuat concious. Membiasakan diri bergerak dengan penuh kesadaran; berdasarkan kekuatan kehendak dan pertimbangan logis-kritis. Dan, hal yang tidak kalah penting adalah membaguskan aspek-aspek yang memengaruhi sub-concious; seperti memastikan diri meyakini kebaikan, membiasakan habit yang berkualitas, menyimpan memori yang positif, mengimajinasikan sesuatu yang sehat, dan lainnya. Termasuk juga meminimalkan un-concious; kekuatan kehendak dan berpikir logis-kritis dapat meningkatkan kesadaran untuk tidak mudah ditekan atau dipengaruhi.
Jalan tersebut menjadi satu upaya agar pergerakan senantiasa berada pada jalur kebaikan hidup sebagai manusia, baik gerakan dalam keadaan sadar maupun tidak sadar. Sebab, sejak awal, kita berupaya meningkatkan kualitas kesadaran diri, dan memaksimalkannya melalui upaya mengisi domain ketidaksadaran dengan kebaikan, menjadi usaha membuat diri kita tetap terjaga bahkan dalam keadaan tidak sadar.
Sadar Diri Manusia
Kata Pak Faiz, di akhir ngaji, “... pastikan kita tetap sadar dan meningkatkan level kesadaran.” Bagaimana cara kita dapat tetap sadar dan meningkatkan kesadaran? Di antara formulasi dalam upaya memelihara kesadaran adalah berdasarkan pada tiga aktivitas: berpikir-berefleksi, berempati-menghayati pengalaman, dan bertindak-mengevaluasi. Melalui aktivitas-aktivitas ini, kita dapat menjaga dan meningkatkan kesadaran menjadi makin berkualitas.
Contoh mainstreaming formulasi tersebut dalam upaya meningkatkan kesadaran kemanusiaan dalam diri. Aku memikirkan entitas diri sebagai manusia, dan merefleksikan sejauh apa kemanusiaan ada dalam gerak hidupku. Aku menghayati pengalaman selama ini. Mengevaluasi tindak-tanduk selama hidup benarkah sudah selayaknya manusia. Dari proses berpikir-berefleksi, menghayati, dan mengevaluasi, aku menjadi makin sadar, ternyata diriku adalah manusia.
Referensi:
Ngaji Filsafat 426: Kesadaran edisi Kenali dan Kendali Diri, bersama Dr. Fahruddin Faiz, M. Ag di Masjid Jendral Sudirman Yogyakarta, pada Rabu, 22 Mei 2024.
Category : catatan santri
SHARE THIS POST