Agama sebagai Pedoman dan Solusi Sehat Mental

slider
20 Desember 2023
|
1584

Ngaji Filsafat pada 6 Desember 2023 mengangkat tema “Agama dan Kesehatan Mental”. Tema ini dirasa sangat dibutuhkan anak-anak muda di tengah maraknya fenomena bunuh diri. Berdasarkan data Pusat Informasi Kriminal Nasional Kepolisian RI, tercatat 971 kasus bunuh diri di Indonesia sepanjang periode Januari hingga 18 Oktober 2023. Pembahasan mengenai bunuh diri bersangkutan dengan kesehatan mental yang sering dilekatkan pada Generasi Z.

Di sisi lain, agama memiliki perspektif tertentu dalam memandang kesehatan mental. Lalu bagaimana peran agama dalam memperbaiki kesehatan mental? Dan apa saja yang seharusnya Gen Z lakukan untuk melepaskan belenggu-belenggu gangguan mental itu?

Lima Ranah Sehat Mental

Dalam memaknai apa itu kesehatan mental, maka harus tahu ranah-ranah kesehatan mental. Pertama, meaning. Meaning yakni hidup penuh makna dan memiliki tujuan. Meaning di sini tidak sekadar memiliki cita-cita tetapi juga mampu menjawab pertanyaan “Mengapa saya ada di dunia ini?”.

Kedua, value. Value yakni hidup dengan menghargai kepercayaan dan tatanan (standar-standar). Artinya dalam hidup, kita perlu memperjuangkan dan mempertahankan nilai-nilai yang kita anggap bermakna.

Contoh: selama bekerja, karyawan mempertahankan nilai integritas tidak hanya untuk atasan tetapi juga untuk diri sendiri. Apakah ada manusia di dunia ini yang tidak terikat dengan nilai? Sebebas-bebasnya seseorang pasti terikat pada nilai, bahkan nilai kebebasan itu sendiri. Orang yang tidak memperjuangkan nilai maka dianggap tidak menghargai tatanan-tatanan (sosial) sehingga akan menghambat dirinya sendiri untuk berkembang.

Ketiga, transcendence, yaitu hidup dengan menerima adanya dimensi ‘tertinggi’ yang melampaui dirinya sendiri. Lebih mudahnya dapat ditangkap sebagai pengakuan bahwa ada sesuatu atau orang yang lebih hebat dari kita.

Keempat, connecting. Connecting yaitu sebuah keterhubungan manusia dengan manusia yang lain. Keterhubungan inilah yang bisa mendifusikan hal-hal positif dan terkadang juga hal-hal negatif kepada diri manusia. Manusia sifatnya mudah berubah tergantung lingkungan, maka dengan kesadaran ini seharusnya ada kesadaran mencari lingkungan yang bersifat positif.

Terakhir, becoming, yakni hidup sambil melakukan refleksi, memahami diri, dan membuka diri untuk perubahan ke arah yang lebih baik. Dalam hal ini perlu ditanamkan ke dalam diri bahwa diri ini ‘belum baik’ sehingga terus berusaha untuk memperbaiki diri. Jika sudah merasa ‘baik’ maka upaya untuk refleksi dan meningkatkan kualitas diri menjadi menurun.

Level-level Kesehatan Mental

Secara level kesehatan mental, pertama, no distress; sehat-normal. Kedua, mental distress; berada dalam level ringan yakni tekanan yang bisa diatasi diri sendiri. Ketiga, mental health problem; berada dalam level sedang, mulai terdapat gangguan fungsional yang signifikan. Keempat, pikiran; level mental yang cenderung negatif seperti panik, berdampak pada fisik, mudah lelah, dan bahkan merasa sakit atau nyeri. Kelima, mental illness; sudah parah seperti gangguan fungsional yang persisten. Kondisi ini merupakan kondisi medis yang didiagnosis oleh professional kesehatan terlatih.

Ciri Sehat Mental

Terdapat beberapa kualifikasi seseorang dapat dikatakan sehat mental. Setidaknya ada delapan ciri-ciri sehat mental.

Pertama, keseimbangan emosional; bisa mengatasi emosi-emosi yang timbul dalam dirinya sendiri. Memiliki keseimbangan emosional bukan berarti tidak memiliki emosi-emosi seperti marah, sedih, kecewa, dan emosi lainnya, tetapi bagaimana emosi tersebut dapat pulih dalam jangka waktu yang relatif singkat dan juga tidak merugikan diri sendiri maupun orang lain.

Kedua, ketahanan terhadap stress: Pak Fahruddin Faiz menuturkan bahwa hidup itu selalu memiliki tekanan. Ada tekanan dengan level ringan hingga berat. Daya tahan terhadap tekanan yang dimiliki setiap manusia juga berbeda-beda. Adakalanya masalah yang ada itu berat tetapi daya tahan tekanannya besar sehingga tidak begitu merasa tertekan. Ada juga masalah yang dihadapi cenderung ringan tetapi daya tahannya kecil, sehingga merasa tertekan.

Ketiga, hubungan sosial yang sehat; mental yang sehat juga diindikasikan dengan kemampuan bersosial yang baik. Orang yang memiliki kesehatan mental yang baik akan berhasrat untuk berkomunikasi dan tidak menutup diri dari orang-orang sekitarnya.

Keempat, percaya diri; orang yang sehat mental akan berpikiran positif dan optimis dalam melakukan kegiatan-kegiatannya. Kepercayaan diri muncul sebagai bentuk optimisme.

Kelima, kemampuan pengambilan keputusan; kemampuan memantapkan hati, percaya diri untuk mengambil keputusan yang diyakini benar.

Keenam, fleksibilitas psikologis; bersikap adaptif yaitu menyikapi perubahan yang terjadi. Menyadari bahwa hidup ini selalu dinamis dan banyak hal yang terjadi di luar rencana. Dengan kemampuan beradaptasi, mental seseorang akan lebih siap dan meminimalisir emosi-emosi negatif yang dihasilkan dari perubahan.

Ketujuh, rasa kepuasan hidup; rasa puas di sini ditandai dengan bersyukur dan tidak banyak mengeluh. Jika masih banyak keluhan maka harus mencari celah kehidupan yang bisa kita syukuri.

Kedelapan, kemandirian; bisa hidup tanpa bergantung pada banyak hal di luar diri. Kita bisa menjalankan kebutuhan kita, keinginan kita, bahkan membahagiakan diri kita sendiri. Semakin mandiri seseorang maka semakin sehat mental, karena untuk hidup, bahagia, mencapai sesuatu tidak menunggu orang lain mewujudkannya.

“Apakah Aku Normal?”

Banyak orang menolak dan enggan memvalidasi perasaan-perasaan emosional yang melekat pada dirinya sendiri. Keengganan tersebut disebabkan oleh sebuah interpretasi bahwa merasakan emosi-emosi negatif mengindikasikan bahwa seseorang tidak normal. Untuk menjelaskan hal ini Pak Faiz mengartikan sebuah quotes berikut:

“Engkau tidak harus berusaha positif sepanjang waktu. Merasa sedih, marah, kesal, frustasi, takut, dan cemas adalah hal yang wajar. Memiliki perasaan seperti itu tidak menjadikanmu orang yang negatif, namun hanya menjadikanmmu manusia.”

Dalam kutipan ini cukup jelas bahwa memiliki perasaan-perasaan seperti itu adalah manusiawi dan tidak masalah, namun yang disorot adalah respons atau sikap kita terhadap perasaan-perasaan tersebut. Kembali pada ciri sehat mental yang pertama keseimbangan emosional, yaitu tentang bagaimana kita mengolah perasaan-perasaan tersebut menjadi energi positif kembali.

Lagi pula, pengklasifikasian normal atau tidak normal bergantung pada parameter yang digunakan atau pendekatan apa yang digunakan. Sedikitnya ada enam pendekatan dalam pelabelan normal atau tidak normal suatu kondisi.

Pertama, pendekatan sosio-kultural; sesuai kewajaran dan penerimaan masyarakat. Misalnya dalam beberapa budaya, menghabiskan makanan yang disuguhkan dianggap normal, tetapi di budaya lain hal tersebut dianggap tidak normal atau diangggap tidak pantas secara etika.

Kedua, pendekatan fungsional; berdasarkan kemandirian, keterlibatan, dan peran di tengah masyarakat. Misalnya mampu makan dan berpakaian sendiri, mencari pekerjaan, berteman, dan lain sebagainya. Dan orang yang tidak bisa mandiri seperti itu disebut tidak normal.

Ketiga, pendekatan sejarah; bergantung pada zaman ketika penilaian itu dibuat. Misalnya dulu guru memukul muridnya untuk menegur dipandang biasa. Tetapi saat ini dipandang tidak lazim danbahkan bisa berurusan dengan hukum.

Keempat, pendekatan situasional; mengacu pada situasi di mana perilaku tersebut terjadi. Misalnya baju tidur normalnya dipakai di kamar atau di dalam rumah, menjadi tidak normal jika dipakai ke sekolah atau untuk pergi jalan-jalan.

Kelima, pendekatan medis; berdasarkan penyebab biologis melalui diagnosis dan perlu diobati oleh tenaga professional.

Keenam, pendekatan statistik; berdasarkan pengalaman dan perilaku mayoritas masyarakat pada umumnya.

Sadar Kemungkinan Kita “tidak baik-baik saja”

Self-diagnos tentu tidak dianjurkan jika semakin memperburuk keadaan diri. Tetapi kesadaran diri itu penting untuk mencegah dan untuk memikirkan langkah apa yang selanjutnya diambil. Ada beberapa hal yang patut kita jadikan refleksi tentang kesehatan mental kita yaitu dapat terlihat dari perubahan mood, perubahan pola tidur, perubahan berat badan, isolasi sosial, gangguan konsentrasi, perubahan tingkat energi, perubahan dalam pola pikiran dan perspepsi, perubahan perilaku, pesimis, dan gangguan fisik.

Perubahan suasana hati yang drastis dan ekstrim seperti perasaan sedih yang mendalam mengindikasikan bahwa mental kita sedang “tidak baik-baik saja”. Selanjutnya adalah perubahan pola tidur seperti kesulitan tidur atau bahkan berlebihan tidur yang tidak biasa. Biasanya orang yang sulit tidur juga mengalami perubahan berat badan akibat emosional eating yang berubah. Dampaknya berat badan bisa berkurang atau bertambah dengan signifikan. Hal lain yang tak jarang dilakukan yaitu isolasi sosial. Isolasi sosial ini tentu berlawanan dengan ciri sehat mental ketiga. Isolasi di sini yaitu menarik diri dari hubungan sosial baik teman, keluarga, atau bahkan aktivitas sosial. Menarik diri dari sosial membuat manusia akan mengalami perubahan tingkat energi.

Perubahan energi secara drastis dalam tingkat energi baik itu kelelahan yang berlebihan atau kegembiraan yang berlebihan juga menjadi sinyal untuk merefleksi diri. Hal yang sering kita sepelekan seperti gangguan konsentrasi tidak hanya mengindikasikan masalah kesehatan fisik tetapi juga mental. Gejala yang muncul seperti kesulitan konsentrasi, kebingungan, atau kesulitan membuat keputusan.

Beberapa indikator untuk melakukan refleksi kesehatan mental ini bersifat vertikal atau bertingkat. Perubahan persepsi, perilaku, perasaan, dan gangguan fisik sudah berada dalam Tingkat yang lebih diwaspadai. Perubahan pola pikiran dan perspepsi; munculnya pikiran atau persepsi yang tidak biasa, seperti delusi atau halusinasi. Bisa juga berupa perasaan sedih berlebihan atas persepsi yang sebenarnya tidak terjadi.

Dari persepsi juga berdampak pada perubahan perilaku yang menjadi impulsif atau agresif seperti tiba-tiba sensitif, mudah tersinggung, dan mudah marah. Hal ini juga disertai perasaan yang mudah putus asa dan bahkan merasa diri ini tidak bernilai hingga akhirnya kehilangan minat pada aktivitas yang sebelumnya dinikmati. Dan indikator terakhir adalah gangguan fisik. Muncul gejala fisik yang tidak dapat dijelaskan secara medis seperti sakit kepala atau nyeri tubuh tanpa penyebab yang jelas. Ini biasa disebut psikosomatis yakni pikiran-pikiran negatif yang terproyeksi menjadi gangguan fisik.

Kesehatan Mental di Mata Filosof

 

Aristoteles

Keseimbangan antara berbagai aspek kehidupan menghindari perasaan ekstrem dan hidup dengan kesederhanaan

Epikuros

Keinginan mendapatkan kenikmatan yang alamiah dan tidak berlebihan/sewajarnya

Stoikisme

Kendali atas pikiran dan emosi, bijaksana, tau mana yang dapat diubah dan mana yang tidak

Sigmud Freud

Keseimbangan internal batin dan mengendalikan bawah sadar

Viktor Frankl

kesadaran tujuan dan makna hidup

 

Lalu Bagaimana Agama Berperan?

Sebelum itu, dipaparkan terlebih dahulu pandangan para filosof terhadap agama. Pandangan dari Thomas Aquinas, bahwa pikiran manusia itu terbatas, agama memberikan pemahaman yang lebih mendalam tentang kebenaran.

Dari Immanuel Kant, bahwa agama adalah sebuah jalan untuk memotivasi tindakan dan kepatuhan moral. Kant memiliki argumentasi bahwa setiap manusia memiliki kewajiban untuk hidup sesuai aturan moral. Tetapi ajaran moral tersebut butuh disandarkan kepada Tuhan dan agama.

Di dunia ini banyak terlihat orang-orang yang mengikuti nilai moral tidak mendapatkan apa-apa di dunia, sedangkan orang-orang yang melanggar moral justru mendapatkan apa yang dia inginkan. Karena itu, Kant percaya bahwa setelah kematian di dunia pasti ada tempat di mana manusia mendapatkan keadilan atas kebaikan yang telah diperbuat.

Dari Arthur Schopenhauer; bahwa agama adalah salah satu jalan untuk mengatasi penderitaan dan ketidakpuasan hidup.

Dari Emile Durkheim; bahwa agama sebagai sarana untuk memperkuat kesadaran kolektif.

Menurut seorang filsuf Carl Jung, agama secara spesifik penting untuk psikis manusia, yaitu yang pertama sebagai arketipe dan simbol. Jung memperkenalkan konsep arketipe. Arketipe ini menjadi mimpi-mimpi ideal bagi seorang manusia.

Menurut Jung, simbol-simbol agama mencerminkan arketipe-arketipe yang merupakan ekspresi dari struktur dasar alam bawah sadar kolektif manusia. Misal, manusia menghendaki bahwa orang baik akan mendapatkan pahala dan orang jahat mendapat siksa. Hal-hal semacam inilah yang terdapat dalam agama dan memenuhi keinginan bawah sadar manusia.

Kedua adalah pertumbuhan pribadi (self-realization). Agama adalah sarana untuk pertumbuhan pribadi dan perkembangan individu. Simbol-simbol agama dapat membantu seseorang mengintegrasikan berbagai aspek kehidupannya. Banyak hal-hal di dalam diri yang berkembang karena agama. Misalnya sikap jujur, rela berkorban, sabar dan lain-lain tertuang pada ajaran agama.

Ketiga adalah spiritualitas dan transendensi. Agama adalah salah satu cara untuk memahami dan mengakses ke dalam diri manusia yang lebih dalam, yaitu dimensi dimensi spiritual dan transenden. Konsep “pneuma” (roh) dan “anima/animus” dalam psikologi analitisnya mencerminkan ketertarikannya pada dimensi spiritualitas.

Terakhir adalah menyeimbangkan psikis. Agama memiliki fungsi psikologis yang penting dalam menyeimbangkan psikis individu dan masyarakat. Ritual dan simbol agama dapat membantu mengatasi ketidakseimbangan psikologis dan memberikan makna pada pengalaman hidup.

Peran Agama dalam Perspektif Psikologi Islam

Peran agama dalam perspektif psikologi islam menurut Imam Ghazali, Ibnu Qoyyim Al-Jauzi, dan ulama-ulama lain memenuhi beberapa dimensi yaitu sebagai berikut.

 

Fitrah

Psikologi Islam meyakini bahwa setiap individu dilahirkan dengan fitrah yang bersih dan cenderung kepada kebenaran dan mengakui/mencari keberadaan Tuhan. Sehingga ketika orang tidak bertuhan maka ia akan merasa terdapat sesuatu yang hilang karena hal ini fitrah. Dalam pandangan ini sangat mungkin bahwa seseorang mengalami gangguan-gangguan mental dari tingkat ringan-berat karena seseorang jauh dari Tuhan.

Akidah

Keyakinan seseorang terhadap Tuhan, dll memainkan peran penting dalam membentuk persepsi dan pola pikir seseorang terhadap dunia. Menyadari bahwa hidup ini ilaihi rojiun semuanya kembali kepada Allah tidak perlu sedih dan kecewa berlebihan.

Takwa

Takwa (kesadaran dan ketaatan seseorang kepada Allah), dapat membentuk kepribadian yang kuat dan memberikan panduan moral dalam kehidupan sehari-hari.

Muhasabah

Intropeksi diri dan evaluasi terhadap perbuatan, pikiran, dan perasaan, demi perbaikan diri

Sabar dan Syukur

Agama mendidik manusia untuk sabar dan bersyukur. Sabar dalam menghadapi cobaan dan syukur atas nikmat-nikmat Allah dapat membentuk kestabilan emosional dan psikologis

Ihsan

Konsep ihsan mengajarkan untuk berbuat baik dan mencapai kesempurnaan dalam segala aspek kehidupan termasuk keseimbangan jiwa. Segala hal merujuk pada lillahita’ala bukan pada hal-hal pamrih sehingga ketida semua hal disandarkan pada Allah maka sedikit sekali celah untuk cemas, khawatir, jengkel, dan perasaan-perasaan yang mengganggu psikis kita.

 

Dalam kitab Ihya’ Ulumiddin Imam Ghazali juga memberikan tips menghadapi kesehatan mental. Untuk mengatasi degradasi moral maka diatasi dengan taubat dan tazkiyat al-nafs (tidak mengulangi perbuatan-perbuatan yang membuat hati resah/maksiat).

Hampa makna dan tujuan maka zuhud dan qanaah (qonaah; merasa cukup terhadap apa yang sudah dimiliki saat ini, dan zuhud adalah mengurangi keterikatan terhadap hal-hal duniawi).

Hampa spiritual dan nilai maka riyadah dan mujahadah (riyadah; latihan/bentuklah diri supaya memiliki nilai dan bermanfaat bagi orang lain. Jangan menunggu waktu tapi bentuklah diri mulai saat ini. mujahadah; berdoa kepada Allah).

Pengendalian diri melalui khauf dan raja’ (khauf berupa rasa takut kepada Allah, sedangkan raja’ berupa berharap kepada Allah). Keduanya harus seimbang. Rasa takut tanpa adanya rasa berharap menimbulkan keputusasaan. Begitu juga sebaliknya rasa berharap tanpa rasa takut menghasilkan karakter menyepelekan/berlaku seenaknya).

Stress dan frustasi diobati melalui sabar. Sabar itu ada sabar pasif dan sabar aktif. Sabar pasif ketika kita ditimpa sesuatu yaitu dengan siap menanggung segala ketetapan Allah sedangkan sabar aktif ketika kita menjalani sesuatu berwujud dalam keistiqomahan. Kecemasan akan masa depan diredakan dengan tawakal setelah ikhtiar.

Lalu, Apa yang Harus Kita Lakukan?

Dalam mengatasi kesehatan mental, kita dapat melakukan, pertama, isolation; membuang pikiran dan perasaan destruktif. Kedua, anchoring; dedikasikan untuk nilai-nilai tertentu dan komitmen praktis yang memberikan individu rasa nyaman dan berarti. Maksudnya yaitu mencari nilai yang lebih penting daripada nilai dari masalah yang dihadapi. Misalnya ketika dihadapkan pada situasi berhenti kuliah karena keterbatasan ekonomi, maka mengambil hikmah bahwa kuliah dapat diteruskan di lain waktu dan bekerja adalah opsi yang tepat untuk membahagiakan orang tua.

Ketiga, distraction; mengalihkan perhatian dari masalah yang menggelisahkan dan menyiksa. Misalnya melakukan hobi atau pekerjaan positif lainnya. Keempat, sublimation; menggunakan rasa sakit untuk hal-hal produktif-kreatif, seperti seni. Energi kesedihan digunakan sebagai energi menghasilkan karya. Kelima, reflection, contemplation, mindfullness; mencari makna atau hikmah dalam setiap peristiwa yang dihadapi. Terakhir, agama; kembali kepada Allah.

Referensi:

Ngaji Filsafat 414: Agama dan Kesehatan Mental edisi Ihwal Agama, bersama Dr. Fahruddin Faiz, bertempat di Masjid Jendral Sudirman Yogyakarta, pada Rabu, 6 Desember 2023.


Category : catatan santri

SHARE THIS POST


ABOUT THE AUTHOR

Qonita Salma

Mahasiswi Antropologi, FISIP, Universitas Airlangga, Surabaya