Ulama Kuntul

slider
19 Oktober 2017
|
1847

Suluk Wujil merupakan karya Sunan Bonang. Suluk ini berisi tentang laku agar manusia bisa mengendalikan hawa nafsu serta mampu membersihkan diri (tazkiyatun nafs).

Di suluk ini, Sunan Bonang melemparkan sindiran tajam terhadap ulama. Misalnya, pada bait ketujuh disebutkan: Kang adol tuhu warti Kumisum kaya-kaya weruha Mangkel ki andhe-andhene Awarna dadi kuntul Ana tapa sajroning warih Meneng tan keno obah Tinggalipun terus Ambek sadu anon mangsa Lirhantelu putih-putihe ing jawi Ing jero kaworan rakta. Pada bait tersebut, Sunan Bonang tengah mengingatkan para ulama yang disimbolkan oleh kata 'kuntul' (semacam burung bangau).

Di mata Sunan Bonang, para ulama tidak boleh menjadikan ilmunya sebagai bekal komoditas yang bisa diperjualbelikan ke sana-ke mari. Bukan rahasia lagi, sampai saat ini, fenomena tersebut sedang marak terjadi di tengah-tengah masyarakat. Para ustaz/dai/ulama banyak yang menjual ilmunya. Saat diminta berceramah, ia memasang tarif atau mematok harga tertentu untuk show-up-nya.

 Ulama kuntul ini, selain suka memperjualbelikan ilmunya, juga bersifat angkuh, sok tahu, yang dalam Suluk Wujil diungkapkan dengan kumisum kaya-kaya weruha. Sedikit-sedikit menuding-nuding, membidahkan, menyesat-sesatkan, mengafirkan, dan lainnya.

Ulama kuntul ini disifatkan oleh Sunan Bonang bagaikan sebutir telur: luarnya putih, tetapi bagian dalamnya kuning. Warna kuning identik dengan emas. Sementara emas merupakan simbol keduniawian. Jadi, ulama kuntul secara lahiriah memang terlihat sebagai ulama. Sayangnya, di batinnya kemrungsung saat berurusan dengan dunia. Inilah ulama yang paling berbahaya. Luarnya kelihatan alim, antidosa, merasa paling suci, paling benar, dan punya kepentingan untuk memperkaya diri sendiri. Begitu kira-kira Sunan Bonang memperingatkan kita.

Selain mengabarkan tentang ulama kuntul, pada bait-bait yang lain, Sunan Bonang juga mewedar sekaligus mengingatkan manusia: Pangestisun ing sira ra Wujil Den yatna uripira neng dunya Ywa sumambar angeng gawe Kwaruhana den estu Sariranta pon tutujati Kang jati dudu sira Sing sapa puniku Weruh rekeh ing sariri Mangka skasat weruh sira Maring Hyang Widi Iku marga utama.

Menjalani kehidupan ini, begitu nasihat sang Sunan pada larik-larik tersebut, hendaklah manusia jangan sombong, jangan congkak, dan jangan angkuh. Aja kemaki, aja sesumbar, aja arogan. Karena hidup ini tidak lain hanya untuk mengenal siapa kita, mengenal diri kita sendiri. Man arafa nafsahu faqad arafa rabbahu. Dan, itulah jalur utama menuju shirathal mustaqim.

Kembali menjadi Orang Jawa

Nusantara/Indonesia ini dahulunya dikenal sebagai Negeri Jawa/Jawi. Sebuah negeri di pusat dunia yang dahulunya adem-ayem-tentrem. Setelah kedatangan para pedagang dari Arab serta mengalami penjajahan Belanda, Negeri Jawa pun terusik. Sampai sekarang, efek itu masih kentara. Contoh kecilnya, perseteruan Sunni-Syiah, kekerasan terhadap warga Ahmadiyah, dan lainnya.

Dahulu, di Jawa (Nuswantara) tidak ada kerusuhan seperti yang terjadi saat ini. Penjajahan yang dilakukan oleh Barat, yakni dengan siasat modernisasi kehidupan, turut melunturkan tradisi-tradisi luhur, akhlak, kehalusan akal-budi orang Jawa. Parahnya lagi, penjajahan itu pun telah melunturkan nilai-nilai luhur yang diajarkan oleh Nabi Muhammad saw.

Menurut Ki Herman Sinung Janutama, kalau kita melihat ejaannya, Barat dan Arab adalah kawan akrab. Sama-sama pasangan kolonialisme. Arab dengan budaya padang pasirnya selalu suka berkonflik, rusuh, serta berbuat angkara.

Sementara Barat, sukanya melunturkan nilai-nilai keislaman, membuang ajaran Muhammad Saw. Sehingga, urusan membaca sayyidina atau junjungan kawulo agung saja, bagi kalangan Islam kearab-araban, dianggap tidak boleh. Mereka, sedikit-sedikit, mengatakan bidah. Itulah ciri Islam di Nusantara yang mulai luntur saat ini. Sebuah ciri keislaman yang tidak mengenal dikotomi Sunni-Syiah, bersahabat dengan tradisi luhur masyarakat lokal, dan cenderung menghindari konflik.

Ditambah lagi, menurut Ki Herman, orang Nusantara-lah yang bakal menggenggam dunia. Dengan syarat, seperti yang ditekankan Ki Herman "dadi wong Jowo kudu njawani, mosok wong Jowo kok ora njawani". Juga, jadi orang ojo gumunan lan gampang kepincut

Waallahualam.


Category : kolom

SHARE THIS POST


ABOUT THE AUTHOR

Muhammad Autad An-Naser