Adab Berdoa

16 Desember 2017
|
1065

Suatu hari, al-Qadhi ibn QurayÔÇÖah, seorang hakim agung di Baghdad, mengerjakan salat di rumah menteri sekaligus sastrawan bernama al-Muhallabi. Seperti merasa heran, Abu Ishaq al-ShabiÔÇÖi yang juga sedang berada di sana, melirik al-Qadhi. Menyadari bahwa dirinya dilirik, al-Qadhi lalu berkata kepada Abu Ishaq setelah salam, ÔÇ£Kenapa engkau melirikku, wahai saudara penganut agama ShabiÔÇÖah*? Apakah engkau tertarik pada syariat shafiyah (yang murni)?!ÔÇØ Abu Ishaq berkata, ÔÇ£Aku bahkan tidak mengerti apa yang engkau lakukan.ÔÇØ Al-Qadhi bertanya, ÔÇ£Apa itu? Abu Ishaq menjawab, ÔÇ£Engkau mengangkat kedua tanganmu ke arah langit dan merendahkan keningmu ke bumi (lantai). Di mana arah yang engkau inginkan?ÔÇØ Al-Qadhi berkata, ÔÇ£Sesungguhnya kami mengangkat kedua tangan kami ke sumber rezeki kami dan merendahkan kening kami dari anggota tubuh kami lainnya. Untuk yang pertama, kami meminta agar rezeki-rezeki kami diturunkan; dan untuk yang kedua, kami mencoba menahan keburukan anggota-anggota tubuh kami. Apakah engkau belum mendengar firman Allah Swt, ÔÇÿDan di langit terdapat (sebab-sebab) rezekimu dan apa yang dijanjikan kepadamuÔÇÖ (Al-Dzariyat [51]: 22) dan firman-Nya, ÔÇÿDarinya (tanah) itulah Kami menciptakan kamu dan kepadanyalah Kami akan mengeluarkan kamu pada waktu yang lain (Thaha [20]: 55)ÔÇÖ.ÔÇØ Al Muhallabi berkata, ÔÇ£Aku tidak mengira bahwa Allah Swt telah menciptakan orang sepertimu pada masamu!ÔÇØ Terkait salah satu adab berdoa, Thawus ibn Kisan al-Khawlani al-Hamdani berkata, ÔÇ£Nabi Saw pernah mendoakan sebuah kaum. Beliau mengangkat kedua tangannya lalu menengadahkan keduanya ke langit.ÔÇØ Bagi orang awam, adab berdoa Nabi Saw itu barangkali akan direspons dengan pemikiran semacam, ÔÇ£Sesungguhnya Allah Swt itu suci dari segala arah, maka bukankah menengadahkan tangan ke arah langit berarti mengandaikan bahwa Allah Swt memiliki tempat?ÔÇØ Al-Thurthusyi menanggapinya dengan mengatakan bahwa dalam beribadah kepada Tuhan, manusia mengangkat tangannya ke arah-Nya seolah-olah langit merupakan tempat dihaturkannya doa. Ini sebagaimana ketika mengerjakan ibadah salat, mereka menghadapkan wajah ke arah kiblat dan tanah, melekatkan dahi ke tanah (sujud) sambil menyucikan-Nya seraya berkonsentrasi pada Baitullah atau tempat sujud. Langit adalah tempat asal diturunkannya rezeki dan wahyu, tempat rahmat dan berkah. Dari langit pula, hujanÔÇösebagai rezekiÔÇöditurunkan ke bumi yang kemudian mengeluarkan keberkahannya dari bumi berupa tanaman dan tumbuh-tumbuhan. Langit adalah tempat tinggal para malaikat, dan ketika Allah Swt telah memutuskan sebuah perkara baik atau buruk, maka Dia akan mewahyukan kepada malaikat dan malaikat akan turun ke bumi untuk mengabarkannya kepada para nabi maupun rasul sehingga penduduk bumi mengetahui perkara tersebut. Begitupun ketika amalan-amalan manusia dihimpun atau dosa-dosanya diampuni, Allah Swt akan memberitahukan sekaligus meminta persaksian dari para malaikat. Di langit pula, Nabi Saw menjalani peristiwa miÔÇÖraj, di mana beliau dapat melihat orang-orang yang telah mati syahid serta para malaikat. Jadi, ketika langit merupakan muara bagi perkara-perkara agung dan juga bagi qada-qadar, maka bisa dikatakan bahwa langit adalah arah utama bagi kepastian dan keteguhan penciptaan. Di langit pula, terdapat rumah lain yang menjadi dambaan (surga) dan doa-doa yang diarahkan kepadanya.   Sumber: Al-MaÔÇÖtsurat karya Abu Bakr al-Thurthuyusi al-Andalusi (450-520 H). *ShabiÔÇÖah adalah agama yang dianut Abu Ishaq al-ShabiÔÇÖi yang hampir sama dengan syariat Shafiyah (agama Islam). Dalam ÔÇ£TaÔÇÖrifat al-ManawiÔÇØ disebutkan, penganut agama ShabiÔÇÖah meyakini bahwa mereka menganut agama Nabi Nuh as, dan kiblat mereka berada di sebelah utara saat tengah hari.

Category : kolom

SHARE THIS POST


ABOUT THE AUTHOR

Muhammad Yaser Arafat

Peneliti kebudayaan, aktif di Masjid Jendral Sudirman Yogyakarta.