Syed Ahmed Khan: Menghargai Kebebasan Akal

slider
21 Mei 2020
|
1248

Syed Ahmed Khan lahir pada 17 Oktober 1817 di Delhi, India. Menurut sejarah, dari garis ayahnya ia masih ada keturunan dari Husein, cucu Nabi Muhammad, putra Fatimah dan Ali. Neneknya, Sayyid Hadi, merupakan seorang pembesar istana pada zaman Alamghir II (1745-1759). Dalam pengetahuan agamanya, Ahmed Khan memperoleh pendidikan tradisional, belajar bahasa Arab, Persia, dan juga belajar sejarah. Pada usia delapan belas tahun, ia telah bekerja pada serikat India Timur, kemudian melanjutkan bekerja sebagai hakim. Pada 1846, ia kembali ke Delhi untuk meneruskan studi. Salah satu karya Ahmed Khan yang mengantarkan namanya menjadi terkenal yakni Ahtar Al-Sanadid. Beberapa karyanya yang terkenal sebagai bagian ide pembaruan, salah satunya yaitu Tahdzibul Akhlak dan ‘Ala Dhahiyin.

Sebagai puncak pengakuan dunia (Barat) atas jasa-jasanya, Universitas Eidenburg memberikan gelar Doktor Honoris Causa dalam bidang hukum kepada Ahmed Khan pada 1889. Sir Khan juga membangun universitas terkenal di India yang didirikan sebagai penggerak utama terwujudnya pembaharuan dikalangan umat Islam India. Gerakan ini lantas kemudian memunculkan tokoh-tokoh penting seperti Amir Ali, Muhammad Iqbal, dan Abul Kalam Azad.

Pada 1857 terjadi pemberontakan di India, ia turut andil dalam mencegah terjadinya kekerasan. Ahmed Khan dikatakan telah banyak menolong orang Inggris dan dianggap telah berjasa menolong mereka. Atas jasanya tersebut ia dianugerahi gelar “Sir” di depan namanya. Hal ini menimbulkan hubungan yang baik dengan pihak Inggris dan dipergunakan untuk kepentingan umat Islam India.

Setelah 1857, Sir Khan menjadi seorang yang rasional, dinamis, dan prakmatis. Ia lebih konsen pada nilai-nilai moral dan sosial daripada membicarakan masalah-masalah yang yang sulit dimengerti oleh akal. Ia sangat menghargai kebebasan akal, hal ini terlihat pada penempatan pemikiran keagamaan atas dasar risetnya yang kritis. Hal yang paling menohok, sekali waktu ia pernah mengemukakan, “Saya seorang muslim bukan karena saya dilahirkan di rumah Islam, melainkan saya percaya kepada Islam karena keyakinan dan riset yang saya lakukan”.

Terdapat kemiripan pemikiran antara Sayyid Ahmed Khan dengan Muhammad Abduh di Mesir, setelah Abduh berpisah dengan Jamaluddin Al-Afghani dan kembali dari perasingan. Kemiripan ini dapat diketahui dari beberapa ide yang diungkapkannya, terutama tentang akal yang memperoleh penghargaan tinggi dalam pandangannya.

Bagi keduanya, manusia mempunyai daya pikir, kebebasan untuk memilih yang merupakan sifat dasar manusia, serta kebebasan dalam menentukan kemauan dan daya untuk mewujudkannya. Syed Ahmed Khan lebih mementingkan ilmu dan teknologi, ia pun sangat menghargai kebebasan akal. Walaupun ia meyakini bahwa kekuatan dan kebebasan serta kemerdekaan manusia dalam menentukan kehendak dan perbuatan, akan diserahkan sepenuhnya kepada manusia itu sendiri. Dengan kata lain, ia memiliki paham Qodariyah dan tidak berpaham Jabariyah atau Fatalisme.

Menurutnya, manusia telah dianugerahi oleh Sang Maha Pencipta segala macam daya, di antaranya daya untuk berpikir berupa akal; dengan daya fisik untuk merealisasikan kehendaknya. Karena kuatnya kepercayaan terhadap hukum alam dan kerasnya mempertahankan konsep hukum alam, Sir Khan dianggap kafir oleh sebagian umat Islam. Ketika datang ke India pada 1869, Jamaluddin Al-Afghani menerima keluhan itu. Sebagai tanggapan atas tuduhan tersebut, Jamaluddin mengarang sebuah buku berjudul Ar-Radd Ad-Dahriyah (Jawaban bagi kaum materialis).

Selaras dengan paham Qodariyah yang dianut oleh Sir Khan, ia sangat menentang taklid. Sir Khan berpandangan bahwa umat Islam India mundur karena mereka tidak mengikuti perkembangan zaman. Gaung peradaban Islam klasik masih melenakan mereka sehingga tidak menyadari bahwa peradaban baru ini timbul dengan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi, dan inilah penyebab utama bagi kemajuan dan kekuatan Barat.

Sir Khan juga menganalogikan hubungan Tuhan dengan manusia itu laksana hubungan arloji dengan pembuatnya. Arloji akan terus berjalan secara mekanik tanpa ada hubungan lagi dengan pembuat. Apa yang direncanakan oleh pembuat itulah ketetapan yang mesti dijalaninya. Bagian-bagian dalam mesin arloji itulah yang menjalankan fungsinya. Begitu juga dengan manusia, ia tidak berbeda dengan arloji. Islam adalah agama yang paling sesuai dengan hukum alam, karena hukum alam merupakan ciptaan Tuhan, dan Al-Qur’an adalah firman-Nya, sudah tentu keduanya seiring dan tidak ada pertentangan.

Sir Khan juga sangat kritis terhadap kedua sumber hukum Islam yakni Al-Qur’an dan hadis. Apalagi hadis, yang kedudukannya sebagai sumber hukum Islam yang kedua, sangat berhati-hati dalam memakainya. Menurutnya, hadis banyak yang palsu, yang sahih saja apabila bertentangan dengan Al-Qur’an, perlu dipertimbangkan untuk dipakai. Atas dasar itulah, Sir Khan memunculkan konsep ijtihad baru dan rasionalisme. Ia menolak taklid dan membawa Al-Qur’an untuk menguraikan relevansinya dengan masyarakat baru pada zamannya.

Sebagai konsekuensi dari penolakan terhadap taklid, Sir Khan memandang dianggap perlu untuk melakukan ijtihad-ihtihad baru untuk menyesuaikan pelaksanaan ajaran-ajaran Islam dengan situasi dan kondisi masyarakat yang senantiasa mengalami perubahan. Serta melakukan penafsiran secara lebih kontekstual terhadap ayat-ayat Al-Qur’an, sehingga selalu relevan dengan perkembangan yang terjadi.

Penghargaan kebebasan Sir Khan terlihat jelas tatkala mendirikan perguruan tinggi di Aligarh. Perguruan tinggi ini asli awalnya bernama Kolese Inggris-Oriental Mohammedan pada 1875. Kolese Inggris-Oriental Mohammedan diubah menjadi Universitas Muslim Aligarh (UMA) pada 1920. Di UMA, Sir Khan berusaha untuk mengkomparasikan studi keislaman dengan pengetahuan modern. Memperkuat pandangannya dengan berusaha menafsirkan kembali Al-Qur’an sebagai sumber keyakinan rasional yang serasi dengan kepentingan ilmiah masyarakat modern. Selain itu, Sir Khan juga meyakinkan pada bangsa Eropa bahwa Islam merupakan agama yang selaras dengan akal.

Referensi:

Ali, Mukti, 1993, Alam Pikiran Islam Modern di India dan Pakistan, Bandung: Mizan.

Asrohah, Hanum, dkk, 2008, Ilmu Kalam, Mojokerto: CV. Sinar Mulia.


Category : keilmuan

SHARE THIS POST


ABOUT THE AUTHOR

Hawa’ Hidayatul Hikmiyah

Mahasiswi Pascasarjana UIN Maulana Malik Ibrahim Malang. Penggerak Gusdurian Surabaya