Agama dalam Genggaman Teknologi: Apakah Ruang Digital dapat Mereduksi Makna Religiositas?

slider
30 Januari 2025
|
594

Judul: Digital Religion: The Basics | Penulis: Wendi Bellar dan Heidi A. Campbell | Penerbit: Routledge, 2022 | Tebal: 178 halaman | ISBN: 9780367528102

Di era postmodernisme ini, agama tidak hanya hadir di tempat-tempat ibadah konvensional maupun dalam tradisi lisan yang diwariskan lintas generasi. Agama telah bermigrasi ke dalam ruang digital, beradaptasi dengan perkembangan teknologi yang terus bergerak.

Ketika ritual keagamaan berpindah ke ruang digital, dan berbagai pengetahuan keagamaan kini disampaikan dalam bentuk unggahan media sosial, kita perlu menanyakan kembali: Apakah makna religiositas masih autentik, atau tereduksi menjadi sekadar tampilan digital?

Di tengah arus teknologi yang terus mendefinisikan ulang cara manusia berkeyakinan, buku Digital Religion: The Basics karya Wendi Bellar dan Heidi A. Campbell mengeksplorasi apakah pergeseran ini adalah sebuah inovasi spiritual atau justru distorsi makna religius yang sejati.

Dalam buku Digital Religion: The Basics, dua penulis tersebut menguraikan kajian mendalam terhadap karakteristik utama agama digital yang terbagi menjadi beberapa bab. Masing-masing bab mengeksplorasi aspek kunci dari agama digital, seperti networked community (komunitas jaringan), convergent practice (praktik konvergen), dan shifting authority (pergeseran otoritas).

Campbell menggarisbawahi bagaimana tradisi keagamaan kini beradaptasi dengan karakteristik budaya digital, yang sering kali mendobrak batas-batas otoritas religius tradisional dan memungkinkan pembentukan identitas religius yang lebih dinamis. Buku ini sedikit banyak menghadirkan pemahaman segar terkait bagaimana iman dan teknologi saling bersilangan. Bukan hanya sekadar pengantar sederhana, buku ini menjadi pintu masuk penting untuk memahami bagaimana ruang digital memberikan pengaruh terhadap cara manusia merasakan, mempraktikan, dan mendefinisikan agama di abad ke-21.

Untuk mengawali pembahasan dalam tulisannya, Campbell dan Bellar menyampaikan pertanyaan “What is digital religion?” sebagai pemantik untuk menjelaskan status ontologis dari Digital Religion. Agama digital didefinisikan sebagai bentuk bagaimana agama dihidupi dalam ruang digital, yang tidak hanya melibatkan praktik keagamaan online, tetapi juga bagaimana nilai-nilai dan ritual agama beradaptasi dan berevolusi di dunia yang semakin terkoneksi secara digital. Pada bagian ini menelusuri perkembangan agama di internet, mulai dari percakapan awal usenet pada 1980-an hingga kemunculan komunitas virtual yang berfokus pada diskusi dan ritual agama. Kedua penulis juga menegaskan bagaimana studi tentang agama digital menjadi disiplin ilmu baru yang multidisipliner, melibatkan Sosiologi, Teologi, Studi Media, dan Teknologi.

Setelah mengetahui tentang agama dan teknologi yang saling berinteraksi dalam konsep agama digital, penting untuk melihat konsep ini diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari. Salah satu manifestasi utamanya adalah terkonstruknya komunitas-komunitas religius baru yang berkembang dan terhubung melalui jaringan digital. Dalam bab berikutnya, pembaca dibawa untuk mendiskusikan kembali tentang komunitas berbasis jaringan (networked community), di mana interaksi online menjadi kunci dalam menjaga keterhubungan antar umat.

Dalam dunia pra-digital, komunitas keagamaan biasanya dibatasi oleh wilayah geografis atau struktur institusional seperti gereja, masjid, atau kuil. Namun, dengan adanya teknologi digital, komunitas religius kini dibentuk melalui jaringan sosial yang lebih fleksibel dan dinamis. Campbell menunjukkan bahwa komunitas ini tidak lagi bergantung pada keterlibatan fisik, tetapi dapat dijalin melalui interaksi di platform digital seperti Zoom, Facebook Groups, dan WhatsApp.

Ketika komunitas religius mulai bertransformasi menjadi lebih fleksibel dan terhubung secara digital, cara mereka mempraktikan agama juga mengalami perubahan. Kini, praktik keagamaan tidak lagi terbatas pada ritual tradisional, tetapi menyatu dengan elemen digital, menciptakan sebuah harmoni antara dunia online dan offline. Ini yang disebut Campbell dan Bellar sebagai praktik konvergen (convergent practice), yakni individu mampu memanfaatkan teknologi digital untuk memperkaya pengalaman spiritual mereka.

Misalnya, seorang muslim mungkin mengikuti kajian online di YouTube, kemudian mengaplikasikan pelajarannya dalam kehidupan sehari-hari. Fenomena yang diangkat dalam buku ini juga terkait meditasi yang dipandu melalui aplikasi atau kelompok diskusi keagamaan di paltform seperti Discord sebagai contoh dari praktik konvergen.

Dapat dikatakan bahwa agama di era digital tidak lagi terkotak-kotak antara dunia offline dan online, tetapi keduanya saling berkelindan dalam menciptakan pengalaman religius. Dengan praktik keagamaan yang semakin menggabungkan ruang online dan offlline, pengalaman religius tidak lagi terbatas pada satu ruang dan waktu. Dari sini, pembaca dibawa masuk ke dalam realitas multisitus (multisite reality), di mana pengalaman spiritual tersebar di berbagai platform digital secara simultan, menciptakan jaringan praktik religius yang terfragmentasi namun tetap terhubung.

Saat pengalaman religius menjadi semakin terdistribusi di berbagai ruang digital, pergeseran otoritas (shiting authority), tidak bisa dihindari. Dengan realitas yang tersebar di berbagai platform, otoritas religius tradisional mulai menghadapi tantangan dari aktor-aktir baru di ruang digital. Di sini terjadi pergeseran otoritas di mana pengaruh tidak lagi eksklusif dipegang oleh institusi formal, tetapi juga oleh individu-individu yang membangun eksistensi mereka secara online.

Dengan kemunculan konten user-generated, banyak tokoh agama baru yang memperoleh pengaruh besar di kalangan audiens di media sosial. Contoh konkret yang diangkat adalah cara seorang influencer agama di Instagram atau YouTube dapat memiliki jutaan pengikut yang memandang mereka sebagai otoritas dalam masalah keagamaan. Campbell dan Bellar juga mengulas bagaimana pergeseran ini memicu pertanyaan terkait otoritas yang sah dalam agama: Apakah otoritas keagamaan kini menjadi lebih terdistribusi atau justru mengalami distorsi dengan munculnya berbagai sumber informasi yang beragam?

Dengan bergesernya otoritas, narasi identitas keagamaan pun menjadi lebih dinamis (storied identity). Identitas religius tidak lagi bersifat statis atau kaku, melainkan terus berkembang dan berubah sesuai dengan narasi yang dibangun di berabagai platform digital. Kedua penulis menyoroti bahwa identitas di era digital bersifat lebih cair, di mana seorang individu dapat dengan mudah memadukan identitas keagamaan dengan identitas sosial lainnya.

Misalnya, seorang anak muda muslim mungkin mengekspresikan identitas keagamaannya melalui postingan Instagram yang sekaligus mencerminkan identitas budaya atau sosial lainnya. Dari sini, narasi identitas lebih kompleks dan beragam, tetapi di sisi lain dapat memicu fragmentasi dalam pemahaman keagamaan.

Sementara itu, di tengah transformasi identitas yang begitu dinamis, muncul pertanyaan mendasar: Apakah pengalaman spiritual di era digital ini masih dapat dianggap autentik? dalam bab terakhir buku Digital Religion: The Basics, pembaca dibawa masuk untuk menyelami salah satu isu yang paling penting dan kompleks dalam agama digital.

Campbell dan Bellar berangkat dari premis bahwa di dunia digital, pengalaman keagamaan tidak hanya dimediasi melalui teknologi, tetapi juga diadaptasi dan bahkan sering kali direduksi dalam bentuk-bentuk baru yang lebih sederhana dan cepat. Berbagai contoh konkret dalam bab pembahasan autentisitas pengalaman spiritual (experiental authenticity) dijabarkan.

Misalnya, penggunaan aplikasi meditasi, seperti Calm dan Headspace, yang membantu pengguna melakukan meditasi harian. Aplikasi semacam ini menawarkan pendekatan yang instan dan personal, tetapi pertanyaannya adalah: Apakah pengalaman meditasi ini setara dengan meditasi tradisional yang melibatkan ritual dan bimbingan langsung? Pengalaman keagamaan yang dimediasi oleh teknologi ini dipandang dapat menyederhanakan proses spiritual sehingga lebih efisien untuk diakses, namun apakah itu mengorbankan kedalaman dan keautentikan?

Di akhir bab, Campbell dan Bellar mencoba mengeksplorasi berbagai pendekatan yang digunakan oleh komunitas religius untuk mengevaluasi autentisitas dalam konteks digital. Beberapa kelompok mencoba mempertahankan makna religius tradisional dengan beradaptasi pada konteks digital tanpa kehilangan esensi spiritualnya. Di sisi lain, ada komunitas yang justru melihat digitalisasi sebagai peluang untuk memperbarui makna autentisitas, yang tidak lagi tergantung pada fisik, tetapi pada niat dan kualitas pengalaman spiritual itu sendiri.

Maka, autentisitas dalam agama di masa depan akan terus berkembang, seiring dengan kemajuan teknologi yang semakin menjadi bagian integral dari kehidupan manusia. Meskipun teknologi digital menawarkan berbagai kemudahan, tantangan dalam mempertahankan autentisitas spiritual tetap menjadi isu yang relevan di masa mendatang.

Penjelasan dari tiap-tiap bab tersebut berujung pada sebuah refleksi sebagai pengingat umat beragama, bahwa teknologi tidak hanya mengubah cara kita berkomunikasi, tetapi juga cara beriman. Karya Campbell dan Bellar menggugah kesadaran bahwa agama digital tidak sekedar soal hadirnya ritual baru di ruang digital, tatapi tentang bagaimana kita, sebagai umat beragama terhubung dengan nilai-nilai spiritual, dan terus memaknai autentisitas di tengah keterbatasan fisik dan kecepatan dunia digital.

Kehadiran agama dalam bentuk digital layaknya pisau bermata dua, di satu sisi menawarkan aksesbilitas dna inklusivitas yang lebih luas, namun di sisi lain, berpotensi mereduksi kedalaman spiritual menjadi sekadar konten yang dikonsumsi dengan cepat. Di sini tantangan utama umat beragama, menjaga makna religiositas yang hakiki di tengah derasnya arus digitalisasi, tanpa kehilangan esensi yang membuat pengalaman spiritual kita tetap autentik dan bernilai.


Category : resensi

SHARE THIS POST


ABOUT THE AUTHOR

Siti Roisadul Nisok

Siti Roisadul Nisok is an M.Phil student in the Faculty of Philosophy at Gadjah Mada University, Yogyakarta, Indonesia. Her research interests include religious studies, digitization, philosophy, cultural studies, and interfaith dialogue. She can be reached on Instagram via the handle: @roisabukanraisa.