Tuhan, Kejahatan, dan Bencana

slider
04 Maret 2020
|
1063

Ketika seorang umat beragama diberikan pertanyaan mengenai Tuhan, kemungkinan besar ia akan mengemukakan bahwasanya Tuhan itu Mahakasih, Mahapenyayang, Mahabaik, Mahamelindungi dan Mahakuasa. Karena pada dasarnya dalam teks-teks agama, Tuhan diperkenalkan dengan sifat-sifat seperti itu dengan segala kesempurnaan-Nya.

Sifat Mahapengasih, Mahapenyayang, dan Mahakuasa-Nya Tuhan dapat dilihat dalam setiap kehidupan manusia di muka bumi. Akan tetapi, sifat-sifat Tuhan seolah tidak terwujud sepenuhnya dalam realita kehidupan manusia ketika terjadi ketidakadilan, pembunuhan, pelecehan, penganiayaan, pemerkosaan, gempa bumi, banjir, tsunami, gunung meletus, badai, dan bencana lainnya menjadi sebuah bukti bahwa tidak adanya relasi antara sifat kesempurnaan Tuhan dengan apa yang terjadi dan dialami oleh manusia di dunia.

Penderitaan-penderitaan yang dialami manusia juga menjadi latar belakang munculnya pertanyaan, apakah Tuhan itu benar-benar ada? Jika Tuhan benar ada, di manakah Tuhan yang diyakini dengan sifat Mahapengasih, Mahapenyayang dan Mahamelindungi itu berada? Jika Tuhan itu memang ada dengan segala kesempurnaan-Nya, lalu kenapa ada kejahatan, bencana, penderitaan terhadap manusia? Di manakah Tuhan ketika ada anak-anak kecil yang terlantar, orang yang mati kelaparan, ribuan nyawa yang meninggal akibat tsunami dan lain sebagainya?

Kemungkinan besar tidak adanya jawaban atau munculnya ketidakpuasan dalam mendapatkan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan tersebut, mengakibatkan sebagian manusia enggan untuk percaya lagi terhadap agama atau bahkan terhadap Tuhan itu sendiri. Penolakan terhadap keberadaan Tuhan ditemukan pada kelompok ateisme yang mendasarkan pada fenomena-fenomena yang terjadi. Dari penderitaan manusia tersebut memunculkan berbagai simpulan seperti, “Tuhan telah mati” atau “Satu-satunya alasan untuk memaafkan Tuhan atas segala penderitaan ini ialah dengan menegaskan bahwa Tuhan tidak ada”.

Dalam menanggapi permasalahan-permasalahan di atas, terkadang manusia malah sibuk mencari kambing hitam atas segala penderitaan yang terjadi. Lupa bahwa pada dasarnya merekalah yang menjadi penyebab atas segala penderitaan yang dialami. Manusialah yang menjadi penyebab adanya bencana dan kejahatan di atas muka bumi ini.

Secara analisis logis, suatu kemustahilan Sang Pencipta menginginkan keburukan atas apa yang telah diciptakan-Nya, dan tentu keburukan itu hanya dihasilkan oleh manusia semata tanpa adanya campur tangan Sang Pencipta. Ketika manusia tidak dapat menggunakan atau memanfaatkan segala yang ada dalam dirinya, maka apa yang ada (alam) akan dapat menjadi bencana bagi seluruh manusia. Kesombongan dan keangkuhan yang melekat pada diri manusia, menjadikan Tuhan sebagai sasaran kemarahan atas segala yang menimpa mereka.

Manusia merupakan makhluk yang memiliki kebebasan dalam berkehendak. Kebebasan ini dapat menjadikan manusia menjadi sosok yang sangat mulia dan juga dapat menjadikan manusia menjadi sosok yang lebih kejam daripada iblis dan lebih hina daripada binatang. Karena itu, adanya kejahatan ataupun bencana, maka yang harus disalahkan adalah manusia, bukan Tuhan Sang Pencipta.

Kejahatan serta bencana yang menimpa manusia merupakan konsekuensi dari adanya kebebasan manusia dalam berkehendak. Selama manusia memiliki kebebasan dalam berkehendak, selama itu juga kejahatan dan bencana akan selalu ada di muka bumi. Kebebasan berkehendak manusia tidak akan diintervensi oleh Tuhan, jika kebebasan manusia diintervensi oleh Tuhan berarti manusia tidak memiliki kebebasan berkehendak, dan ketika manusia tidak memiliki kebebasan, maka segala perintah dan larangan yang tertuang dalam kitab suci tidak akan berlaku.

Terlepas dari kebebasan berkehendak manusia, Tuhan menciptakan dunia ini tidaklah untuk menjadi tempat bersenang-senang ataupun tempat mencapai segala kenikmatan-kenikmatan duniawi melainkan sebagai ujian untuk kehidupan yang abadi. Dalam teks-teks agama dijelaskan bahwasanya dunia ini diciptakan ibarat sebuah ladang, apa pun yang kita tanam pada ladang dunia, hasilnya akan diperoleh pada kehidupan selanjutnya, kehidupan akhirat.

Ketika kita melihat banyaknya kejahatan dan penderitaan yang dialami manusia, rasa kesal akan muncul dan mengira bahwa Tuhan itu tidak adil. Seharusnya dengan sifat Mahakuasa-Nya, Tuhan dapat menghilangkan segala kejahatan dan penderitaan yang ada, kemudian menggantinya dengan kebahagiaan. Perasaan kesal tersebut secara awam dapat dibenarkan, tetapi makna dibalik itu Tuhan ingin memberikan kesempatan kepada manusia untuk berbuat baik dan dapat membantu menghilangkan beban ataupun penderitaan saudara-saudaranya.

Mungkin kita akan merasa kesal ketika melihat banyaknya terjadi kejahatan, bahkan berpikir kenapa mereka yang tidak pantas mati tetapi kemudian mereka mati, mereka yang tidak pantas menderita tetapi menderita, dan sebaliknya mereka yang pantas mati dan menderita tetapi mereka tidak mati bahkan mereka hidup dalam segala kenikmatan yang ada.

Banyaknya kejahatan bukanlah atas kehendak ataupun ciptaan Tuhan, melainkan sebuah tindakan yang dilakukan oleh mereka yang tidak memiliki rasa cinta dan kasih sayang Tuhan. Karena itu, ketika melihat adanya kejahatan berarti kita sedang melihat manusia yang hidup tanpa rasa cinta dan kasih sayang Tuhan, dan menjadi kewajiban bagi kita untuk menghilangkan kejahatan: buah wujud sebagai manusia yang hidup dengan rasa cinta dan kasih sayang Tuhan.

Sebuah analogi dalam konteks pembahasan ini seperti melihat manusia dengan berbagai bentuk rambutnya, ada yang rapi, botak, dan gondrong, lalu ketika melihat seseorang dengan rambut panjang, apakah akan menjadi berpikir bahwa tukang cukur tidaklah ada, sehingga membiarkan rambut seseorang menjadi panjang seperti itu. Tentu tidaklah demikian, sebab ketika ada seseorang yang berambut panjang, orang tersebut yang tidak mau cukur atau menemui tukang cukur. Seperti itu juga manusia, ketika banyaknya penderitaan dan kejahatan, manusialah yang enggan mencari-Nya untuk mendapatkan rasa cinta dan kasih sayang dari-Nya.


Category : kolom

SHARE THIS POST


ABOUT THE AUTHOR

Ario Putra

Mahasiswa Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga