Surat Balasan untuk R.A. Kartini

20 April 2018
|
1204

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuhu,

Di awal surat ini, terlebih dahulu aku panjatkan doa semoga Ibu senantiasa berada dalam lindungan-Nya. Sehat walafiat dan tak kurang satu apa pun jua. Barangkali, Ibu akan terkejut menerima surat ini karena bukan dari Nyonya Van Kol, Nyonya Abendanon, Stella, maupun sahabat pena Ibu lain yang londo itu. Perkenalkan, aku anak pribumi yang luput dari jangkauanmu. Tak hanya jarak yang memisahkan kita, zaman pun juga berbeda.

Jujur, tanganku masih gemetar. Sedikit canggung harus menulis apa untukmu, Bu. Kudengar, engkau enggan dipanggil dengan sebutan “Raden Ayu” karena engkau seorang putri yang berbeda dari keturunan bangsawan lain. Haruskah kupanggil engkau Ni atau Nil (Trinil), seolah kita tinggal di bawah ‘satu atap’? Ataukah, nenek? Lantaran, aku lahir tepat 88 tahun setelah kepergianmu. Hemm... marilah kita sepakati saja, engkau akan kupanggil “Ibu” sesuai lirik lagu tentangmu yang sering kutembangkan bersama guru dan kawan-kawanku pada bulan-bulan ini.

Kudengar, Ibu ingin tertidur 100 tahun lamanya, lalu tiba-tiba bangun menyambut zaman dan suasana yang jauh berbeda lagi berperadaban. Mungkin, aku bisa membantumu mewujudkannya, Bu. Namun, dengan cara yang berbeda. Akan kukabarkan kepadamu tentang bagaimana Tanah Air tercinta kita pada 100 tahun pascakepulanganmu. Tepatnya, pada zaman yang sedang kunikmati sekarang ini.

Oh, iya, apa yang akan kusampaikan ini adalah tentang apa yang terlihat dan terasa olehku—bisa jadi akan berbeda jika engkau mendengarkan atau menerima surat dari orang lain. Entah apa yang akan kusampaikan ini akan menggembirakan atau justru menambah deras tangismu di bilik pingitan itu, Bu.

Hal pertama yang barangkali ingin sekali Ibu tahu adalah tentang nasib para perempuan di negeri kita seabad kemudian. Alhamdulillah, mereka kini sudah berada di posisi yang sama dengan laki-laki. Sama-sama memiliki kemudahan untuk memperoleh pendidikan maupun pekerjaan. Kehidupan yang layak pun bisa mereka raih, tergantung pada usaha masing-masing. Ibu tidak usah mengkhawatirkan hal itu. Para aktivis dan lembaga sosial sudah semaksimal mungkin menyuarakan perjuangan Ibu dan teman-teman. Kami semua juga ikut mendukungnya demi kemajuan bersama, tanpa memandang siapa orangnya.

Kalau soal pakaian, para perempuan pada masa ini bahkan sampai bingung memilih model dan corak yang mereka suka. Saking banyaknya pilihan. Setiap penjual menawarkan produk teranyar agar perempuan kita tidak ketinggalan mode dan tren. Namun, ada di antara para perempuan itu yang lebih suka memilih model pakaian ‘terbuka’ sehingga para laki-laki pun ikut bingung harus bersikap bagaimana. Aku tak akan berkomentar banyak soal itu karena masih banyak juga yang memilih model busana yang lebih sopan.

Kalau untuk soal bersolek, tidak usah ditanya, Bu. Begitu banyak peralatan rias yang bisa dibawa ke mana-mana. Aku pun sampai tidak mampu menghafal namanya satu per satu.

Di sisi lain, aku memahami bahwa semua itu menjadi kebutuhan bagi mereka agar mereka terlihat cantik. Tetapi... bayangkan, Bu, jika sampai ada di antara mereka yang mengubah bentuk tubuh hanya demi sebuah penampilan ataupun memenuhi standar “kesempurnaan” belaka. Bukankah masih ada banyak hal yang perlu diperbaiki, selain penampilan? Benar, kan, Bu?

Sementara tentang pernikahan, para perempuan zaman ini sudah punya kemerdekaan untuk memilih pasangannya sendiri. Mereka tidak perlu lagi dipingit. Kami, laki-laki dan perempaun, bebas bergaul satu sama lain. Bahkan, bisa lepas dari pengawasan orang tua. Kadang, kami pergi ke tempat yang kami suka. Berdua saja, meskipun belum berada dalam status pernikahan yang sah. Tidak jarang pula, pasangan yang sudah menikah ikut mendatangkan “orang lain” dalam mahligai rumah tangganya. Bukan poligami, Bu! Tapi, yaa... begitulah! Itu yang terjadi.

Berkenaan dengan masalah poligami, aku tidak bisa mengatakan bahwa kenyataan itu tidak terjadi sama sekali, Bu. Akan tetapi, pada umumnya masyarakat kita pada masa ini sudah banyak yang menganut paham monogami. Walaupun, tetap ada yang memilih untuk berpoligami yang biasanya disertai dengan pertimbangan tertentu. Situasi pada masa ini yang jelas cukup berbeda dengan zaman generasi Ibu. Semoga perihal sistem perkawinan yang satu itu tidak lagi menyakiti sesama, sesuai ungkapkan Ibu.

Saat ini kita sudah menikmati kemerdekaan hampir 73 tahun semenjak 1945. Para penjajah sudah hengkang dari Tanah Air ini. Kita sekarang dikenal dan diakui sebagai bangsa Indonesia oleh negara lain. Kita memang sudah merdeka. Tidak lagi diperangi dengan senjata yang menyebabkan lumuran darah dan mayat bergelimpangan di mana-mana. Akan tetapi, aku merasa kita masih terjajah, Bu—memang bukan karena perang fisik. Sekarang bukan lagi zamannya perang fisik, tetapi perang intelektual. Ada kekuatan asing yang berusaha menanam investasi ke negara kita. Bukan berarti mereka tidak bersurat izin. Memang ada tujuan baik di sana. Namun, jika masyarakat kita yang dirugikan, apalah gunanya.

Aku menyadari bahwa negara kita ini memang kaya, subur, gemah ripah loh jinawi. Namun, di antara kita masih banyak yang hidup di bawah garis kemiskinan. Kita masih belum swasembada pangan. Masih banyak di antara kita yang tidak bertempat tinggal, bahkan yang punya rumah pun ada yang harus mengalami penggusuran. Aku tak tahu harus bagaimana menyampaikannya. Andai saja Ibu punya alat komunikasi yang pada zaman ini macam gawai, sudah pasti akan kubagikan berita-berita terkini kepada Ibu. Sama seperti Raden Mas Kartono yang mengirimi surat dan buku-bukunya kepada Ibu.

Nah, mengenai alat komunikasi yang kusebut tadi, kita tidak hanya bisa menghubungi siapa pun dari jarak jauh. Dengan alat itu, kita bisa mengetahui seluruh informasi dunia dalam waktu singkat. Ibu hanya tinggal mengetik kata apa saja, maka akan muncul informasi tentangnya dalam hitungan detik. Jarak antarwilayah di dunia ini pun rasanya menjadi semakin sempit.

Selain itu, pada masa ini bangsamu juga sudah menikmati apa yang disebut “media sosial”. Melalui gawai, Ibu bisa memiliki akun di media sosial. Akun tersebut akan membuat Ibu terhubung dengan banyak orang. Ibu bisa menjelajahi pertemanan virtual dengan siapa pun dari negara mana pun.

Tak bisa kubayangkan jika peranti itu berada di tangan Ibu sekarang. Tentu Ibu akan mahir mengoperasikannya, sahabat pena Ibu tentu akan semakin banyak. Cerita-cerita yang Ibu tuliskan di beranda media sosial pun pasti akan mendapatkan banyak jempol, komentar, dan dibagikan oleh banyak orang. Mungkin, Ibu akan betah berlama-lama di dalam kamar, apalagi kalau koneksi internet lancar. Saya yakin Ibu tidak hanya disebut sebagai seorang perempuan yang melampaui zamannya. Sebab, sebutan sebagai perempuan yang menguasai berbagai zaman pun pantas Ibu sandang.

Jujur, aku kagum kepadamu, Bu. Walaupun, aku mengenalmu dari orang lain. Terutama, dari surat-surat yang Ibu kirimkan kepada sahabat-sahabat pena Ibu itu. Aku memang bukan orang yang pantas untuk membalas surat-surat itu karena bukan dialamatkan kepadaku. Hanya saja, aku mengintip isi surat itu, kemudian ingin menjadi sahabat pena Ibu juga. Aku pun insaf akan diriku yang masih kering dalam menulis—orang yang piawai menulis tentu memamah bacaan apa saja yang ada, selama menambah nutrisi untuk otaknya.

Akan tetapi, kata yang selalu terngiang di kepalaku setelah menonton film Kartini tahun lalu adalah “kebaktian”. Ibu menemukan kebebasan dalam membaca buku. Namun, ada satu hal yang diajarkan Mas Ayu Ngasirah, ibundamu, yang tidak tertulis di dalam buku: kebaktian. Bakti kepada orang tua. Allah Swt pun meridainya.

Aku juga mulai memahami alasan Ibu berusaha sedikit menekan ajaran-ajaran kebebasan yang ada di dalam buku. Lalu, menerima setiap risiko dari pernikahan itu. Jawabannya, tidak lain karena rasa bakti kepada orang tua yang dicintai, terutama Ibu.

Demikian Bu, surat yang dapatku tulis. Salam hangat dariku.

Yogyakarta, 21 April 2018


Category : kolom

SHARE THIS POST


ABOUT THE AUTHOR

Zulhamdani