Suryomentaram dan Model Pengasuhan Moderat Sepanjang Zaman
Kita perlu mengakui bahwa mengasuh anak tak seindah pikiran kita ketika mulai membayangkannya dari prosesi pernikahan. Naifnya, kita masih saja bebal untuk enggan belajar pengasuhan moderat sekaligus pengasuhan bernuansa positif yang mampu menunjang perkembangan seorang anak ke arah yang lebih aktual.
Seharusnya pengasuhan di dalam sistem keluarga bisa menjadi homeostasis bagi anak untuk terus berkembang dalam menyeimbangkan dan memperkukuh ketahanan hidupnya, demi mempersiapkan kehidupan yang lebih ideal di masa depan (Sugianto, 2015).
Aktualisasi diri bagi perkembangan seorang individu menjadi penting dan perlu mendapatkan seluruh perhatian orang tua cerdas, lantaran dinamika tersebut yang akan mengantarkan seorang anak menjadi manusia paripurna sesuai dengan sumber daya yang ia miliki.
Tak sedikit bila mengingat bagaimana kasus anak yang di usianya untuk berpendidikan justru sudah diajak mengemis, mengamen, bahkan bekerja, tanpa peduli kepemilikan sumber daya dan kehendak untuk berkembang sesuai keinginannya. Seorang anak, dengan segala keunikannya, berhak memiliki hidup dengan cara tempuh yang telah ia pilih. Orang tua cukuplah menjadi pembimbing sepanjang perjalanan itu berlangsung.
Pengasuhan Moderat
Mengasuh tidak sama artinya dengan memerintah, memaksa, ataupun mematuhi; lebih daripada itu, mengasuh merupakan metode kreatif yang berfungsi sebagai sumber rasa aman dan nyaman dalam relasi orang tua-anak (Sofyan, 2019).
Perintah, paksaan, dan kepatuhan hanya akan menimbulkan respons tunduk, yang kemudian akan menjadi perasaan takut kalau-kalau tindakannya tidak sesuai dengan yang diperintahkan.
Dinamika pola ‘negatif’ semacam itu, bila terus-menerus berulang, akan memperjelas jarak di mana orang tua sebagai pihak superior dan anak sebagai pihak inferior. Relasi tak sehat ini sudah sepatutnya kita sudahi.
Pengasuhan positif atau positive parenting dianggap sebagai metode kreatif untuk menanggapi pola dinamika konservatif di atas yang telah lama dan tak lagi relevan pada zaman sekarang, serta sudah waktunya digantikan dengan pola pengasuhan yang lebih moderat.
Pengasuhan positif dapat diartikan sebagai pengasuhan yang berdiri pada asas suportif, konstruktif, dan menyenangkan. Anak tidak lagi dianggap sebagai sepertiga manusia, namun dianggap sebagai seutuhnya manusia; beserta segala sumber daya dan aktualisasi diri yang dikehendakinya.
Suportif artinya orang tua mampu mendukung seluruh sumber daya yang hendak dikembangkan oleh seorang anak. Konstruktif artinya terdapat keberfungsian pola pengasuhan yang seimbang di dalam keluarga dan tidak hanya bertumpu pada salah satu peran orangtua. Menyenangkan artinya pengasuhan yang menjadi tempat ternyaman bagi anak untuk menuangkan segala gagasan dan keluh kesahnya.
Penelitian Suminar dan Hamidah (2021) menunjukkan bahwa pengasuhan positif berelevansi tinggi dengan perkembangan aktual bagi anak, termasuk dalam domain kecerdasan emosional seorang anak. Artinya, pengasuhan positif menjadi langkah bijak dalam mengemban kehidupan seorang anak agar berkembang secara optimal, bahkan dari segala domain perkembangan manusia.
Kawruh Pamomong
Kawruh pamomong (pengetahuan mendidik anak) kali pertama diperkenalkan oleh Ki Ageng Suryomentaram (Gularso dkk., 2019). Kawruh pamomong merupakan salah satu bagian konstruksi paradigma mengenai kawruh begja (pengetahuan kebahagiaan).
Artinya, Suryomentaram hendak mengenalkan konsep mendidik anak bagi orang tua yang basis tujuannya adalah untuk mengalami hidup yang penuh kebahagiaan. Anak dipahami sebagai seutuhnya manusia yang berkembang dengan caranya masing-masing, yang juga seharusnya terlepas dari segala intervensi orang tuanya.
Anak bukanlah perpanjangan tangan bagi cita-cita orang tua yang di masa lalu tak dapat terwujudkan. Afthonul Afif (2020) menjelaskan bahwa prinsip kawruh pamomong didasarkan pada keyakinan bahwa seorang anak memiliki kehidupannya sendiri dan orang tua cukuplah menjadi pembimbing atau supervisor yang mengarahkan langkah anak dalam menapaki kehidupan tersebut.
Suryomentaram sendiri menganggap kebahagiaan bukan semacam tujuan akhir bagi manusia dalam mengarungi kehidupan. Justru sebaliknya, kebahagiaan diartikan sebagai dinamika lengkap yang setiap manusia setidaknya pernah mengalami disepanjang kehidupan.
Kebahagiaan tidak seperti sesuatu yang kita dapatkan setelah mengalami banyak rintangan, namun kebahagiaan adalah proses itu sendiri ketika kita merespon rintangan-rintangan yang ada.
Preposisi ini penting untuk dipahami agar kelak dalam mendidik anak, kita sebagai calon orang tua lebih berfokus pada dinamika proses, bukan pada tujuan yang terkesan kaku dan gersang dari makna-makna pengetahuan.
Dimensi Pamomong
Kawruh pamomong memiliki tiga dimensi sebagai peta untuk memahami pengasuhan moderat versi Suryomentaram. Tiga dimensi tersebut adalah raos sumerep, raos sih, dan mencintai keindahan.
Fikriono (2018) menyatakan, melalui tiga dimensi ini, yang mungkin terdengar sangat sederhana, Suryomentaram menyentuh makna-makna dan intisari pengasuhan moderat yang didasarkan pada dinamika kebahagiaan bagi seorang anak.
Raos sumerep (rasa mengetahui) merupakan dimensi yang mengakar pada cara-cara berpikir benar, tepat, dan presisi. Raos sumerep menjadi aspek paling awal yang harus diajarkan oleh orang tua kepada seorang anak, agar tumbuh menjadi pelajaran fundamental sejak kecil hingga dewasa kelak. Hal ini yang akan menjadi bekal utama bagi seorang anak untuk mengalami dinamika kebahagiaan.
Raos sumerep didasarkan pada makna ilmu nyata, di mana tiap momentum yang terjadi bagi anak, entah baik entah buruk, penting rasanya untuk dikaitkan dengan pengetahuan yang sebenar-benarnya; yang senyata-nyatanya.
Seperti ketika seorang anak yang sudah mulai belajar berjalan, terpeleset mainannya atau tersandung benda lain, lantas ia menangis. Bila berkaca pada prinsip kawruh pamomong, orang tua menenangkannya bukan dengan cara menyalahkan benda-benda penyebab si anak jatuh. Tapi dengan cara memberitahu si anak bahwa ia terjatuh karena benda ini dan ia kurang berhati-hati. Terpeleset, tersandung, saat belajar berjalan sesuatu yang wajar terjadi bagi ia sebagai anak kecil yang sedang belajar berjalan dengan baik.
Dengan begitu, anak mengetahui bagaimana konstelasi kejadian yang menimpanya secara moderat dan hal demikian akan mengantarkannya pada keterampilan menyingkirkan bias-bias peristiwa di masa depan.
Selanjutnya adalah dimensi raos sih (rasa kasih sayang). Pada dimensi ini, anak diajarkan untuk mampu memiliki sekaligus menunjukkan rasa kasih sayang terhadap sesama manusia dan alam.
Dimensi raos sih berusaha membidani sikap dan cara berpikir mengenai kehidupan sosial yang penuh ragam, sehingga seorang anak membutuhkan bekal dalam memandang fenomena yang terjadi di depan matanya dengan rasa kasih sayang. Tidak ada lagi iri-dengki di antara pergaulan seorang anak apabila ia sendiri mempunyai basis makna mengenai rasa kasih sayang terhadap sesama temannya.
Seorang anak tidak akan mengkhianati teman, tidak akan berlaku curang terhadap teman, tidak berusaha meraup keuntungan bagi dirinya sendiri tanpa mempertimbangkan konteks pergaulan dengan teman. Sebab ia memahami bahwa rasa kasih sayang adalah kunci suksesi mengalami dinamika kebahagiaan di dalam relasi pertemanannya.
Dimensi terakhir yang perlu diajarkan oleh orang tua kepada seorang anak agar tercapainya pengasuhan positif paling moderat adalah rasa mencintai keindahan. Sebagai dimensi yang bersifat evolusioner dalam paradigma kawruh pamomong, rasa mencintai keindahan menjelma sebagai sebentuk konsep diri yang paripurna yang penting dimiliki oleh seorang individu. Hal ini perlu diinternalisasikan secara matang melalui pengasuhan pada seorang anak.
Mencintai keindahan artinya melihat segala fenomena yang terjadi, dari yang baik hingga yang buruk, melalui sisi bermakna yang reflektif, positif, dan sekaligus afirmatif. Maksudnya, seorang anak memerlukan ‘kacamata’ yang akan berfokus pada hal-hal positif dan potensial di setiap peristiwa tertentu yang ia alami selama hidup.
Dengan begitu, seorang anak akan memiliki daya lenting terhadap stressor yang akan ia hadapi. Seperti halnya ketika seorang anak mampu melihat celah keterampilan spesialis di bidang menulis, misalnya, yang ia miliki sejauh ini, ketimbang sekadar menganggap bahwa dirinya tidak bisa melakukan keterampilan sepak bola, badminton, tenis meja, bahkan melukis.
Melalui raos sumerep, raos sih, dan mencintai keindahan, seorang anak yang mendapatkan pengasuhan versi kawruh pamomong akan tumbuh menjadi seorang individu yang moderat, konstruktif, dan optimal dalam menghadapi kehidupan.
Penelitian-penelitian yang telah dilakukan, seperti Muniroh (2018), Diananingrum dan Gularso (2018), dan Setyani (2019), menunjukkan hasil signifikan mengenai penerapan dimensi-dimensi kawruh pamomong terhadap konsep diri yang moderat, konstruktif, dan optimal pada seorang anak.
Pranala: Pengasuhan Positif Sepanjang Zaman
Aktualisasi diri seorang anak yang tumbuh dan berkembang secara optimal merupakan capaian yang diidam-idamkan oleh setiap orang tua. Seperti seorang anak yang menjalani kehidupannya sendiri secara mandiri, konstruktif, dan mampu keluar dari kubang konflik yang sedang dihadapinya, merupakan tahapan yang membuat perasaan hangat bagi orang tua.
Dengan begitu artinya orang tua telah sukses melakukan peengasuhan yang tepat untuk kemudian dipahami sebagai bekal paling mendasar yang bisa diberikan oleh orang tua kepada anak.
Kawruh pamomong sebagai paradigma mendidik anak secara moderat versi Suryomentaram ini tak ubahnya seperti pengasuhan positif yang dapat berlaku sepanjang zaman; yang tak lapuk dilekang zaman; yang selalu koheren dengan kontekstual perubahan zaman mana pun.
Daftar Pustaka
Afif, Afthonul, 2020, Psikologi Suryomentaraman, Yogyakarta: IRCiSoD.
Diananingrum, Novika, dan Dhiniaty Gularso, "Hubungan Pola Asuh Keluarga Menurut Kajian Kawruh Pamomong Ki Ageng Suryomentaram dengan Karakter “Sih” Pada Siswa SD Balong Sewon Bantul Yogyakarta", dalam Elementary School, Vol. 5, No. 2, 2018.
Fikriono, Muhaji, 2018, Kawruh Jiwa: Warisan Spiritual Ki Ageng Suryomentaram. Tanggerang Selatan: JAVANICA.
Gularso, Dhiniaty, Sugito, dan Zamroni, "Kawruh Pamomong: Children Education Based on Local Wisdom in Yogyakarta", dalam Cakrawala Pendidikan, Vol. 39, No. 2, 2019.
Muniroh, Alimul, "Kawruh Pamomong Ki Ageng Suryomentaram: Prinsip-Prinsip Moral untuk Mengoptimalkan Pendidikan Empati pada Anak", dalam Proceedings of Annual Conference for Muslim Scholars, Series 2, 2018.
Setyani, Turita Indah, "Rasasih As the Basic Guide for Human Relations in Kawruh Pamomong Manuscript". Proceeding of The International Conference on Literature, Vol. 1, No. 1, 2019.
Sofyan, Iyan, "Mindful Parenting: Strategi Membangun Pengasuhan Positif dalam Keluarga", dalam Journal of Early Childhood Care and Education, Vol. 1, No. 2, 2018.
Sugiarto, Ryan, 2015, Psikologi Raos: Saintifikasi Kawruh Jiwa Ki Ageng Suryomentaram, Yogyakarta: Pustaka Ifada.
Suminar, Dewi Retno, dan Hamidah, "Membangun Kesehatan Mental Anak Usia Dini dengan Pengasuhan Positif", dalam Indonesia Berdaya, Vol. 2, No. 1, 2021.
Category : keilmuan
SHARE THIS POST