Tuhan itu Maha Santai, yang Rumit dan Ruwet itu Manusia!
Judul: Tuhan Itu 'Maha Santai', Maka Selowlah | Penulis: Edi AH Iyubenu | Penerbit: DIVA Press, 2019 | Tebal: 180 halaman | ISBN: 978-602-39178-9-1
“Allah Menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran bagimu”. Itulah penggalan arti dari surah Al-Baqarah ayat 185. Kalau mau lebih disederhanakan lagi redaksinya, “Selagi bisa dipermudah, jangan pernah dipersulit”. Tapi dalam beberapa dekade lalu maupun kini, apalagi dalam hal urusan birokrasi, kata-kata tersebut dibalik, “Selagi masih bisa dipersulit jangan pernah dipermudah”. Mengurus E-KTP atau berkas lainnya saja sulit dan berbelit-belit.
Begitu halnya dalam konteks beragama. Agama hari ini kok menjadi semacam penjara yang sedikit-sedikit haram, bid’ah, bahkan kafir. Padahal tidak ada keterpaksaan dalam memeluk suatu agama. Karena hal ini bersifat keyakinan. Apalagi di Indonesia, negara yang kaya akan budaya, etnis, dan agama. Harus saling menghormati satu sama lain. Memang pemeluk agama Islam di Indonesia menjadi mayoritas, tetapi bukan berarti bisa semena-mena menyakiti dan menindas agama lain.
Dalam buku terbarunya ini, Edi AH Iyubenu memberikan judul besar Tuhan Itu 'Maha Santai'. Kalau menggunakan istilahnya Sujiwo Tejo, Tuhan 'Maha Asyik'. Tuhan tidak ambil pusing mau seluruh hamba-Nya bermaksiat. Hal itu tidak akan mengurangi sedikit pun dari kemahakuasaannya Tuhan. Kalau saja Tuhan mau dan berkehendak, maka seluruh manusia di bumi ini akan beribadah dan beriman kepada-Nya. Tetapi Tuhan tidak berkehendak seperti itu. Maka manusia jangan sok dan seenaknya sendiri berkehendak untuk menjadikan seluruh negeri ini beragama Islam dan menganut sistem pemerintahan yang normatif, versi khilafah misalnya.
Kebenaran absolut vs kebenaran relatif
Kebenaran Tuhan itu absolut dan tidak akan pernah bisa dicapai oleh kebenaran manusia yang sangat relatif. Manusia zaman post-modern khususnya di Indonesia kerap memperseterukan antar kebenaran. Apa yang tanpak begitu pelik dan rumit di antara kita ialah benturan antar kebenaran itu. Tak ada satu pun dari kita yang merelakan konsepnya tentang kebenaran digugurkan oleh konsep-konsep kebenaran lainnya—kecuali mereka yang terbuka terhadap kritisisme ilmu (hlm. 40).
Kebenaran itu ibarat bumbu dapur yang tempatnya di dapur. Seperti lombok, saos, ketumbar, bawang, dan sebagainya. Apa yang dihidangkan dari kebenaran itulah namanya kebaikan dan kebijaksanaan. Suhu beragama di Indonesia semakin memanas, karena antar kelompok menunjukkan argumentasi kebenaran masing-masing. Akibatnya ketika bertemu bukannya saling berdiskusi, tetapi saling adu argumentasi dan pada akhirnya keluarlah slogan TBC (takfiri, bid’ah, dan khurafat). Yang pasti sasaran dari TBC itu di antaranya, tahlil tidak ada dalilnya, sedekah bumi itu haram, wayang itu perwujudan setan, dan masih banyak lagi.
Harus ada kerendahan hati untuk saling menerima kebenaran satu sama lain. Bisa jadi hal itu benar menurut mereka, tetapi bisa jadi kurang benar atau malah salah menurut kita. Begitu pula sebaliknya. Karena tidak ada yang benar-benar “benar” kecuali kebenaran absolut Tuhan. Mulai sekarang, bukan mencari siapa yang benar, tetapi mencari apa yang benar.
Fenomena hijrah dan tak kembali
“Arus taubat sebagai jalan hidup muslim hari ini meluas dalam dua bentuk utama yang sangat jauh berbeda. Pertama, tetap disebut taubat. Kedua, populer dengan istilah hijrah” (hlm. 98). Hijrah dalam beberapa dekade ini, semakin populer. Istilah-istilah Arab seakan masuk tanpa bisa dibendung dan disortir. Sampai-sampai istilah-istilah khas Jawa semakin tersisihkan. Seperti banyak Masjid yang menggunakan sebutan ikhwan dan akhwat untuk menunjukkan perbedaan gender. Ada lagi sebutan antum menggantikan istilah dalam Bahasa Jawa “dulur”. Mengutip kata-kata Gus Dur, “Kita mengambil Islam-nya bukan Arab-nya”. Maka sebaiknya istilah-istilah khas Indonesia atau Jawa tetap harus dipergunakan di berbagai tempat. Istilah Jawa “langgar” juga harus tetap dilestarikan.
Jangan sampai sanking semangatnya kita belajar Islam apalagi belajarnya langsung merujuk ke kajian-kajian kitab berbahasa Arab, kemudian dengan gayanya, sedikit-sedikit berkata bukan mahram, ukhti, antum, dan istilah gurun lainnya. Sampai-sampai lupa kalau kita dilahirkan dan dibesarkan di bumi Indonesia. Begitu pula label hijrah ini, sebelum memakai hijab, gamis, dan kaos kaki disebutnya muslimah liberal, tidak sesuai syariat Islam. Setelah ia mau hijrah serta mau memakai kerudung, gamis, dan bercadar dengan merk tertentu, baru bersorak karena tujuan utamanya tercapai. Seperti ini bahanya ketika label hijrah dipakai hanya sebagai simbol agama dan tidak sampai ke puncak esensi dari hijrah itu sendiri.
Semuanya adalah tentang cinta
Menarik nasihat dari Imam Al-Ghazali yang mengikuti mazhab Syafi’i, bahwa “Ilmu pengetahuan tidaklah sempurna bila belum berfondasikan cinta, dan cinta kepada Allah SWT takkan bisa memenuhi hati manusia bila belum disucikan dari segala cinta kepada dunia (dan seisinya) yang hanya bisa didapatkan dengan jalan kezuhudan” (hlm. 28).
Semuanya adalah tentang cinta, orang tua melahirkan anak-anak juga diawali dari cinta, baik itu cinta pada pandangan pertama atau cinta yang dipupuk dari kebencian. Istilahnya Cak Nun, cemburu adalah cinta yang sedang khawatir dan benci adalah cinta yang tersakiti. Tapi keduanya tetap bersumber dari kata cinta. Dalam hal ini masih cinta manusia biasa. Belum lagi cinta Allah SWT dan Kanjeng Nabi Muhammad Saw kepada umatnya yang tidak mengenal pamrih. Syafaat dibentangkan seluas-luasnya. Tetapi mengapa ketika beragama, cinta seolah-olah hilang tak berbekas? Dengan berteriak “Allahu Akbaar”, tetapi malah merusak dan menyakiti orang lain. Tidak terbesit sedikit pun rasa sensitivitas cinta itu.
Bisakah konteks beragama kita (dewasa) seperti anak kecil? Beragama dengan penuh kegembiraan dan kesenangan. Ketika mengaji di surau sore hari sambil bermain kelereng, petak umpet, layangan, dan lainnya. Anak kecil, walaupun sering bertengkar dengan temannya, tetapi tidak pernah memendam rasa benci yang berlarut-larut. Menangis seketika saja, tidak ada dendam di hatinya. Selayaknya iklim beragama dewasa ini mencontoh iklim beragama anak kecil.
Buku yang sangat direkomendasikan
Buku ini masih sering dijumpai kesalahan ketik seperti pada kata “taut” (hlm. 10) yang harusnya “takut”. Maupun kata yang harusnya dicetak miring tetapi tidak dicetak miring. Selain itu, buku ini sangat banyak manfaat, dan saya sebagai pembaca sangat merekomendasikan kepada seluruh masyarakat baik generasi kolonial atau milenial. Pertama, buku ini kaya akan rujukan akademis yang sangat cukup komprehensif dan valid. Dinukil dari berbagai sumber primer, sekunder maupun tersier, dan disajikan dengan bahasa yang sangat membumi.
Kedua, buku ini sangat murah meriah ceria. Saya membeli buku ketika ada promo njungkel, dengan harga Rp15.000,- saja sudah mendapatkan buku yang sangat bagus ini, ditambah lagi bubuhan tanda tangan dari penulisnya, Edi AH Iyubenu. Buku ini juga sudah memenuhi patokan zero waste. Ketika saya membeli buku ini, buku tidak dibungkus dengan plastik. Hanya plastik pembungkus dari pihak ekspedisinya. Ramah lingkungan dan ramah di kantong.
Category : resensi
SHARE THIS POST