Aja Dumeh

05 November 2017
|
13116

Manusia hidup di dunia ini pada hakikatnya adalah pejalan yang sedang menempuh dan menuju keabadian. Sebagai sekadar jalan, dunia bukan tujuan. Lantas, di mana alamat sejati yang dituju manusia? Orang Jawa menjawab sangkan paraning dumadi.

Manusia ternyata punya sangkan, juga paran. Sangkan adalah dari mana manusia sejatinya berjalan. Paran adalah kemana sejatinya manusia itu berjalan. Paradoksnya, sangkan adalah juga paran. Keduanya identik. Islam menyebut sangkan sebagai al-Awwal (Sang Awal), sedangkan paran sebagai al-Akhir (Sang Akhir). Kita, manusia ini, berasal dari-Nya, dan akan kembali lagi kepada-Nya. Inna lillahi wa inna ilaihi rajiun.

Kalau begitu, perjalanan yang di tempuh manusia selama hidupnya di dunia ini, merupakan perjalanan pulang yang sifatnya spiritual: suatu perjalanan kembali, tawbah. Hal ini merupakan fitrah. Maksudnya, manusia akan pulang ke-sangkan paran-nya, dikehendaki atau tidak dikehendaki olehnya. Kaitannya dengan perjalanan kembali itu, datangnya nabi untuk mengabarkan kasunyatan, sesuatu yang belum diketahui kebanyakan manusia. Begitu pula diutusnya para rasul.

Rasul diutus untuk mengingatkan umatnya yang lupa akan kasunyatan. Itulah sebabnya, Islam menggunakan banyak istilah yang maknanya berhubungan dengan perjalanan, misalnya fa laqtahamal-‘aqabah (jalan mendaki yang terjal dan sarat rintangan), dan shirat al-mustaqim (jalan lurus).

Berbeda sebagaimana perjalanan pada umumnya, perjalanan spiritual manusia pun mengandung rintangan, baik yang tampak jelas maupun yang tersembunyi. Salah satu rintangan tersembunyi dalam perjalanan spiritual manusia adalah kesombongan. Merasa lebih dari yang lain. Selama kesombongan itu melekat padanya, ia belum dikatakan berhasil melunasi kewajiban kehambaan dan memenuhi hak ketuhanan.

Jika belum rendah hati, jika belum merasa rendah di hadapan Tuhan yang Maha Tinggi, ia belum menjadi kawula. Ia masih jemawa, dalam arti menempatkan diri sebagai orang yang berani bertandingan di depan Sang Gusti.

Padahal, Gusti itu Esa, tiada Gusti selain Allah. Karena itu, sombong pada hakikatnya adalah berperang melawan Allah. Dalam peperangan itu, pemenang dan pecundangnya sudah jelas. “Tidak bakal masuk surga”, sabda baginda Rasul dalam suatu hadis, “orang yang dalam hatinya terdapat kesombongan.” Allah berfirman dalam sebuah hadis qudsi, “Kesombongan adalah jubah-Ku. Keagungan adalah sarung-Ku. Siapa pun yang merebut salah satu di antara keduanya dari-Ku, Aku buang dia ke neraka dan Aku tidak peduli.”

Dalam hadis yang lain, baginda Rasul mengingatkan, “Siapa yang menganggap dirinya besar dan bersikap sombong dalam berjalan, ia akan menemui Allah dalam keadaan amat marah kepadanya.”

Dalam surat Al-Fatihah sendiri pun membagi manusia menjadi tiga golongan, yaitu golongan penempuh jalan lurus, golongan yang dimurkai, dan golongan yang sesat. Orang sombong rupanya termasuk dalam golongan manusia yang dimurkai.

Karena itu, baginda Rasul bersikap rendah hati dan menasihati umatnya untuk menjauhi kesombongan. Beliau melarang sahabatnya yang laki-laki mengenakan celana yang panjangnya melebihi mata kaki. Pada masanya, gaya berpakaian seperti itu mencerminkan sikap sombong, pamer, dan bermewah-mewah. Bangsawan dan hartawan yang bergaya pakaian demikian itu, merasa lebih dari yang lain. Pangkal perasaan lebih dari yang lain ini adalah perasaan mempunyai.

Padahal, Al-Quran menegaskan Allah Maha Kaya (al-Ghaniyy), sedangkan manusia tidak punya apa pun (al-faqir) di hadapan Allah. Baginda Rasul hidup dalam kerendahan hati, meskipun beliau sebaik-baiknya makhluk, khair al-khalq. Begitu tinggi kedudukan spiritualnya. Walaupun demikian, beliau bertingkah laku tetap sebagai kawula (abdun).

Abdun, sebagaimana diisyaratkan dalam ayat pertama surat al-Isra, merupakan gelar kebesaran beliau. Baginda Rasul itu, kenang Syaikh al-Barzanji, amat rendah hati. Beliau ndandani sendiri sandalnya, menambal sendiri pakaiannya, dan memerah sendiri susu kambingnya. Beliau juga melayani keluarganya dengan cara yang menyenangkan.

Karyenak tyasing sesami, demikian Mangkunegara IV dalam Serat Wedhatama membahasakan pekerti luhur baginda Rasul. Karena itu, kalau kita yang tiada artinya ini tidak berusaha bersikap rendah hati, apakah kita tidak malu dengan baginda Rasul? Sekiranya beliau berkenan menemui kita, mau ditaruh mana muka yang congkak ini? Pantaskah kita mengaku-ngaku sebagai umat dan pengikut beliau. Bahkan mengharap syafaat dari beliau, jika kita masih memelihara kesombongan?

Agar kita terbebas dari kesombongan, kita pun dapat belajar dari para leluhur kita dahulu. Ulama Jawa dulu mengikuti sunnah baginda Rasul dengan sungguh-sungguh, pertama-tama pada ranah hakikatnya dengan mewasiatkan kepada anak-cucunya untuk aja dumeh. Maknanya, jangan mentang-mentang, jangan sok, jangan merasa lebih, jangan merasa mempunyai.

Selain berpotensi menyakiti hati orang lain, sikap dumeh juga mendatangkan murka Ilahi. Ke-dumeh-an adalah rintangan tersembunyi yang menggagalkan perjalanan spiritual kita, mi’raj kita, taubat kita. Dalam surat al-Furqon [25]: 63 yang terukir pada langit-langit pendapa Masjid Agung Manunggal Bantul, barangkali menjadi bahan renungan yang baik untuk kita semua.

Dan hamba-hamba Tuhan yang Maha Penyayang itu (ialah) orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata (yang mengandung) keselamatan.

Mudah-mudahan Allah berkenan membersihkan hati kita, khususnya untuk penulis yang sok tahu ini dari kesombongan. Amin.  

 


Category : kolom

SHARE THIS POST


ABOUT THE AUTHOR

Kalananta