Wabah dan Perlawanan Surati

slider
06 Juni 2020
|
1130

Sudah sekian minggu wabah Covid-19 telah menetap dan hidup bersama di Indonesia. Puluhan ribu orang terinveksi virus ini. Ribuan orang telah meninggal dan dinyatakan sembuh. Banyaknya pasien yang sembuh daripada yang meninggal memberi harapan dan semangat baru bagi kita untuk terus melawan virus ini.

Tentunya perlawanan ini didasarkan pada banyaknya kerugian yang disebabkan virus. Kerugian yang menimpa diri baik dari segi jiwa, sosial, maupun ekonomi. Namun di sisi lain, wabah ini juga membawa tananan baru bagi kehidupan kita untuk selalu menjaga kebersihan.

Kita mampu melawan wabah ini. Apalagi dibarengi dengan nilai luhur bangsa kita, bergotong royong dalam melaksanakan protokol kesehatan atas covid-19 ini untuk ber-sosial distancing, memakai masker, dan mencuci tangan. Dengan demikian kita berharap virus ini bisa sirna dan kehidupan berjalan normal kembali.

Dikisahkan bahwa pada akhir abad ke-19, terjadi wabah cacar yang menimpa penduduk Hindia Belanda. Ribuan orang terenggut nyawanya oleh wabah ini. Untuk memutus penyebaran, pemerintah kolonial belanda yang berkuasa di Nusantara melakukan karantina setiap desa yang terjangkit wabah. Penduduk tidak diperbolehkan untuk keluar masuk desa, agar tidak menular ke desa lainnya.

Di sebelah selatan Tulangan Sidoarjo, penduduk desa yang terjangkit virus, dikarantina dan tidak diperbolehkan keluar masuk oleh pemerintah kolonial. Selain dikarantina, mereka tidak diberi bantuan, baik pangan atau medis oleh pemerintah kolonial. Akhirnya banyak korban yang meninggal karena wabah cacar. Sungguh tragis, dan betapa kejamnya pemerintah kolonial. Begitulah sikap orang belanda kepada pribumi dalam masa kolonial.

Adalah Surati yang bernasib buruk. Anak perempuan Paiman. Seorang pegawai juru bayar dari pabrik gula terbesar di Tulangan Sidoarjo saat itu. Pabrik milik pemerintah kolonial Belanda yang berdiri pada 1850 mengambil manfaat bumi Nusantara untuk perusahaan berlabel N.V. Matsechappy Tot Exploitatie de Suiker Ondernamingen Kremboong en Toelangan; dan tentunya untuk kepentingan para penguasa pabrik. Surati dipaksa oleh sang bapak untuk menjadi gundik atau selir dari si Belanda, Frits Homerus Vlekkenbaaij, seorang tuan besar administrartur di pabrik ini.

Tuan Administrartur Frits Homerus Vlekkenbaaij digambarkan oleh Pramoedya Ananta Toer dalam buku kedua dari seri Tetralogi Buru, Anak Semua Bangsa, “tidak bertubuh tinggi. Badannya bulat dengan perut buncit—perut dari orang yang lebih banyak dan tidak pernah kerja badani”, kata Pram (cet ke-6, 2002: 141).

Tuan Frits yang berkuasa atas pabrik bagaikan tuhan, tidak ada seorang pun yang berani kepadanya. Omongannya adalah sabda. Tindakannya adalah petir yang menyambar yang membuat bawahannya diam tidak berkutik.

Pada masa itu, gundik atau selir masih melekat dalam masyarakat pribumi, yaitu menjadikan perempuan sebagai istri tidak resmi di mata hukum. Baik hukum agama atau hukum pemerintahan. Sebuah tradisi yang turun-temurun dari para raja pada masa lalu.

Meski secara etis tidak memiliki nilai kebaikan dan tidak dibenarkan, tradisi ini dilaksanakan oleh bapak Surati, Piaman kepadanya untuk tuan besar administratur. Karena jabatannya sebagai juru bayar para pekerja pabrik lebih bernilai daripada kehormatan anak dan keluarganya.

Surati, sebagai perempuan yang tidak merdeka terpaksa mengabulkan permintaan tuan besar melalui bapak kandungnya sendiri. Meskipun ia sendiri menolak secara diam dan tak berdaya atas permintaan itu.

Ia berusaha melawan tradisi gundikisme ini dengan menggunakan peralatan perang yang tidak biasa. Ia mengorbankan dirinya memasuki wilayah sebelah selatan Tulangan yang menjadi sarang wabah cacar untuk mengambil peralatan perang. Di tempat ini, ia dengan sadar, menularkan virus kedalam tubuhnya dan kemudian pergi mendatangai tuan besar administratur untuk memenuhi permintaannya menjadi gundik.

Dengan tegar ia melayani tuan besar dengan membawa senjata virus cacar untuk melawannya. Sang virus pun merasuki tubuh tuan administratur.

Demikianlah Surati dikisahkan oleh Pramoedya Ananta Tour dalam Anak Semua Bangsa. Surati adalah anak dari kakak Nyai Ontosoroh. Ibu mertua Minke, tokoh utama dalam novel tersebut. Nasib Surati sama dengan budhe-nya, Sanikem a.k.a  Nyai Ontosoroh. Akan tetapi budhe-nya boleh dibilang lebih beruntung daripada Surati.

Tampak bahwa tatanan sosial dan budaya yang bias gender, tidak sanggup membantu Surati untuk menolak dan melawan gundikisme. Dengan terpaksa ia mengorbankan dirinya, bersekutu dengan wabah cacar untuk melawan tuan administratur.

Akhirnya perjuangan Surati pun tidak sia-sia. Sekutunya berhasil melumpuhkan sang tuan dan merenggut nyawanya. Sekutu pun bersahabat dengan Surati. Ia membiarkannya hidup. Akhirnya Surati pulih dan hidup kembali dengan normal. Sayangnya, ia mendapat status sosial yang rendah. Ia menjadi mantan nyai dari tuan administratur. Meskipun demikian, Surati bangga dengan dirinya karena telah beruasaha melawan sang tuan. Surati tidak pasrah dengan keadaan yang menimpanya.


Category : kolom

SHARE THIS POST


ABOUT THE AUTHOR

Ismail Hasan

Santri Ngaji Filsafat. Anggota Quranic Peace Study Club (QPSC)