Spiritualitas, Intelektualitas, dan Tradisi Islam menurut Seyyed Hossein Nasr

slider
08 Mei 2024
|
1253

Kajian spiritualitas Islam tampaknya terus mendapat perhatian dalam cakrawala pemikiran Islam dan Barat, begitu tutur salah seorang intelektual muslim, Seyyed Hossein Nasr.[1] Ia melihat adanya daya minat yang tinggi dalam mengkaji Islam di berbagai belahan bumi, khususnya di Barat.

Pentingnya dimensi spiritual manusia dalam mencapai kehidupan yang bahagia, mulai banyak dirasakan oleh orang-orang Barat. Di antara kalangan intelektual Barat, ada William C. Chittick yang mencoba menguraikan tentang spiritualitas dalam Islam. Namun sayang, minat atas kajian spiritualitas tersebut secara umum masih dalam konteks doktrin-historis.

Spiritual Islam dalam pandangan Nasr merupakan hal yang paling mendasar atau fitrah bagi seluruh manusia. Dalam menempuh kehidupan dengan tujuan yang sebenarnya, manusia tidak boleh meninggalkan dimensi spiritualnya. Konsep spiritualitas Islam menawarkan kepada kita bahwa dimensi lahir dan batin manusia harus saling berkesinambungan. Dimensi-dimensi itulah yang dicoba oleh Nasr untuk diuraikan dan diangkat kembali sebagai tema yang haru diberi perhatian khusus.

Sementara itu, spritiual selalu mewarnai dan tidak pernah luput dalam sejarah perjalanan Islam. Meskipun dalam sejarah seringkali ada perkembangan dan juga pertentangan di antara kalangan pemikir muslim satu sama lain. Banyak dari para pembesar Islam yang mempunyai pandangan masing-masing tentang spiritualitas. Lebih luas lagi, kajian itu menjadi disiplin ilmu tersendiri dalam Islam yang biasa disebut dengan ilmu Tasawuf atau Akhlak. Demikian, Nasr tidak ingin kajian spiritual itu hanya sebatas historis, melainkan lebih ditekankan lagi penerapannya yang sesuai dengan keadaan zaman tanpa meninggalkan kaidah-kaidah dasar.

Untuk memahami gagasan-gagasan Seyyed Nasr, perlu kiranya mengetahui definisi spiritual yang dijadikan dasar dalam pemikirannya itu. Spiritual dalam pendekatan bahasa, berasal dari kata “spirit” yang berarti semangat yang berada di jiwa manusia.[2] Sederhananya, spiritualitas adalah dorongan semangat yang ada di setiap jiwa manusia mengenai keruhanian atau kebatinan dan selalu berkaitan dengan Tuhan. Poin pertama yang perlu digarisbawahi, yakni spiritual merupakan bagaian intim dari manusia yang seharusnya tidak dikecualikan oleh setiap individu.

Dilihat dari segi pemaknaan, spiritual Islam berusaha mengarahkan manusia agar selalu berada dalam kebahagian yang sejalan dengan prinsip ilahiah. Sebagaimana Al-Qur’an menegaskan dalam surah Al-Baqarah ayat 201 yang artinya, Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat serta lindungilah kami dari azab neraka.”

Kebaikan dunia dan akhirat itu harus ditempuh dengan jalan pandang yang kompleks antara dimensi lahir dan batin manusia. Jadi, tidak ada alasan bagi manusia untuk condong atau bahkan meninggalkan salah satu dari kedua dimensi tersebut.

Kedua, spiritual ada sebagai prinsip yang membentengi manusia dari ketakutan dan kemunduran. Hal tersebut ditegaskan Allah dalam Al-Qur’an surah Yunus ayat 62-62 yang artinya, “Ingatlah wali-wali Allah itu, tidak ada rasa takut pada mereka dan mereka tidak bersedih hati. (Yaitu) orang-orang yang beriman dan senantiasa bertakwa.

Maksudnya, hidup yang tidak meninggalkan peranan spiritual tidak akan takut terhadap fenomena-fenomena negatif atau tekanan hidup yang ada di sekelilingnya. Seyyed Nasr yang hidup sebagai minoritas muslim di daratan Amerika, ia tetap mempertahankan prinsip dan keyakinnnya karena adanya sikap spiritual yang ia dapatkan dari pendidikan sejak kecil.

Terakhir, dimensi spiritual manusia yang dibangun sungguh-sungguh akan memberi dampak positif terhadap lingkungan sosial. Dalam konteks sejarah kenabian, Muhammad sebelum diutus menjadi Nabi selalu mempersiapkan dimensi spiritualnya dengan cara sering menyendiri dan merenung di Gua Hira.

Hasilnya, Muhammad menjadi pemuda yang mendapatkan perhatian sosial karena kebaikan-kebaikannya sehingga mendapat gelar al-Amin (jujur terpercaya). Hal tersebut bisa dilihat bahwa yang dirasakan masyarakat Arab pada waktu itu karena kepribadian Nabi Muhammad Saw yang shaleh secara lahir dan batin.

Spiritualitas Seyyed Hossein Nasr

Ketika usia Seyyed Nasr masih sangat muda, proses pembelajaran di Amerika yang memaksakan positivisme secara implisit telah mendatangkan berbagai persoalan dalam kehidupannya. Persoalan dan kegelisahan yang dirasakan Nasr membuatnya mengalami krisis intelektual dan spiritual, meskipun tidak sampai mengganggu keyakinan dan pandangan hidupnya. Bahkan, Nasr melihat berbagai krisis dalam sistem kehidupan karena manusia sebagai pelaku tidak memiliki kesadaran terhadap yang suci (kesadaran spiritual).[3]

Dalam kesempatan lain, Seyyed Nasr berpendapat bahwa kesengsaraan dan kesedihan manusia itu setimpal dengan jarak jauhnya dari asal-usul keruhanian.[4] Menurutnya, kualitas spiritual akan berpengaruh terhadap berbagai aspek kehidupan. Bagi seorang agamis tradisionalis yang aktif dalam dunia pemikiran Islam, Nasr menganggap bahwa segala sesuatu dalam kehidupan selalu berkaitan dengan agama, khususnya dalam aspek spiritual.

Seyyed Nasr beranggapan bahwa agama dan manusia itu memiliki dua dimensi, yaitu dimensi lahir dan batin. Hal tersebut didasarkan kepada Tuhan yang menyebut diri-Nya sebagai Yang Dzahir dan Yang Batin. Sedangkan alam semesta dan seluruh isinya dianggap sebagai pancaran dan alamat dari nama dan sifat Tuhan tersebut. Jadi, realitas yang hanya mengedepankan dimensi lahir menunjukkan adanya pengingkaran terhadap realitas yang sebenarnya.

Adapun yag dilihat Nasr, dunia Barat menganggap agama hanya sebagai aspek historis yang tidak memberikan kemajuan bagi kehidupan. Di sisi lain, orang-orang Barat melihat agama hanya dari sisi eksoterik (lahir) sehinga manusia cenderung mengedepankan rasionaltas dalam menanggapi berbagai persoalan.

Bagi Nasr, tentu hal itu dapat menjauhkan manusia dari keadaan fitrahnya. Dengan demikian, Nasr berupaya untuk menyadarkan manusia terhadap keadaan fitrah tersebut. Upaya-upaya yang ia hadirkan berupa konsep spiritual agar manusia dapat memahami realitas dan kembali menjadi seutuhnya.

Tradisi Islam dan Spiritualitas di Era Modern

Gagasan Islam tradisional Seyyed Nasr tidak bisa terlepas dari konsep spiritualitas Islam yang dibawanya. Lahirnya pemikiran Nasr tentang Islam tradisional, tidak jauh berbeda dengan lahirnya konsep spiritualitasnya karena kegelisahan atas fenomena-fenomena di abad modern, khususnya di daratan Eropa. Hal tersebut didasarkan atas krisis dalam aspek moral, spiritual, dan kebudayaan yang disebabkan oleh corak peradaban modern dan arus globalisasi.[5]

Terlebih, Nasr melihat beberapa pemikiran dan pemahaman umat Islam yang dipengaruhi oleh paham-paham Barat yang jauh dari sumber asli ajaran Islam.

Modernitas atau arus globalisasi terus berkembang di daratan Barat pasca terjadinya fenomena yang disebut renaisans. Fenomena tersebut menyebabkan sebuah pandangan penolakan terhadap kepercayaan agama, bahkan membebaskan manusia dari dominasi agama.

Nasr memandang bahwa modernitas merupakan sumber permasalahan dan krisis yang dialami dunia saat ini. Hal lain yang menjadi permasalahan adalah munculnya isme-isme di Barat yang merambat pada cara berpikir sebagaian umat Islam.

Dari kalangan umat Islam sendiri pun banyak yang memahami ajaran Isalm lewat isme-isme dan kajian Islam orang Barat. Dengan demikian, terjadilah kemunduran dan kemerosotan nilai studi Islam yang jauh dari sumber ajaran utamanya, yaitu Al-Qur’an dan sunah.

Selanjutnya, Nasr mencoba menghadirkan kembali tradisi-tradisi Islam yang terpelihara selama 14 abad di setiap penjuru dunia. Islam tradisional atau tradisi Islam bukan merupakan sesuatu yang kuno atau kolot, melainkan suatu tradisi Islam yang berasal dari wahyu Ilahi sehingga tumbuh batang dan cabang-cabang ajaran yang suci sepanjang sejarah ini.[6]

Seyyed Nasr menggambarkan tradisi Islam itu seperti pohon, akarnya merupakan wahyu Ilahi dan kebiasaan Nabi Muhammad Saw, batang dan cabang-cabangnya adalah ajaran Islam itu sendiri. Artinya, tradisi Islam akan terus hidup dan tumbuh karena di dalamnya hidup prinsip-prinsip agama yang selalu sesuai dengan keadaan waktu dan zaman.

Di tengah gerak modernitas, Nasr berupaya untuk menghadirkan Islam tradisional sebagai landasan utama dalam memahami ajaran Islam yang memberikan pandangan baru sesuai dengan situasi dan kondisi.

Spiritualitas dan Intelektualitas

Salah satu gagasan Seyyed Nasr berikutnya yang berkaitan dengan spiritual adalah intelektualitas. Gagasan ini pun ada kaitannya dengan konsep Islam tradisinya. Hanya saja, intelektualitas yang diusung Nasr lebih condong ke arah keilmuan Islam.

Intelektualitas yang dimaksud, hadir atas kekecewaan Nasr melihat kajian-kajian tentang Islam yang tidak lagi didasarkan kepada wahyu Ilahi karena telah dimasuki isme-isme Barat. Adanya isme-isme Barat yang cepat merasuki tubuh pemikiran Islam telah mengalihkan cara berpikir umat Islam yang cukup signifikan.

Selain itu, klaim para orientalis yang menyatakan kegiatan intelektual umat Islam telah mati dan mengganggap intelektualisme Barat adalah pisau analisis yang tajam, telah memberi dampak serius dan menghambat dimensi-dimensi intelektual Islam.[7]

Seyyed Nasr menganggap bahwa setiap agama memiliki dimensi intelektualnya masing-masing. Dalam Islam, dimensi intelektual telah memberi sumbangsih terhadap peradaban dunia dan memberi petunjuk atas kebenaran agama Ilahi yang hidup berabad-abad.

Pada setiap fase-fase sejarah Islam, selalu diwarnai dengan lahirnya pemikiran-pemikiran baru mengenai Islam. Hal ini dapat dipastikan karena perintah Tuhan dalam ajarannya untuk senantiasa menjadi hamba yang berpikir dan bermanfaat atas dasar prinsip iman dan dorongan spiritual. Dengan demikian, ranah keimanan dan aspek spiritual menjadi peran penting bagi berlangsungnya kegiatan intelektual.

Berbeda dengan intelektualisme Barat, untuk menggeluti kegiatan intelektual tidak cukup hanya dengan penalaran yang kritis dan memadai, tetapi dibutuhkan usaha-usaha spiritual yang dapat mensucikan keadaan hati. Bahkan menurut Nasr, intelektualitas umat Islam merupakan ekspresi dan bentuk manifestasi dari keimanan dan spiritual manusia.[8]

Dimensi intelektual Islam bukan sekadar kegiatan berpikir manusia, melainkan keseriusan manusia dengan tajamnya nalar sehingga mampu membuktikan pentingnya transendensi kehidupan manusia. Akhir-akhir ini, intelektual Islam yang selalu didasarkan atas iman dan kegiatan spiritual telah membuat kagum mata dunia.

Referensi:

Hossein Nasr, Seyyed. 1968. Man and Nature: The Spiritual Crisis in Modern Man. London: Unwin Paperbacks.

___________. 1994. Islam Tradisi di Tengah Kancah Dunia Modern. Bandung: Penerbit Pustaka.

___________. 2006. Islamic Philosophy form its Origin to the Present. New York: State University of New York Press.

___________. 2009. Intelektual Islam; Teologi, Filsafat, dan Gnosis. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

___________. 2020. Tasawuf Dulu dan Sekarang. Yogyakarta: IRCisod.

 

[1] Lihat “Pengantar” dalam Seyyed Hossein Nasr, Traditional Islam in The Modern Word (diterjemahkan Islam Tradisi di Tengah Kancah Dunia Modern, Bandung: Penerbit Pustaka, 1994).

[2] Lihat Kamus Besar Bahasa Indonesia.

[3] Seyyed Hossein Nasr, Man and Nature: The Spiritual Crisis in Modern Man (London: Unwin Paperbacks, 1968), hlm. 6.

[4] Seyyed Hossein Nasr, Tasawuf Dulu dan Sekarang (Yogyakarta: IRCisod, 2020), hlm. 34.

[5] Seyyed Hossein Nasr, Man and Nature, hlm. 17-18.

[6] Seyyed Hossein Nasr, Traditional Islam, hlm. 3.

[7] Lihat “Pengantar” dalam Seyyed Hossein Nasr, Intelektual Islam; Teologi, Filsafat, dan Gnosis (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009).

[8] Seyyed Hossein Nasr, Islamic Philosophy form its Origin to the Present (New York: State University of New York Press, 2006), hlm. 119.


Category : keilmuan

SHARE THIS POST


ABOUT THE AUTHOR

Muhamad Alfathan

Pelajar Filsafat