Sosialisme Humanistik dalam Perspektif Erich Fromm
Pada dasarnya, apa yang disebut sebagai sosialisme mesti dipahami sebagai suatu sistem relasi antar manusia. Hal itu berlaku juga untuk konsep sosialisme humanistik sebagaimana yang dirumuskan oleh Erich Fromm, seorang pemikir yang terdaftar sebagai tokoh dalam Mazhab Frankfurt. Ia juga dikenal sebagai seorang yang berusaha melakukan sintesis atas pemikiran Karl Marx dan Sigmund Freud.
Bagi Fromm, dalam bukunya Dari Pembangkangan Menuju Sosialisme Humanistik (2019), nilai tertinggi dari semua tatanan sosial dan ekonomi adalah manusia itu sendiri; tujuan masyarakat ialah menawarkan kondisi-kondisi yang perlu bagi perkembangan sepenuh-penuhnya segala potensi manusia, akal budi, rasa cinta dan kreativitasnya. Semua tatanan sosial harus kondusif mengatasi keterasingan dan kelumpuhan manusia.
Prinsip utama dalam sosialisme adalah keutamaan manusia. Dalam relasinya antar sesama, setiap manusia adalah tujuan dalam dirinya sendiri, dan tidak boleh dijadikan sebagai alat untuk memuluskan tujuan orang lain. Maka konsekuensinya adalah tidak seorang pun boleh secara pribadi ditundukkan oleh orang lain yang punya modal. Konsekuensi lainnya, setiap manusia pun diandaikan mampu mengendalikan situasi dan bukan sebaliknya.
Adapun salah satu yang menjadi keresahan Fromm, yakni sebagaimana yang dicatat oleh Nur Iman Subono dalam buku Erich Fromm Psikologi Sosial yang Humanis (2010), bahwa berbagai kemajuan yang dialami oleh masyarakat kapitalis modern seringkali dijadikan sebagai tolak ukur keberhasilan manusia. Padahal di saat bersamaan, ada berbagai persoalan seperti kesehatan mental sampai memicu seseorang untuk bunuh diri yang jarang peroleh perhatian.
Sosialisme Humanistik: Dunia Ideal yang Dibayangkan Fromm
Sosialisme humanistik berakar pada keyakinan akan kesatuan dan solidaritas umat manusia, suatu hal yang sebenarnya merupakan cita-cita dan nilai moral yang dahulu menjadi dasar berdirinya peradaban Barat, yang menurut Fromm justru telah luntur. Fromm mengimpikan sebuah dunia yang relasi antar manusianya berjalan berdasarkan kerjasama bebas dan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan baik bersama.
Sosialisme humanistik berpihak pada kebebasan; bebas dari ketakutan, kekerasan, penindasan dan semacamnya. Kebebasan di sini, bukan hanya “bebas dari” sebagaimana yang telah diungkap sebelumnya, tetapi juga “bebas untuk”: berpartisipasi secara aktif dan bertanggungjawab dalam segala keputusan yang berkaitan dengan kepentingan seluruh warga negara. Manusia bebas untuk mengembangkan potensi-potensi individu menuju kesempurnaannya.
Lalu yang menjadi soal, mengapa cita-cita dan nilai moral yang dahulu menjadi landasan berdirinya peradaban Barat kini telah luntur? Atau dengan kata lain, apa yang menjadi hambatan mendasar yang menyebabkan dunia yang diidealkan oleh Fromm sulit terealisasi?
Untuk menjawab persoalan itu, baiknya kita menengok pendapat dari seorang tokoh Mazhab Frankfurt lainnya, yaitu Herbert Marcuse. Dalam bukunya yang berjudul One Dimensional Man: Studies in the Ideology of Advanced Industrial Society (1964), Marcuse menyoroti masyarakat modern yang dianggapnya cenderung bersifat deseptif (memperdayakan).
Nilai seperti kebebasan yang menjadi kebanggaan peradaban Barat, yang kemudian memengaruhi jalannya kemajuan teknologi yang luar biasa, justru turut menyebabkan masyarakat terperdaya. Manusia menjadi kehilangan kontrol atas dirinya sendiri, misalnya saja terjatuh ke dalam pola konsumerisme. Manusia terdorong untuk memuaskan kebutuhan-kebutuhan individu melalui berbagai cara yang dikelola. Dampaknya yaitu dapat menyebabkan mandeknya daya kritis masyarakat.
Dalam pengamatan Marcuse, masyarakat memang merasa kebutuhan-kebutuhan individu terpenuhi, namun yang sesungguhnya terjadi kebutuhan-kebutuhan tersebut sudah dimanipulasi oleh “rasionalitas teknologis” supaya berjalan sesuai dengan tuntutan dari sistem kapitalis.
Konsumerisme di Tubuh Masyarakat
Apa yang menjadi sorotan Marcuse tersebut, juga menjadi perhatian Fromm. Bagi Fromm (2019), sekian tanda dalam masyarakat terpedaya meliputi: kemunculan konglomerat raksasa, industri mega proyek, pemerintah dengan birokrasi-birokrasi berbelit, individu yang tidak punya kontrol lagi atas situasi kerjanya, merasa impoten, kesepian, bosan dan cemas.
Pada saat yang sama, perlunya profit bagi perusahaan-perusahaan besar dilakukan melalui iklan yang gencar mempromosikan produk mereka. Iklan itu mengubah manusia menjadi rakus dan pelahap. Lantas manusia mesti mengkonsumsi dan perlu kebutuhan artifisal yang diciptakan secara manipulatif. Inilah yang disebut sebagai karakter manusia sebagai homo comsumens.
Menurut pemahaman Fromm, kelobaan akan konsumsi merupakan bentuk ekstrem dari apa yang disebut oleh Freud sebagai “karakter Oral” yang menjadi kekuatan psikis dominan dalam masyarakat industri dewasa ini. Semakin ia berkuasa menciptakan mesin-mesin, semakin tidak berdayalah dirinya sebagai manusia. Semakin banyak ia mengkonsumsi maka semakin dalam ia tenggelam sebagai budak dari kebutuhannya yang makin bertambah, yang diciptakan dan dimanipulasi oleh sistem industri.
Dalam tulisannya yang lain di To Have or To Be (1976), ia menyebut bahwa ada dua cara bereksistensi dalam diri manusia yang menentukan the spirit of mandkind (semangat umat manusia). Salah satunya dengan cara pandang “memiliki”. Cara pandang tersebut melihat benda-benda sebagai suatu hal yang harus dipunyai dan didasarkan pada sikap yang agresif dan penuh kerakusan.
Cara pandang “memiliki” ini berbeda dengan apa yang oleh Fromm sebut sebagai “menjadi”. Cara pandang menjadi mendasarkan pada cinta, sikap empati, kebersamaan dan produktivitas. Dalam tulisan Fromm lainnya, The Anatomy of Human Destructiveness (1973), Fromm menyebut bahwa dominasi cara pandang “memiliki” menyebabkan dunia terperosok ke dalam kerusakan, baik itu secara sosial, psikologis, dan ekologis.
Semangat “memiliki” ini, juga apa yang disebut oleh Fromm sebagai homo comsumens jelas bertentangan dengan masyarakat sosialis yang menjadi cita-cita Marx, yang menyoroti secara tajam bahaya yang terkandung dalam kapitalisme. Menurut Fromm, cita-cita Marx ialah manusia bisa berbuat banyak di dalam masyarakat, namun bukan dalam arti memiliki atau memakai banyak benda. Marx ingin membebaskan manusia dari belenggu gila materi, sehingga manusia dapat bangkit hidup dan berkepribadian sebagai manusia, tidak menjadi budak kelobaannya.
Category : filsafat
SHARE THIS POST