Surat untuk Sobat Jamaah Ngaji Filsafat: Mari Menjaga Kewarasan
Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh
Kepada yang terhormat, saudara-saudaraku, sobat jamaah Ngaji Filsafat. Teriring salam cinta dan doa semoga keselamatan serta kesehatan selalu menyertai kita semua. Perkenankan saya menulis surat ini sebagai curhatan—untuk penguat sekaligus—kepada diri sendiri, juga kepada semua sobat yang sering ikut Ngaji Filsafat atau sering mantengin Ngaji Filsafat lewat YouTube MJS Channel dan media lainnya.
Sudah tiga minggu sejak pengumuman libur Ngaji Filsafat, sejak itu pula saya merasakan hambar tiap Rabu malam Kamis. Mungkin tidak seperti jomblo saban malam Minggu, tapi mungkin juga sedikit mirip. Tidak ada lagi guyonan khas dari Pak Faiz yang membuat kita berorkestra ketika tertawa beriringan. Tidak ada lagi pembukaan yang khas dari dua orang takmir yang satu orang di antaranya—namanya saya belum tahu tapi saya hafal betul wajahnya. Tidak ada lagi duduk khas setengah melingkar, tapi hanya bagian jamaah cowok saja, sedangkan bagian cewek mentok sejajar barisan cowok di bagian depan Pak Faiz. Juga tidak ada lagi antri minuman yang kadang bisa sampai ke parkiran SMA Kolombo kalau lagi banyak jamaah yang hadir. Tidak ada lagi para ahli hisab yang menempati lokasi-lokasi di pinggir-pinggir pintu masjid. Tidak ada lagi para tukang lapak MJS Press yang menjajakan buku-buku saat ngaji sudah menemui waktu akhir, yang bikin saya selalu menyempatkan untuk berhenti sejenak melihat-lihat. Dan kalau sedang khilaf, buku apa aja bisa saya beli. Ya, untuk sementara semua hal itu tidak akan bisa kita saksikan atau alami secara langsung. Kita hanya akan berada pada level mengingat-ingat semuanya, lalu merasa rindu akan rutinitas Rabu malam Kamis setiap minggunya itu.
Saudara-saudaraku, sobat jamaah Ngaji Filsafat. Secara silsilah, kita tidak pernah dipersatukan sebagai satu keluarga dalam garis darah. Tapi saya menganggap kita adalah saudara dan saya juga berpikir Anda pun akan beranggapan yang sama terhadap saya. Bukankah dalam hadis dikatakan, “Seorang muslim adalah saudara bagi muslim lainnya?” Sedang untuk yang nonmuslim, saya tetap menganggap Anda semua juga sebagai saudara. Bukankah Ali bin Abi Thalib juga mengatakan, “Yang bukan saudaramu seiman adalah saudaramu dalam kemanusiaan?” Maka mulai sekarang dan seterusnya, kalian semua saudara saya.
Terakhir kali ngaji kita sudah sampai pada tema ekonomi. Adalah pertemuan Rabu kedua (11/3/2020) yang membahas tentang teori ekonomi berdasarkan buku The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism karya Max Weber. Tapi tenang saja, saya tidak akan membahas soal pertemuan terakhir itu. Saya hanya akan sedikit memberikan persepsi cocokologi saya sebelum kita akhirnya masing-masing harus #dirumahaja atau #dikosaja. Bahwa sebelum kita mulai ngaji di bulan Maret dengan tema ekonomi, pada Februari kita masih berkutat dengan tema pendidikan.
Saya secara pribadi sempat “hah?” ketika Pak Faiz mengatakan akan mengangkat tema ekonomi pada bulan Maret. Tidak seperti biasa, atau memang saya yang tidak bisa seperti biasa? Lalu mulailah pada sekitar minggu kedua bulan Maret terjadi hal-hal yang bahkan di luar nalar, namun sudah diprediksi beberapa ahli. Melonjaknya pasien Covid-19 yang secara serentak membuat suasana gaduh. Orang-orang tidak bisa menahan untuk panik, juga ada orang-orang yang memanfaatkan kepanikan itu demi uang, demi duit, demi materi. Maka saya kembali tertegun, bagaimana bisa Pak Faiz memprediksi “tema ekonomi” sebagai materi Ngaji Filsafat terakhir kita pada bulan Maret? Sampai sekarang, “ekonomi” ini masih menjadi perbincangan yang entah kapan ujungnya.
Saudara-saudaraku, sobat jamaah Ngaji Filsafat. Banyak informasi yang saya simak dari berbagai media, online maupun offline, saya menemukan begitu banyak informasi, pendapat, dan data yang saling silang (mungkin juga teman-teman mengalami hal yang sama). Dari semua informasi itu tidak sedikit yang memancing emosi, membuat gaduh, saling tuduh, saling menyalahkan, bahkan di antaranya ada juga kabar hoax. Pernah sekali duakali muncul di WhatsApp grup keluarga saya. Bukan mau menyalahkan om-tante saya yang kadang tidak cermat menganalisa sebuah berita. Tapi kadang faktanya berkata demikian. Sedangkan di sisi lain, saya percaya sobatNgaji Filsafat tidak akan kesulitan menerapkan pola klarifikasi data dan fakta yang sudah sering kita dengarkan caranya ketika gelaran Ngaji Filsafat berlangsung, atau ketika kita membaca buku-buku rujukan tentang berpikir logis ala filsafat. Tidak bisa dimungkiri juga ketika saya berharap lebih daripada itu, sobat Ngaji Filsafat berada pada tingkatan lebih tinggi untuk berpikir kritis dan membangun dalam masa pandemi sekarang ini.
Jujur saja, dari beberapa informasi hoax yang pernah saya terima (dan tentu saja tidak saya percayai), satu atau dua telah berhasil mengelabuhi beberapa anggota keluarga saya. Dan informasi tersebut, tidak hanya berhasil mengelabuhi beberapa orang, bahkan masyarakat banyak dibeberapa propinsi. Adalah informasi tentang telur rebus yang akan bisa menangkal virus corona masuk ke dalam tubuh jika dimakan sebelum pukul 24.00. Anda semua terkejut? Semoga tidak. Sebab informasi hoax itu benar-benar dipercaya, dan banyak orang melaksanakan instruksi itu secara serempak. Bahkan saya sempat ditelepon kakak saya untuk melakukannya. Sayangnya saya tidak gampang untuk dikelabuhi. Saya berpikir, sobat jamaah Ngaji Filsafat juga tidak akan melakukan hal yang sama karena informasi hoax semacam ini—yang bahkan tayang di salah satu kanal online, Vice.
Maka dalam keadaan seperti sekarang ini, saya berharap kepada sobat semua, jamaah Ngaji Filsafat, mari kita untuk tetap pada koridor yang lurus. Berpikir secara kritis namun tetap waras dan logis. Karena pada kondisi macam sekarang ini, kita kadang dipaksa untuk berpikir tidak pada tempatnya. Imbauan-imbauan dan aturan yang dikeluarkan oleh pemerintah dan lembaga-lembaga tertentu, kadang membuat kita mengernyitkan dahi. Majelis Ulama Indonesia menghimbau untuk tidak shalat Jumat serta menggantinya dengan shalat Zuhur saja di rumah masing-masing. Hanya sekadar imbauan begini saja sudah membuat kuping banyak orang menjadi merah. Banyak yang menganggap ini sama saja melarang shalat, dan imbauan itu disejajarkan dengan melanggar hak asasi untuk beribadah. Padahal jika dicermati secara jelas dengan nalar berpikir yang kritis namun tetap waras dan logis, shalat berjamaah memang punya peluang menyebarkan virus corona. Dalam posisi shaf-shaf shalat, kita tidak tahu siapa saja yang sudah membawa virus dalam dirinya. Berpikir bahwa shalat terutama berjamaah adalah hal yang baik memang sangat perlu, namun kita sedang menghadapi sesuatu yang bahkan tidak kasat secara mata telanjang. Kita juga tidak bisa memastikan siapa saja yang sudah membawa virus itu dalam dirinya. Jangankan untuk menilai orang lain, menilai diri kita sudah bebas dari virus saja adalah hal yang mustahil. Maka salah satu hal mungkin jadi pembelajaran buat kita semua adalah sabar dan bermuhasabah diri.
Lalu banyak juga para pesohor, bahkan ada dari kalangan ustaz al-televisiun wal yutubiah yang tetap menyarankan—malah lebih cenderung menyuruh—untuk tetap berjamaah karena nilai pahala lebih penting dari ketakutan kepada makhluk. Mungkin ada benarnya untuk kondisi tertentu, tapi untuk saat ini, saya pikir tidak selogis yang disampaikan sang agamawan itu. Bahkan pada kondisi seperti saat ini, kita dituntut untuk suuzon kepada siapa saja tanpa terkecuali. Jangankan cipika-cipiki, bersalaman saja tidak boleh karena terbuka berpotensi tertular atau menularkan virus. Dalam banyak kasus yang telah kita temui dan benar terjadi, kita melihat begitu banyak orang yang sesumbar dengan pandemi ini dan justru berakhir menjadi ODP (orang dalam pengawasan), PDP (pasien dalam pengawasan), bahkan pasien positif dan tidak jarang berakhir meninggal dunia.
Dan masih banyak lagi informasi lain yang benar-benar butuh kewarasan untuk menyikapinya agar kita tidak terjerumus pada hal yang merugikan.
Saudara-saudaraku, sobat jamaah Ngaji Filsafat. Melihat pandemi seperti saat ini, kita benar-benar dituntut untuk berpikir secara waras. Tanpa terkecuali! Kita dituntut untuk membuka keran-keran berpikir kita setiap saat dari mulai bangun tidur sampai menjelang tidur. Kita dituntut tepat dalam kewarasan untuk berada #dirumahaja. Menjaga kewarasan untuk memutus rantai penyebaran virus melalui social/physical distancing. Menjaga kewarasan untuk saling membantu kepada yang lemah dan tidak berdaya, serta menjaga kewarasan untuk sadar sepenuhnya bahwa musuh kita satu, virus corona, dan pertahanan terakhir kita adalah tenaga medis digaris terdepan pertempuran yang tidak hentinya berjibaku membangun tembok pertahanan agak kita tetap aman.
Sekali lagi, kepada saudara-saudaraku, sobat jamaah Ngaji Filsafat, mari kita menjaga kewarasan dalam masa pandemi ini. Karena kita adalah tentara dalam perang ini dan senjata yang paling memungkinkan yang kita miliki dan bisa kita gunakan untuk melawan adalah berpikir waras. Semoga kita semua tetap sehat dan terjaga dari pandemi.
Salam untuk semua sobat jamaah Ngaji Filsafat, semoga tidak lama lagi kita bisa saling bertatap muka dan duduk setengah melingkar menghadap guru kita, Pak Fahruddin Faiz.
Saya cinta kalian semua. #SobatNgajiFilsafat #StayPhilHome
Wasslamualaikum warahmatullahi wabarakatuh
Ttd
Taufik Hidayat
(Santri Ngaji Filsafat, anak pantai yang suka naik gunung)
Category : catatan santri
SHARE THIS POST