Sisi Unik dan Lucu Para Filosof
Judul: Filosof Juga Manusia | Penulis: Fahruddin Faiz | Penerbit: MJS Press, 2018 | Tebal: x + 202 halaman | ISBN: 978-602-74625-0-2
Filsafat masih jadi misteri. Bagi sebagian orang saat mendengar kata filsafat, sengaja maupun tidak, bayangan semacam orang gila dengan bicara susah dipahami, bertanya tanpa henti, dan berbagai representasi mengerikan lainnya muncul. Lebih baik menghindar cari aman, jangan sampai bersentuhan apalagi punya masalah dengan yang namanya filsafat.
Saya rasa anggapan semacam itu lumrah, khususnya bagi yang awal mula, anti, dan enggan belajar filsafat. Sebab memang banyak pengajar, akademisi, dan buku-buku filsafat yang sulit dijajaki oleh kalangan awam. Bahasa pengungkapannya tidak semudah novel-novel yang laku di pasaran. Istilah-istilah yang digunakan juga demikian. Apalagi muatan pesan di buku filsafat, wis ora mudengne nyong dan enggak kekinian. Intinya semua yang berbau filsafat tidak ramah untuk disapa, apalagi dijabat dan dipeluk erat-erat.
Lantas apakah filsafat memang semengerikan itu? Saya rasa juga tidak. Bahwa filsafat itu sulit, memang iya. Tapi sulit bisa dipatahkan dengan belajar lebih tekun. Kalau mengerikan, apalagi haram untuk dipelajari, bisa menyesatkan dan mendangkalkan akidah, saya rasa orang semacam ini ibarat mau beli buku cuma melihat sampulnya doang. Terlebih anggapannya itu bukan berasal dari pengalaman pribadi. Boleh dibilang, orang jenis ini semacam berbuat hoax. Sebab berkomentar tanpa tahu menahu seperti apa yang dikomentari.
Begini, ada sedikit cerita yang mungkin bisa menjawab ihwal filsafat, walau hanya tersirat. Beberapa waktu lalu ada seorang laki-laki yang datang bertamu ke tempat semadi kami. Ia menceritakan kecocokan antara hidupnya dengan filsafat yang diperoleh dari Youtube MJS Channel. Di sela-sela perjalanannya bertamu, ia bertemu dengan seorang ibu. Ibu itu mewanti-wanti bahwa sekarang banyak ajaran sesat, apalagi di Yogyakarta. Ajaran sesat telah menjalar ke mana-mana. Tapi uniknya, si laki-laki ini tidak terpengaruh oleh himbauan ibu itu. Malah mempertanyakan, benar dan tidaknya ucapan si ibu tadi.
“Kalau saya mau menuju ke ajaran sesat kok tidak diarahkan ke ajaran yang benar sama si ibu itu? Terus, apakah filsafat itu hanya mengajarkan yang sesat-sesat?”, jawab si laki-laki dalam batinnya.
Cerita itu jadi salah satu contoh dari sekian banyak cerita-cerita negatif yang dialamatkan pada filsafat. Beruntung, laki-laki tadi masih memiliki daya kritis untuk mempertanyakan ulang, benar dan tidaknya. Tanpa disadari, tindakan yang dilakukan oleh si laki-laki tadi sebenarnya sudah masuk dalam laku dari lampah filsafat.
Laku mempertanyakan ulang ini persis seperti yang ditulis dan diuraikan di buku Filosof Juga Manusia (2018). Buku ini lahir dari ide kreatif guru pengampu Ngaji Filsafat di Masjid Jendral Sudirman Yogyakarta, Fahruddin Faiz. Dalam pengantarnya, beliau menguraikan bahwa filsafat itu memiliki keinginan untuk mencari kebenaran. Caranya dengan mempertanyakan ulang. Walaupun harus melawan arus, menantang cara berpikir mayoritas, dan menggoyang status quo (hlm. 5). Tapi itu harus ditunaikan.
Sisi unik dan kehidupan lucu, bahkan aibnya para filosof termuat di buku ini. Sesuai judulnya, filosof itu manusia. Seperti kita pada umumnya. Filosof juga makan, minum, bercengkerama dengan lingkungan sekitar, berbuat aneh, jatuh cinta, patah hati, frustasi, bahagia, sedih, dan kadang juga menertawakan dirinya sendiri. Hanya saja para filosof ini menekuni bidang filsafat dengan segala kurang dan lebihnya. Bahkan cenderung banyak lebihnya. Sedangkan saya dan kita, mungkin, menekuni bidang lain dengan serba minimalis. Tanpa keseriusan menekuni seperti para filosof.
Sekitar 40 nama filosof dipajang di daftar isi buku ini. Semuanya berasal dari Barat, hanya satu nama yang berasal dari Timur, Mahatma Gandhi. Tiap tokoh ditulis seperlunya, tidak terlalu panjang. Sehingga tidak membosankan bila dibaca untuk meredakan penat. Beberapa ulasan dari filsuf tertentu, berhasil membuat saya tersenyum. Beberapanya lagi justru membuat saya mengerutkan kening sambil ngrasani, kok ada ya orang semacam ini ya?
Socrates misalnya. Sesepuh sekaligus tetua dari para filosof punya cerita unik yang menyindir manusia tanpa kenal usia zaman. Ceritanya ia gemar pergi ke pasar. Tapi tidak untuk membeli barang dagangan. Ia hanya berjalan sembari melihat-lihat saja. Suatu ketika temannya heran, lantas bertanya kenapa sering pergi ke pasar tapi tidak untuk membeli sesuatu? Socrates menjawab, “Aku selalu senang melihat berapa banyak barang yang tidak aku butuhkan.” (hlm. 58).
Cerita demikian itu ada, jauh sebelum abad masehi dimulai. Namun saya rasa jawaban Socrates itu masih cukup relevan untuk konteks kekinian. Coba sejenak lihat disekeliling kita. Ratusan bahkan ribuan pusat perbelanjaan dari yang kecil sampai besar dengan ragam barang yang dijual. Terlebih jika ada diskon, tampak pusat perbelanjaan lebih prioritas dibanding pusat peribadatan, apalagi pusat pengetahuan. Nah, Socrates mengingatkan manusia untuk tidak terjebak membeli sesuatu yang tidak diperlukan. Belajarlah sederhana, kira-kira demikian pesan dari Socrates.
Cerita selanjutnya datang dari Plato, muridnya Socrates. Plato pernah mendefinisikan manusia sebagai binatang tanpa bulu yang berkaki dua. Diogenes, seorang filosof yang sezaman dengan Plato, saat mendengar ucapan tersebut langsung mengambil ayam yang telah dicabuti bulunya lantas mengatakan, “Ini manusia yang dimaksud oleh Plato.” (hlm. 89).
Saya tersenyum sendiri saat membaca cerita itu. Kemudian terbayang dengan mereka yang menganggap semrawut, mengerikan, dan jelimetnya filsafat. Apakah anggapan mereka akan goyah, lantas mau berkenalan dengan filsafat? Atau bagaimana? Ah, yang jelas menarik menanti perubahan raut muka mereka ketika mendengar atau membaca buku Filosof Juga Manusia ini.
Cerita lain lagi tentang Aristoteles, muridnya Plato, cucunya Socrates juga punya cerita yang tak lazim tentang sekolah yang didirikannya itu. Sekolah yang didirikan Aristoteles sifatnya terbuka dan bebas, dua sesi, pagi dan siang. Pelajaran yang sulit diberikan di sesi pagi, sedangkan pelajaran yang mudah diberikan saat sesi siang. Selain itu, cara mengajarnya dilakukan sambil jalan-jalan di sepanjang pilar sekolah. Muridnya pun dibebaskan untuk membawa makanan (hlm. 159-160).
Sepertinya sekolah semacam itu hanya ada di masa lalu. Sekarang sekolah lebih terformat sebagai tempat belajar ‘pintar’ an sich. Tentunya, kita tidak harus berdemo untuk kembali seperti zaman sekolah di masa itu. Kita hanya perlu belajar tekun, sesuai bidang dan minat masing-masing.
Saya kira dari Sokrates, Plato dan Aristoteles sudah mewakili rasa penasaran dan kecurigaan terhadap filsafat. Ketiganya saya pilih karena beliau-beliau itu sebagai para syeikh perintis awal mula filsafat. Bila gurunya para filosof saja punya cerita lucu, unik, dan menggelitik, muridnya juga hampir-hampir miriplah. Kira-kira begitu maksud saya.
Buku Filosof Juga Manusia tidak dibuat untuk membujuk, dan membuat cinta bagi mereka yang anti filsafat. Juga bukan untuk kado ulang tahun pacar, apalagi untuk bahan dakwah. Selain muatannya hanya sebatas cerita unik, menarik, dan lucunya saja, nama-nama filosof yang diangkat di buku ini juga belum lengkap seutuhnya. Perlu ditunggu terbit Filosof Juga Manusia versi Barat, Islam, dan Jawa edisi satu, dua, tiga, dan seterusnya. Syukur-syukur Pak Faiz juga berkenan menulis para filosof jomblo yang berpestrasi, agar mereka yang istikamah dengan ilmu pengetahuan tidak risau dengan status ketunggalannya.
Terakhir, mari sejenak kita berdoa untuk beliau, Pak Faiz. Semoga diberi panjang umur, dan kesehatan agar terus dapat mengampu Ngaji Filsafat dengan segala kelonggaran waktu, lebih dan kurangnya. Semoga juga para mas-mas takmir masjid lebih sering diberi senyuman ramah oleh para santriwati Ngaji Filsafat, agar supaya lebih bersemangat mengunggah hasil ngaji.
Sebagai pengingat: Setiap tempat adalah sekolah, setiap orang adalah guru, dan setiap waktu adalah belajar. Maka jadilah pembelajar yang baik. Demikian.
Category : resensi
SHARE THIS POST