Yatim dan Gerimis Cahaya

slider
08 November 2020
|
1568

Sebagai desa pesisir di utara Pati, Muji Mulyo serupa desa-desa pesisiran lainnya. Rentang kilometer yang terbilang panjang antara jarak pemukiman dengan pantai di utara desa, tanah di selatan desa ini masih bisa dipersawahkan. Tanam padi di musim hujan, lalu aneka sayur dan buah di masa yang tak begitu hujan. Pada musim kemarau panjang, sawah-sawah di sini kerontang, hingga muncul retakan-retakan di lantai sawah.

Saban harinya masyarakat lebih banyak bekerja di siang hari, makan masakan rumahan dan nonton tivi di malam hari. Langgar tak seramai di era para kakek 60-an dan sebayanya. Sekolahan di Muji Mulyo tak banyak. Satu SD Negeri, satu Madrasah Ibtidaiyah, satu TPA di masjid yang hanya aktif tiap sore hari. Di sanalah anak-anak bersekolah. Menikmati masa kecil dengan belajar dan berlarian. Tidak ada pasar, tidak ada toko besar.

Aman belum cukup dewasa. Ia merupakan bagian penghuni bangku SD di pagi hari. Sama seperti anak-anak sebaya lainnya, ia berangkat pagi pulang siang. Aman sering heran, kenapa selepas pulang sekolah ia tidak pernah melihat bapaknya. Setidaknya semenjak kenaikan kelas dari tahun pertama ke tahun kedua SD.

Di desa ini, Aman punya banyak teman bermain, Asril, Yudi, Bagus, Yuli, Yusuf. Anak-anak sebaya cukup banyak. Kebanyakan adalah tetangga rumah yang sekaligus kerabat darah.

Aman punya ibu. Darsinah namanya. Ibunya adalah seorang pengepak garam. Satu jenis pekerjaan yang tak bermodal uang. Hanya tenaga dan waktu. Setelah selesai masak dan memakaikan baju seragam sekolah Aman, Darsinah berangkat ke gudang tempat pengepakan garam milik Haji Manaf. Juragan garam termasyhur kedua di Desa Muji Mulyo.

Garam adalah poros kehidupan desa ini. Setiap masuk musim kemarau, petani garam menggarap kowen (tambak penghasil garam) untuk membuka ladang garam dan memanennya setiap hari. Walaupun hanya berlangsung selama musim kemarau, garam bisa mencukupi kebutuhan hidup setahun. Bahkan bila cukup mujur bisa untuk ongkos naik haji. Contohnya Haji Manaf, berangkat ke Mekkah dari hasil jualan garam.

Tapi bagi Darsinah, yang sudah tak punya suami dan tak punya lahan garapan sawah atau tambak, duit dari garam hanya cukup untuk hidup sehari-harinya. Bayaran tiap minggu, habis seminggu. Terkadang ada sisa beberapa, tapi habis pula akhirnya buat beli seragam anaknya dan bayar iuran ini-itu kebutuhan sekolah.

“Bapak kok wes suwe ura muleh yo, bu?” (Bapak kok sudah lama tidak pulang ya, bu). Aman yang rindu banyak uang jajan dan jalan-jalan sekeluarga ke kota di Sabtu sore, bertanya pada ibunya.

“Bapakmu kerja di Malaysia, untuk bikin rumah, beli tivi baru, dan sepeda motor”.

“Jangan tanya lagi, ya. Nanti kalau kamu sudah besar, sudah sekolah SMA, bapakmu pulang”.

Kadang setelah mandi sore, sebelum berangkat TPA ke Masjid Baitunnur, Aman ingin tahu kabar bapaknya. Sering ibunya bilang bahwa bapaknya bekerja ke luar negeri.

Anak seusia Aman, kelas tiga SD, belum cukup cerdas untuk membaca keganjilan. Saat Aman terbangun karena kebelet pipis, kadang ia lihat ibunya menangis. Bagi Aman, tak ada yang aneh. Ia menganggap hal itu lumprah saja. Ia belum mampu membaca tanda. Ia tidak cukup tanggap bahwa dulu, sebelum liburan akhir kelas satunya usai, selama seminggu penuh rumahnya selalu ramai tamu selepas Isya.

Rumah bertembok bata telanjang itu terlalu terang dari biasanya. Banyak lampu dipasang di kiri-kanan pelataran. Tamu-tamu itu terlalu rutin dan terlalu ramai. Saat itu, Aman malah senang karena bisa dapat banyak teman main kejar-kejaran, di sela-sela kendaraan parkir jamaah tahlilan.

Tak jauh dari rumah Aman, ada satu rumah yang ganjil. Rumah itu mirip rumah kosong saja. Pintu depan selalu tertutup. Pagi, siang, sore, dan malam hari, rumah limasan yang dindingnya separuh kayu jati itu selalu tertutup. Hanya pada setiap malam Jumat, sejak Magrib pintu depan sudah terbuka. Beberapa motor terlihat berparkir di depan rumah itu, menandakan ada tamu.

Mas Nur, pemilik rumah ganjil itu memang jarang keluar rumah. Jarang ikut jamaah di langgar. Paling hanya saat Jumatan saja ia keluar, bertemu tetangga yang sejamaah shalat Jumat.

Bagi warga Desa Muji Mulyo, Mas Nur tidak banyak akrab dengan tetangga. Ia memang tidak pernah absen setiap ada undangan hajatan. Nikahan, sunatan, tahlilan ia selalu hadir. Tetapi selalu tidak lama. Datang, ikut acara lalu berpamitan ketika acara selesai. Itupun jarang bicara.

Warga tidak pernah mempermasalahkan sikap Mas Nur itu, karena toh ia tidak pernah pelit senyum. Kepada siapa saja selalu tersenyum ketika bertemu. Menyapa dahulu sebelum disapa, kemudian berlalu begitu saja.

Ketika di rumah Aman ada tahlilan bapaknya yang, digandeng Izrail karena terpeleset jatuh dari lantai tiga saat mengecat toko juragan kecap, selama pitong ndino (tujuh hari) penuh Mas Nur tidak pernah absen. Malah selalu datang awal, namun suka duduk di belakang.

Masyarakat Muji Mulyo hanya tahu kalau Mas Nur adalah seorang buruh angkut ikan di pelabuhan. Itu karena seringkali saat bersalipan dengan tetangga, ia bilang mau ke pelabuhan. “Kerja”, demikian jawabnya.

Warga desa tidak banyak yang kenal dekat dengan Mas Nur. Ia tidak pernah ikut begadang main remi dan catur di warung Mbok Jumi. Warung yang biasa digunakan para kuli angkut garam dan pemuda senggang mangkal, menyampirkan lelah dan bosan di meja jajan. Biasanya mereka beli lontong tahu, mie rebus, atau hanya segelas kopi kental manis dan rokok eceran.

Aman semakin sering bertemu Mas Nur. Kadang sepulang sekolah, kadang selesai ngaji TPA.

Sewaktu bapaknya masih sering di rumah, bekerja nukang batu (profesi tukang yang khusus berurusan dengan semen dan pasir) Aman belum mengenal Mas Nur. Walupun jarak rumah mereka hanya satu rumah saja.

Saat bertemu, Aman selalu ditanya, “Sudah jajan belum, Man?”.

“Belum Lek Nur. Simbok tidak ngasih uang jajan”.

Lalu Mas Nur memberi Aman uang seribu atau kadang lima ribu. Buat jajan katanya.

Kadang Aman bercerita kepada ibunya kalau habis diberi uang oleh Mas Nur. Tapi seringkali Aman tidak cerita. Nanti malah dimarahi ibunya. Karena tak jarang ibunya jewer telinga Aman, kalau asal mau saja dikasih uang tetangga.

Darsinah memang sangat ketat dan disiplin kepada anaknya. Apalagi kalau urusan sekolah, belajar dan ngaji. Selain dijewer, bokong Aman jadi sasaran tersering diciwel (dicubit; cubitan tebal) dan dijiwet (dicubit; cubitan kecil) ibunya ketika ketahuan ramai di kelas atau bolos ngaji TPA.

“Kamu itu tak punya bapak, dadi kudu sregep sinau ben dadi wong” (jadi harus tekun belajar supaya menjadi orang; sukses).

Bapak kan kerjo, bu. Nek Malaysia…” (Bapak kan kerja, bu. Di Malaysia), pembelaan Aman sambil menangis terisak-isak, karena bokongnya yang sakit diciwel ibunya.

Sore itu Aman lesu. Tidak seperti biasanya. Ia hanya melihat saja teman-temannya bermain, duduk di bawah pohon asem, melihat teman-temannya bermain setin (kelereng).

Sudah seminggu sejak liburan semester kenaikan kelas, Aman belum diajak ibunya ke kota. Padahal tas ranselnya sudah bolong. Sepatunya sudah mangap (menganga) di ujung, lepas lemnya. Teman-temannya sudah cerita habis beli tas dan sepatu baru. Ada yang tasnya bergambar Upin-Ipin, ada yang Ultraman.

Aman bingung dan ingin. Kebingungan itu kadang sampai membuatnya menangis sendiri, ingat kepada bapaknya yang tak pulang-pulang.

Malam itu Aman tidur awal. Ia malas membuka mata terlalu lama. Sehabis shalat Isya di langgar Pak Mustofa, tak jauh dari rumahnya, Aman lekas tidur.

Ketika bangun, Aman kaget. Senang sekali hatinya, melihat di bawah mbale (tempat tidur) tergeletak tas merah gambar Ultraman, kotak sepatu baru, setumpuk buku tulis baru, dan … kotak tempat pensil komplit beserta isinya. Bahkan ada kaos dan baju baru.

Begitu gembiranya, Aman sampai meloncat dari kasur mengambil satu per satu barang-barang itu. Disentuhnya satu satu. Dielus-elus dan diciumi. Semua memang baru, dari baunya saja ia tahu kalau semua itu baru dibeli dari toko. Aman sangat hafal bau barang-barang baru. Bau yang menurut bahasa tetangga dan teman-temannya, ijeh mambu toko (masih bau toko).

***

Selepas shalat Magrib, Mas Nur memanggil istrinya yang masih mencuci piring di dapur.

Kene dhek (begini dek), saya mau ngomong”.

“Uang yang di lemari, sak yuto kae tak jupuke yo” (satu juta itu tak ambilnya ya).

“Tapi, itu kan duit tabungan kita, mas, untuk kebutuhan saben ndinane” (setiap harinya).

“Tidak ada sisa lagi lho, mas”.

“Duit kita ya tinggal itu”.

Ngene dhek, tak kandani (begini dik, saya ceritakan). Kamu tahu anaknya Lek Darsinah, Aman?”.

“Tadi sore, dia susah. Ngenes (susah mendalam), malu dengan teman-temannya. Belum punya tas dan sepatu baru.”

“Aku ini kan masih sehat, masih kuat kerja. Kamu juga kerja. Kalau soal rezeki, tak usah dipikir terlalu panjang. Wes ono seng mikirke, Gusti Allah” (Sudah ada yang memikirkan, Gusti Allah).

Sepakat. Dengan kesepahaman yang begitu saja, akhirnya Mas Nur mengambil uang tabungannya selama setahun. Uang yang dikumpulkan sedikit demi sedikit untuk tabungan keluarga. Diambil semuanya. Istrinya pun tidak terlihat protes.

Setelah itu ia berangkat ke kota, membeli tas, sepatu, buku, baju, kaos, dan amplop.

Sekitar jam delapan, Mas Nur bertamu ke rumah Darsinah. Jalan kaki. Karena memang rumah mereka tak berapa jauhnya. Setelah dipersilakan masuk, Mas Nur memberikan semua barang-barang yang dibelinya kepada Darsinah.

Tidak hanya kaget, Darsinah bahkan begitu bingung dengan maksud si Nur ini. Tapi dengan tenang, Darsinah diyakinkan bahwa semua yang dibawa ke rumahnya itu adalah haknya. Mas Nur bercerita, kalau habis dapat rezeki besar, habis dikasih kepercayaan juragan untuk dipekerjakan di kapal. Karena sepertinya Aman belum beli perlengkapan sekolah untuk kelasnya yang baru, maka dibelikan barang-barang itu untuk Aman.

Selain barang-barang, Darsinah juga dikasih amplop oleh Mas Nur. “Ini cuma sedikit, jangan dihitung besarannya berapa. Terima saja”.

***

Sehabis mondok dari Jombang, Jawa Timur, Mas Nur mendapatkan amalan khusus dari kiainya. Sebuah amalan yang berisi sejumlah zikir-zikir tertentu. Sejak itu ia menetapkan hatinya untuk menjalankan amalan tersebut secara rutin.

Dari laku rutin tersebut, setelah sepuluh tahun terjalani, Mas Nur memiliki kepekaan batin yang istimewa. Ia mampu menangkap isyarat-isyarat alam. Termasuk alam yang dianggap gaib.

Awal-awal kepekaan itu disadari, Mas Nur sempat goncang. Bingung harus bagaimana. Ia mampu melihat jelas watak-watak dan karakter batin tiap orang yang ditemuinya. Sering ia tahu, kalau sebentar lagi akan ada orang yang meninggal dunia. Ia bisa melihat pikiran dan perasan orang secara gamblang. Ia melihat alam kubur, tahu siksa-siksa kubur, segamblang menonton YouTube atau drama Korea.

Sejak saat itu, Mas Nur menjadi berhati-hati bergaul dengan orang. Takut kalau-kalau tidak kuat menahan diri. Menceritakan apa yang dilihatnya kepada orang lain, yang awam dan kebanyakan, tentu akan dianggap ganjil, aneh, mengada-ada.

Saking hati-hatinya, Mas Nur selalu menutup rumah. Hanya menerima tamu di malam Jumat, malam di mana ia dan beberapa teman yang sejalur keruhanian, berzikir bersama. Zikir rutin yang dilakukan berjamaah.

***

Sepulang kerja, Mas Nur melihat Aman duduk tertunduk di bawah pohon asem. Dilihatinya dari jauh, lalu meneteskan air mata. Tahu betul apa yang sedang dirasakan anak itu.

Begitu sedihnya, sampai terbawa ke rumah. Selepas shalat Magrib, Mas Nur mengambil keputusan. Memberikan saja uangnya untuk ditukar dengan kebahagiaan masa kanak Aman.

Setelah berpamitan dari rumah Aman, Mas Nur kembali ke rumah. Begitu bahagia rasa hatinya. Begitu lega dadanya. Bahagia yang sampai menggerakkan bibirnya untuk tersenyum. Senyum yang alami, syukur yang terhayati.

Mas Nur tidak menyadari kalau sekeluarnya dari rumah Aman, turun gerimis tipis. Gerimis yang begitu halus … gulir air menyentuh rambut dan baju yang dipakai. Sambil tersenyum dan menunduk, berjalan pelan dan nyaman.

Sampai tiba di satu getaran tertentu, Mas Nur merasakan ada yang membasahi rambut dan pundaknya. Tapi dibiarkan begitu saja. Sampai tiba halaman rumah, kemudian berhenti, mendongak ke atas. Seketika, hilang senyum Mas Nur. Berganti dengan air mata dan sengguk tangis. Tangis sejadi-jadinya yang begitu haru.

Mas Nur melihat di atas kepalanya, ada cahaya yang menyosok. Atau lebih persisnya sosok yang sekujur raganya bercahaya. Sosok itu menangis sambil tersenyum. Sosok itu berkata,

“Engkau umatku, engkau kekasihku”.

Mas Nur terdiam. Menatap terus tanpa berkedip. Tak berani berkata. Persisnya merasa tak butuh untuk berkata. Inilah pertama kalinya, ia bertemu dengan Muhammad.

“Ya Nabi…, ya Nabi …”.

Cahaya itu membekap ada menjadi senyap.

(Pundong, 27/10/2020)


Category : keislaman

SHARE THIS POST


ABOUT THE AUTHOR

Akhmad Faozi Sundoyo

Penulis adalah peneliti pemikiran Ki Ageng Suryomentaram. S1 Sosiologi Agama UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Bakul buku online, momong anak lanang dan penikmat literasi. Domisili di Pundong, Bantul, Yogyakarta.