Apa Sih Menariknya Filsafat?
Sebenarnya, ketika ada rencana bahwa tulisan pendek ini akan saya jadikan buku, saya ingin mengawali tulisan ini dengan ceramah panjang lebar tentang apa itu filsafat, definisinya, menurut tokoh A, lalu tokoh B, lalu tokoh C dan seterusnya. Setelah itu saya akan mendongeng kepada Anda tentang sejarah filsafat, mulai dari zaman Yunani Kuno, bahkan kalau perlu dari sejak masa Cina Kuno atau India dan Mesir Kuno sampai abad 21.
Tetapi tiba-tiba saya berpikir lagi, untuk apa? Untuk Anda hafalkan? Atau biar Anda tahu? Bukankah sudah ratusan buku yang menyebut hal itu kalau Anda memang benar ingin tahu?
Akhirnya saya putuskan untuk tidak mencantumkan semua itu di sini, di samping tentunya karena masih banyak hal yang belum saya pahami dari pemikiran-pemikiran yang berkembang sepanjang sejarah filsafat tersebut, sehingga mungkin kalau saya paksakan juga untuk menjelaskan, maka saya akan menjiplak buku-buku tertentu, dan Anda mungkin juga cuma menghafalkannya.
Kemudian orang memandang kita sama-sama mengerti tentang filsafat, padahal kita sama-sama tidak tahu apa-apa. Semoga keputusan ini nantinya bisa menguntungkan Anda.
Bagi Anda yang memang memerlukan informasi-informasi tentang definisi dan kesejarahan tersebut silahkan carilah buku apa saja yang ada hubungannya dengan pengantar filsafat, saya jamin tidak akan jauh berbeda.
Itulah mengapa artikel ini bukannya Apakah Filsafat Itu?, tetapi Apa Sih Menariknya Filsafat?, tentunya yang saya maksud menariknya filsafat ‘bagi saya’, jadi mungkin sangat subjektif, meskipun sebenarnya saya berharap tulisan ini tidak hanya bernada subjektif, tetapi juga provokatif, sehingga setelah membaca tulisan ini Anda menjadi tertarik kepada filsafat dan bersedia untuk mendalaminya lebih jauh.
Filsafat bagi saya adalah sebuah tantangan, tantangan untuk tidak hidup secara mekanis, ikut-ikutan, taklid dan ‘mengalir’ tanpa tahu kemana, untuk apa dan mengapa. Seorang empu filsafat yang bernama Socrates pernah mengatakan satu jargon yang sangat dikenal di dunia filsafat, yaitu “The unexamined life is not worth living” (hidup yang tidak diuji adalah kehidupan yang tidak berharga).
Hidup tidak boleh dibiarkan mengalir begitu saja, tidak boleh dibiarkan berjalan apa-adanya tanpa tahu harus kemana atau untuk apa atau mengapa harus demikian.
Hidup harus diuji, harus diketahui, direncanakan, dan dipahami, kemudian dijalankan dalam alternatif terbaiknya. Nah, cara paling jitu untuk menguji hidup itulah yang menjadi bidikan utama filsafat. Louis O. Kattsoff dalam Pengantar Filsafat-nya berkata, “Filsafat membawa kita kepada pemahaman. Dan pemahaman membawa kita kepada tindakan yang lebih layak”.
Ada sebuah gambaran menarik yang diberikan oleh Jostein Gaarder dalam bukunya yang berjudul Sophie’s World, tentang perbedaan seorang filsuf dan bukan filsuf.
Kata Gaarder, seandainya misteri-misteri dunia ini digambarkan sebagai hasil dari pekerjaan seorang tukang sulap (si tukang sulap ini bisa saja disebut sebagai Tuhan), dan dunia ini digambarkan seperti seekor kelinci yang keluar dari topi sang pesulap itu, maka manusia bisa dikatakan sebagai serangga-serangga kecil yang hidup di sela-sela bulu kelinci, dan seorang filsuf adalah serangga-serangga kecil itu yang selalu berusaha untuk memanjat helaian-helaian bulu kelinci untuk dapat mengetahui kelinci, topi dan tentunya jika mampu mengetahui juga si pesulap itu sendiri.
Tantangan untuk menguji hidup ini tampaknya semakin menemukan relevansinya di saat ini, zaman yang penuh dengan kemajuan teknologi dan globalisasi informasi tidak hanya telah menjadi santapan sehari-hari manusia, tetapi juga telah ‘menyetir’ hampir semua aspek kehidupan manusia.
Hampir semua orang di masa kini setiap hari ‘disetir’ kemauan, keinginan sampai kebutuhannya oleh media-media informasi, baik yang berskala lokal, regional, nasional, maupun global. Mulai model rambut, merek mobil, jenis telepon seluler sampai aturan ketatanegaraan mengalami gejala ini.
Budaya manusia menjelma menjadi ‘budaya populer’; apapun dan siapapun yang populer, itulah yang akan menjadi kiblat semua orang. Kalau televisi banyak menayangkan rambut gondrong, maka bisa dipastikan sebentar lagi akan banyak orang berambut gondrong.
Kalau Demi Moore dipromosikan oleh media sebagai seorang yang keren dengan rambut pendek, maka sebentar lagi pasti akan banyak wanita berambut pendek.
Kalau Sarah Azhari terlihat seksi dengan baju bikini, maka tidak lama lagi akan banyak orang yang memakai bikini ala Sarah Azhari, dan lain sebagainya.
Termasuk diantara budaya populer yang mengglobal itu misalnya pandangan-pandangan yang sengaja disusun untuk tujuan tertentu dan memengaruhi banyak orang.
Misalnya ikutlah Partai A kalau Anda ingin hidup sejahtera; kuliahlah di universitas B agar bisa dapat pekerjaan segera; pakailah parfum C agar dapat pacar ganteng; pakailah baju merk D dan Anda akan berselera muda; makanlah di restoran E maka Anda akan terlihat romantis; dengan menonton film F berarti Anda tidak ketinggalan zaman; dan lain sebagainya, termasuk yang paling membingungkan saya adalah: pakailah dasi agar Anda tergolong kalangan eksekutif! Budaya yang populer mengindikasikan gaya hidup yang ikut-ikutan dan kehilangan daya kritis untuk berpikir secara mandiri.
Di sisi lain, mekanisasi hidup juga semakin terlihat dalam keseharian setiap orang. Pagi bangun, sarapan, berangkat kerja, pulang sore, nonton TV, tidur, bangun, sarapan, berangkat kerja dan seterusnya, tidak ada bedanya dengan robot atau program komputer. Apel ke tempat pacar itu malam Minggu, beribadah atau senam kesehatan jasmani setiap Jum’at, main tenis setiap Selasa, cukur rambut sebulan sekali setiap tanggal 15, dan lain sebagainya.
Bahkan sampai urusan makan pun menjadi mekanis; orang harus makan tiga kali sehari, baik dia dalam kondisi lapar atau kenyang, yaitu jam 7 pagi, jam 1 siang dan jam 7 malam. Kalau sudah jam 1 siang saya harus makan siang, meskipun antara jam 7 sampai jam 1 itu saya terus menerus nyemil dan masih kenyang. Jadi kalau ada pertanyaan mengapa Anda makan? Jawabannya pasti: “karena sudah jam makan”, bukan karena sudah lapar.
Sebenarnya, setiap orang memiliki yang namanya curiosity atau rasa ingin tahu: rasa heran, takjub dan ingin menyingkap kebenaran sesuatu yang menarik hatinya tetapi masih misterius. Bukti paling mudah yang tampak dari adanya rasa ingin tahu ini bisa ditemukan dalam diri seorang anak yang akalnya mulai berjalan dan fisiknya mulai berkembang.
Anak seumur ini biasanya sangat eksploratif dan serba mencoba. Kalau sudah mulai bisa menata perkataannya biasanya ia akan secara demonstratif bertanya dan selalu bertanya tentang hal-hal yang masih belum dipahaminya. Ia akan mencoba menaiki meja untuk meraih barang di atasnya, ia heran melihat mobil yang bisa berjalan, ia menangis jika dilarang bermain dengan api atau pisau, dan ia akan sangat cerewet menanyakan apapun yang ada di hadapannya.
Namun seiring perkembangan usia, perlahan namun pasti ia terjebak—atau mungkin lebih tepatnya ‘dijebak’—oleh lingkungannya untuk hidup serba mekanis.
Mekanisasi hidup ini ada kalanya sampai tingkat yang menggelikan kalau tidak mengkhawatirkan. Dulu ketika kecil mungkin Anda atau saya bisa dengan santai main dengan air hujan dan sehat-sehat saja, tetapi karena berbagai pengondisian tertentu, maka tubuh kita sekarang seakan menjadi anti-hujan, sehingga sedikit saja terkena gerimis, maka bisa dipastikan besok pagi kita akan bersin-bersin kena pilek.
Padahal hujan itu air, sama dengan air yang setiap hari kita pakai untuk mengguyur tubuh saat mandi. Itu satu contoh kecil.
Pasti sangat banyak contoh-contoh lain yang tidak kalah menggelikannya karena pengondisian yang kita lakukan sendiri, termasuk misalnya betapa kita alergi terhadap orang bertato, merasa sungkan menghadapi orang bersorban, merasa lebih sehat ketika diobati oleh dokter spesialis dan tidak merasa sehat kalau diobati oleh mantri suntik meskipun obat yang diberikan sama, dan banyak lagi contoh lain.
Karena pengondisian-pengondisian—baik sengaja maupun tidak—inilah maka rasa curiosity yang sangat menarik itu pun perlahan juga mulai tersisihkan, meskipun sebenarnya apabila dicermati masih banyak hal yang layak, dan sangat layak untuk dipertanyakan ulang.
Mengurusi curiosity semacam ini bagi banyak orang hanya membuang waktu saja, karena mereka melihat masih sangat banyak hal lain yang lebih penting untuk diurusi. Dan ironisnya, hal lain yang lebih penting untuk diurusi itu adalah ‘proyek besar memenuhi program mekanisasi hidup’ seperti disebut di muka.
Segala sesuatu yang berjalan di sekelilingnya dipandang memang berjalan seperti itu, dan harus berjalan seperti itu. Maka jadilah wajah dunia itu seperti sekarang ini, serba mekanis, sangat mudah untuk diramal geraknya, karena bahkan ternyata berbagai kesalahan maupun kekeliruan dalam sejarah manusia pun sering berulang.
Secara umum harus dikatakan bahwa sebagian besar manusia hidup dalam ‘kemapanan’, status quo, sungai kehidupan yang airnya tidak mengalir, tidak berkembang secara kualitatif, tidak mampu memberlakukan semboyan ‘hari ini harus lebih baik dari kemarin, hari esok harus lebih baik dari hari ini’. Kita seakan mandeg. Kita adalah robot.
Robot-robot manusia, atau manusia-manusia robot ini jumlahnya mungkin bisa mencapai lebih dari 95% penduduk dunia, dan kalau melihat hal ini mungkin sang empu filsafat yang bernama Socrates tadi akan menangis—atau jangan-jangan malah tertawa.
Apalagi jika melihat betapa banyak orang yang merasa ‘serba tahu’ akan kehidupannya tanpa dia sadari bahwa sebenarnya dirinya tidak tahu apa-apa, hanya sekadar ikut-ikutan dan membuntuti orang-orang di sekitarnya saja. Kata Socrates dalam Apology yang ditulis oleh muridnya, Plato:
Banyak di antara kita yang tidak tahu apa itu keindahan atau kebajikan, tetapi mereka menganggap telah tahu, padahal sebenarnya tidak tahu apa-apa; sementara saya, kalau tidak tahu apa-apa tidak akan pernah merasa sudah tahu.
Maka kelihatannya saya sedikit lebih bijaksana dibandingkan mereka, sejauh saya tidak pernah membayangkan bahwa saya sudah tahu tentang sesuatu yang saya sama sekali tidak tahu.
Category : filsafat
SHARE THIS POST