Transendensi dan Humanitas Hassan Hanafi

slider
08 Maret 2020
|
1458

Hassan Hanafi merupakan intelektual muslim yang lahir di Kairo, Mesir, pada 13 Februari 1935. Hassan Hanafi menduduki jabatan sebagai Guru Besar di Fakultas Filsafat Universitas Kairo, Mesir. Pemikiran Hassan Hanafi tentang Islam tidak terlepas dari pandangannya terhadap esensi Islam dalam dimensi ketuhanan (transendensi) dan dimensi solidaritas keberagamaan umat Islam (humanitas) yang bersifat universal. Sehingga, pemikirannya dalam hal ini dikenal dengan teologi humanis.

Teologi humanis yang ditawarkan oleh Hassan Hanafi lahir dari pandangannya terhadap teologi Islam yang merupakan warisan tradisi yakni berupa pemahaman bahwa dalam teologi (trasendensi), yang menjadi objek sentral bukanlah manusia, melainkan Tuhan. Hal ini didukung dengan pandangan umat Islam bahwa hanya tauhid saja, yang dapat menghantarkan manusia memperoleh kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat. Pemahaman atas teologi seperti ini diikuti oleh sebagian besar umat Islam.

Sebagai pemikir revolusioner, pandangan seperti di atas di kritik oleh Hassan Hanafi, terkhusus pada Asy’ariyah. Baginya, Asy’ariyah terlalu melebihkan isi trasendensi dengan puji-pujian kepada Pencipta semata dan hal ini bukanlah sesuatu yang tepat, karena seharusnya puji-pujian ini dimanifestasikan dalam kancah kehidupan sosial berupa solidaritas kemanusiaan dan berimplikasi pada tindakan-tindakan yang mencerminkan kekhalifahan manusia di muka bumi. Hal ini sesuai dengan esensi Islam yang merupakan agama tauhid dan membawa nilai-nilai kemanusiaan.

Berkaitan dengan pendekatannya atas Islam sebagai agama, Hassan Hanafi memiliki istilah sendiri dalam menggambarkan esensi Islam sebagai sebuah agama. Menurutnya, istilah agama yang ditemukan dalam berbagai literatur, mayoritas mengacu pada hal yang berkaitan dengan epistemologi yang super-natural, magis, ritual, kepercayaan, dogma, dan kelembagaan yang berisi aturan. Hassan Hanafi memberikan tawaran sebagai solusi atas kritiknya yang tidak setuju dengan istilah dalam berbagai literatur tersebut. Menurutnya, istilah yang tepat atas esensi Islam ialah etika, artinya terkait erat dengan kemanusiaan dan pandangan atau ideologi dalam bermasyarakat sebagai sebuah bentuk manifestasi kesadaran beragama (tauhid).

Pandangan Hassan Hanafi atas Islam sebagai prinsip universal terlihat dari pemaknaannya terhadap ketuhanan. Tuhan bukanlah suatu pribadi, peristiwa alam, atau peristiwa sejarah, melainkan terkait pemikiran yang tidak kaku (terbuka), penemuan sendiri (tidak taklid), dan transendensi atau kemahaesaan-Nya. Dalam hal ini, Hassan Hanafi memberikan prinsip epistemologi atas trasendesnsi, yang berada dalam ruang tak terbatas dan dinamis dalam perkembangan zaman serta melawan dogmatisme dan kekakuan pemahaman. Kategori ini ditawarkan oleh Hassan Hanafi berdasar pada pengakuannya sebagai pemikir revolusioner, terkhusus pada sikapnya dalam melakukan revolusi tauhid.

Selain itu, Hassan Hanafi memberikan prinsip ontologis atas transendensi, yakni sebuah kenyataan yang dapat ditemukan keberadaanya dan dapat diterima, bukan sekadar subjektivisme semata. Adapun prinsip aksiologi atas transendensi, yakni sebuah nilai yang difungsikan sebagai dasar atau pondasi dalam berkehidupan dan memberikan dampak bagi manusia menuju kesadaran untuk aktif pada tujuan kehidupannya. Dari sini, transendensi dapat dipahami oleh siapa pun karena sifatnya yang umum sebagai sebuah warisan sejarah untuk manusia. Sebagai warisan sejarah, transendensi melahirkan perjuangan untuk kebebasan, keadilan, dan kesetaraan tanpa membatasinya pada sebuah rumusan keyakinan yang merujuk pada suatu pemahaman kelompok, yang bersifat kaku, dan tidak universal.

Bentuk aplikasi dari prinsip universal dalam transendensi dari Hassan Hanafi berupa solidaritas kemanusiaan yang bersifat empiris, artinya didasarkan pada pengalaman manusia sehingga dapat dirasakan oleh setiap orang. Hal ini sesuai dengan harapan dari setiap agama yang mengelukan perilaku yang baik penganutnya, sebagai bentuk kesalehan dalam keikhlasan.

Perilaku yang baik, menurut Hassan Hanafi, memiliki dua bagian, yakni perilaku baik internal dan eksternal. Perilaku baik internal merupakan kesadaran dalam diri seseorang atas tujuan perbuatannya, berupa aktualisasi dari ucapan dan perbuatan dengan tujuan yang jelas, artinya memiliki niat. Bagi Hassan Hanafi, perilaku baik tanpa niat, akan rapuh, mudah berubah. Sedangkan perilaku eksternal yakni perilaku yang tidak memiliki pondasi atau tujuan untuk apa melakukannya. Dalam ajaran Islam sendiri mendudukan niat begitu penting pada setiap melakukan tindakan.

Perilaku (tindakan) dengan niat merupakan bentuk aplikasi dari transendensi seorang yang beragama. Hal ini terkait sisi ketuhanan sebagai prinsip universal juga sisi humanis berupa solidaritas kemanusiaan. Karena itu, esensi Islam digambarkan oleh Hassan Hanafi sebagai etika yang mengarah pada transendensi dan kemanusiaan.

Pemikiran Hassan Hanafi terhadap kemanusiaan berbasiskan pada solidaritas kemanusiaan berupa prioritas kelangsungan hidup dan melawan dari berbagai permasalahan, penyakit, kelaparan, kemiskinan, dan segala yang dapat mendatangkan kesengsaraan. Di samping itu, manusia memiliki akal untuk melindungi diri dari hal yang menyengsarakan maupun yang dapat merusaknya. Manusia seharusnya sadar akan potensi akal yang dapat memperkaya keilmuan khususnya keislaman dan memperjuangkan harga diri sebagai manusia yang bertauhid. Dengan kemampuan akal, manusia mampu memperkaya diri maupun memperkaya bangsa sebagai bentuk perilaku baik.

Dari Hassan Hanafi kita belajar, bahwa manusia memiliki potensi akal untuk menemukan prinsip transendensinya dan memilah perilaku baik dengan niat yang diaplikasikan dalam perbuatan. Transendensi dan humanitas (berbasis pada solidaritas kemanusiaan) merupakan tujuan sekaligus landasan manusia beragama dalam mengaktualisasikan perilaku baik sebagai bentuk etika yang menjadi esensi Islam.


Category : keilmuan

SHARE THIS POST


ABOUT THE AUTHOR

M. Khusnun Niam

Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta