Tentang Pemberian Nama Masjid
Literatur keislaman mengenai keberadaan masjid membawa kita pada banyak ayat Al-Qur’an.
Di antaranya dalam surah Al-Baqarah ayat 125, yang artinya, “Dan (ingatlah), ketika Kami menjadikan rumah itu (Baitullah) tempat berkumpul bagi manusia dan tempat yang aman. Dan jadikanlah sebahagian maqam Ibrahim tempat shalat. Dan telah Kami perintahkan kepada Ibrahim dan Ismail: ‘Bersihkanlah rumah-Ku untuk orang-orang yang tawaf, yang iktikaf, yang rukuk dan yang sujud’”.
Surah Al-Baqarah ayat 127, “Dan (ingatlah), ketika Ibrahim meninggikan (membina) dasar-dasar Baitullah bersama Ismail (seraya berdoa): ‘Ya Tuhan kami terimalah daripada kami (amalan kami), sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui’”. Atau surah Al-A’raf ayat 31, “Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) masjid,…”, dan masih banyak ayat lain yang mengarah ke masjid.
Selain dalam Al-Qur’an, juga dalam hadis yang menyiratkan keberadaan masjid. Salah satu yang mungkin sangat familiar dipendengaran kita adalah, “Seluruh bumi ini dijadikan untukku sebagai masjid (tempat bersujud untuk shalat) dan sebagai alat untuk bersuci” (HR. Bukhari).
Sementara itu masjid yang dibangun pada masa Rasulullah Muhammad, diawali dengan Masjid Quba, lalu kemudian Masjid Nabawi dan terus berlanjut pembangunan masjid-masjid pada generasi yang sampai dengan saat ini.
Walaupun sebelumnya telah ada pondasi awal bangunan Masjid al-Haram (Masjidilharam) yang dibangun pada masa Nabi Ibrahim dan Ismail, keberadaan tanda itu sebagai awal mula bangunan Masjid al-Haram tidak cukup banyak membantu peneguhan akar tauhid di dunia Arab pada masa itu yang masih diselimuti kesesatan.
Keberadaan fondasi awal Masjid al-Haram tidak serta merta menjadikan kompleks Ka’bah sebagai tempat yang sakral. Justru di masjid yang saat ini menjadi rujukan masjid seluruh dunia itu, dulu adalah lokasi keberadaan berhala-berhala sesembahan para kaum kafir. Termasuk triple berhala paling hit pada zaman itu, Latta, Uzza, dan Manaf.
Masjid pertama setelah kenabian juga tidak merujuk pada sesuatu penamaan yang bisa dianggap “islami”. Masjid Quba yang berada beberapa kilometer di arah tenggara luar Madinah juga diberi nama berdasarkan lokasi masjid itu berada, Quba.
Masjid Quba sebagai masjid pertama tidak lebih terkenal dari Masjid Nabawi, sungguhpun Masjid Nabawi memiliki tingkat kesakralan nomer dua setelah Masjid al-Haram. Masjid Quba tetap terpacak sebagai masjid yang menyandang gelar masjid yang pertama dibangun setelah kenabian.
Pemberian nama atas masjid pada dasarnya tidak memiliki pakem yang resmi. Sebut saja Masjid Al-Aqsa—nama sebuah kompleks seluas 144.000 meter persegi yang berada di Kota Lama Yerusalem. Walau sekarang terkenal dengan sebutan Al-Aqsa, pada zaman Nabi, Masjid Al-Aqsa oleh Nabi lebih sering disebut dengan Baitul Maqdis atau Bait Al-Muqaddas yang diterjemahkan sebagai Rumah Suci.
Sedangkan Masjid Al-Aqsa sendiri secara harfiah berarti masjid yang terletak jauh/terjauh. Hal ini merujuk pada lokasi masjid ini yang beribu kilometer jauhnya dari Madinah, tempat Nabi saat itu.
Penamaan masjid di masa saat ini terkesan lebih islami dengan merujuk pada kosakata Arab. Tidak ada salahnya memang. Toh, kita juga tidak pernah diberi pakem yang jelas, apakah nama suatu masjid harus religious, atau sekadar “Arab”.
Saya akhirnya membayangkan, bagaiman Masjid Jendral Sudirman Yogyakarta yang dibangun dan diberi nama seorang pahlawan besar pada masa revolusi kemerdekaan.
Pernah pada kesempatan Ngaji Filsafat, Pak Fahruddin Faiz secara spontan menyoal nama Masjid Jendral Sudirman yang terkesan tidak islami dan justru merujuk pada nama pahlawan nasional. Bahwasanya—walaupun tidak pula berupa dan berarti fatwa—soal nama masjid yang sekiranya bisa menjadi doa untuk para jamaahnya.
Bahwa embel-embel pahlawan nasional bisa jadi sebagai motivasi agar sesiapa saja yang beribadah dan berkegiatan di masjid ini bisa mewariskan keberanian dan kesalehan dari seorang perwira tinggi Indonesia pada masa Revolusi Nasional Indonesia, Jenderal Besar Soedirman.
Di desa saya yang berada di Wakatobi, salah satu kabupaten di Provinsi Sulawesi Tenggara sana, salah satunya masjid utama di sebuah kawasan bernama Masjid Ahdan Nur. Untuk saya yang sangat minim pengetahuan bahasa dan kosakata Arab, arti nama masjid ini masih menjadi asing.
Bertahun-tahun pula, seakan Ahdan Nur menjadi misteri tak terpecahkan. Hingga pada suatu kegiatan Ramadhan, kami para pemuda sebagai panitia mendapat terang penjelasan dari seorang ustad yang kami undang sebagai penceramah, menjelaskan secara rinci mengenai bahasa Arab yang disandang oleh nama Masjid Ahdan Nur.
Saya dan teman-teman panitia manggut-manggut mendengar penjelasan itu. Sebuah ironi karena kami yang bertahun-tahun bersama dengan masjid, justru tidak tahu menahu arti nama masjid kami sendiri.
Banyak sekali masjid sekarang yang diberi nama dengan kosa kata Arab, atau juga diberi nama kearab-araban. Hal ini bagus, sangat bagus. Bukankah ada anekdot yang berkembang di masyarakat kita bahwa nama adalah doa?
Misalnya saja, dengan nama “kearab-araban” tersebut, sebuah masjid mengingatkan kita pada banyak hal tenang Islam dan Al-Qur’an yang diturunkan di Arab. Namun demikian, apa yang kita datangi setiap hari sebagai rumah Allah, kita beri nama sesuai porsi yang kita bisa pahami?
Bisa jadi kebanyakan kita saat ini lebih mengerti dan meyakini segala sesuatu yang Arab pasti sebagai Islam. Padahal tidak, dan tidak semuanya seperti dalam bayangan.
Penamaan masjid boleh jadi tidak begitu menjadi perhatian. Mungkin karena itu hanya nama. Kata Shakespeare, “Apalah arti sebuah nama? Walau mawar diganti namanya, ia tetap akan harum”.
Bahwa esensi tetap menjadi hal yang nomer satu. Bahkan seharusnya dunia keislaman dan keberagamaan kita juga seperti itu. Tetapi kita juga tidak bisa meninggalkan nasihat, “Nama adalah doa”.
Semacam jalan untuk mengerti dan menjalankan sesuai dua kondisi ini adalah memberi nama masjid sesuai apa yang bisa dan sedapat kita pahami. Penting lagi adalah memakmurkan masjid.
Category : kebudayaan
SHARE THIS POST